tirto.id - Indonesia Lawyers Club pada mulanya bukan acara yang diadakan di ruangan besar dengan mengundang banyak orang tampil untuk beradu pandangan satu sama lain. Mereka yang hadir dalam acara itu juga tidak banyak.
Acara ILC datang dari obrolan santai antara Sukarni Ilyas, Denny Kailimang, dan Henry Pribadi, salah seorang pemilik SCTV. Pangkalnya adalah perseteruan antara Jaksa Agung Andi M. Ghalib dengan Amien Rais di awal era Reformasi.
Nama ILC juga belum muncul. Namanya saat itu adalah Jakarta Lawyers Club (JLC). Seturut namanya, JLC merupakan komunitas yang didirikan pengacara-pengacara yang beraktivitas di Jakarta. Sukarni Ilyas, atau yang biasa disapa Bang Karni, dan Denny Kailimang adalah dua dari sembilan pendiri JLC.
Karni dan JLC kemudian mengangkat perdebatan Ghalib versus Amien itu dalam agenda Diskusi Bulanan JLC yang ditayangkan pada Jumat, 14 Mei 1999 di SCTV. Seperti dikisahkan Fenty Effendy dalam Karni Ilyas: Lahir Untuk Berita (2012), dialog itu "berakhir antiklimaks."
Ghalib, yang didesak untuk mengadili Soeharto atas dugaan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), memakai alasan bahwa kejaksaan masih terus bekerja untuk itu. Sedangkan Amien tampil tidak cukup galak; berbeda dengan apa yang dia sampaikan kepada media massa sebelumnya.
Tapi acara itu menjadi cikal-bakal kesuksesan JLC sebagai program yang digandrungi masyarakat.
“Setelah tayangan itu saya baru tahu duit masuk ke SCTV banyak, jadi saya tagih Dirutnya ‘bayar dong, masak gratis’. Dia kirim cek Rp 50 juta, ya dibagi-bagi. Waktu itu memang iklannya masuk terus. Mereka break untuk iklan aja saya nggak tahu, diskusi kan jalan terus,” kata Karni seperti ditulis Fenty.
Pada 1999 Karni pindah ke SCTV. Pada saat itu pula diskusi JLC diboyong sebagai acara diskusi hukum di SCTV. Narasumbernya memang sudah mentereng sejak awal. Beberapa yang datang misalnya Abdurrahman Wahid saat menjabat presiden, kemudian ada Jaksa Agung Marzuki Darusman, dan Kapolri Jenderal Polisi Rusdihardjo.
Beberapa orang sempat menggantikan Karni sebagai pembawa acara kendati JLC tidak awet di SCTV. Ira Koesno, Rosianna Silalahi, dan Nunung Setiyani sudah mencicipinya, tetapi ketiganya tidak mampu menggaet banyak penonton.
Ketika Karni bergabung ke tvOne pada 2007, dia mulai menggarap lagi program JLC yang sudah cukup lama hilang dari pertelevisian Indonesia. Di tahun 2008 JLC kembali tayang dan pada pengujung 2011 berganti nama menjadi Indonesia Lawyers Club (ILC). tvOne mengaku bahwa perubahan ini tak lepas dari animo masyarakat yang menginginkan adanya perubahan nama agar JLC tidak hanya mewakili masalah-masalah yang ada di Jakarta.
Tunduk kepada Bisnis
Kendati dipimpin Karni, tayangan ILC tak lepas dari peran General Manager Current Affair tvOne Indiarto Priadi. Dia mengklaim bahwa kehadiran JLC-ILC tidak lepas dari visi-misi tvOne yang ingin mencerdaskan masyarakat. Bergabungnya Karni ke tvOne dengan segudang pengetahuan tentang informasi dan hukum membuat Indiarto yakin bahwa program ILC bisa ditayangkan kembali.
“Ada kebutuhan untuk mengedukasi orang dalam masalah hukum. Pada saat yang sama pemred tvOne adalah presiden Jakarta Lawyers Club, sebuah Club penasihat hukum, pengacara. Mengapa tidak kebutuhan kita dan kebutuhan mereka disinkronkan dalam bentuk sebuah program. Itu yang terjadi,” kata Indiarto seperti dicatat Dewi Astuti dalam tesis berjudul "Membangun Reputasi Perusahaan Dengan Mengelola Opini Publik" (2012).
Erick Thohir, pemimpin Mahaka Group yang juga punya saham mayoritas di tvOne, seperti diungkapkan Dewi Astuti, paham betul bahwa media harus bersikap adil. Dia berharap wartawan di bawah naungan perusahaannya bisa mendahulukan kepentingan publik daripada pemilik.
Namun tvOne, dengan banyaknya anggota keluarga Bakrie Group di dalamnya, seperti enggan mengangkat permasalahan lumpur Lapindo ke publik. Kejadian semburan lumpur panas itu terjadi di wilayah pengeboran yang dilakukan Lapindo Brantas Inc, perusahaan yang terafiliasi dengan Bakrie Group.
Melalui jaringan medianya seperti ANTV dan tvOne, Bakrie Group, catat Dewi Astuti, dianggap menutupi kejadian tersebut dan membangun opini publik. Mereka menonjolkan aksi-aksi sosial yang dilakukan Bakrie Group dan menyebut kejadian ini sebagai 'Lumpur Sidoarjo' daripada 'Lumpur Lapindo'. Meski tindakan ini dibantah oleh pihak tvOne, mereka tidak menampik sering memberitakan aksi-aksi ganti rugi kepada korban.
“Sehingga salah besar jika ada yang bilang bahwa TVOne mempolitisir nama bencana tersebut," kata Juru Bicara tvOne Totok Suryono seperti dilansir Tempo. "Masyarakat perlu melihat bahwa Bakrie bertanggung jawab memperbaiki kehidupan korban bencana lumpur."
Memang ketika akhirnya ILC menghadirkan diskusi terkait Lumpur Lapindo, tvOne mencatatnya sebagai 'Lumpur Sidoarjo'.
ILC bagaimanapun adalah program unggulan tvOne bahkan hingga sekarang. Rating dan Share tvOne tidak pernah mengecewakan. Jika acara talkshow lain hanya 2 atau 3 jam, ILC bisa mencapai 3 bahkan 4 jam. Slot iklan ILC juga menjadi yang termahal di tvOne. Stasiun televisi ini tidak kurang mendapat Rp2 miliar per episode ILC hanya dari iklan.
Debat Kusir
Dari sekian banyak episode ILC, salah satu yang paling berkesan adalah ketika membahas penabrakan hingga tewas yang dilakukan anggota FPI kepada seorang ibu di Kendal, Jawa Tengah tahun 2013. Episode ini bertajuk “Bolehkah Ormas Merazia?”
Dalam episode itu, Ketua Tanfidziyah Majelis Mujahiddin Indonesia Irfan S. Awwas datang sebagai narasumber. Secara singkat, ada dua poin yang disoroti Irfan dari kejadian penabrakan tersebut. Pertama, peristiwa itu terjadi karena bentrokan antara masyarakat “maksiat” dengan FPI dan pemerintah abai menertibkan warga “maksiat”.
Kedua, dia mempertanyakan keabsahan rekaman kamera pengawas yang ada di lokasi kejadian dan menampilkan adegan korban tabrakan terseret oleh mobil yang dikendarai anggota FPI. Dasar yang digunakannya hanya satu: lokasi CCTV. Menurut dia, kamera pengawas seharusnya tidak ada di jalanan.
“Pertanyaan kritisnya, apakah video tadi itu adalah sebuah simulasi atau fakta yang terjadi? Sebab aneh, bagaimana mungkin sebuah peristiwa yang terjadi di jalan, itu begitu ada yang menyuting [shooting]. Siapa yang melakukan syuting itu? Atau sudah dipersiapkan orang yang nyuting di situ itu? Ini satu pertanyaan, CCTV kok di jalan itu? Ini aneh ini,” kata Irfan tanpa ada sedikit pun senyum di wajahnya.
Sebagian audiens yang menyimak tentu saja tertawa. Karni hanya mengucap singkat, “Ada, ada itu.”
Tak mudah percaya, Irfan kemudian membalas lagi: "Ya coba kita lihat nanti apa memang betul ada atau di rumah, rumah siapa? Jadi artinya ini sudah dipersiapkan, ini satu pertanyaan”.
Kembali pada penelitian Dewi Astuti, narasumbernya menggambarkan cukup lengkap apa yang ia, dan mungkin sebagian orang lain rasakan, setelah menonton tayangan ILC. Seorang mahasiswa pascasarjana bernama Tisam Ali, yang menjadi narasumber Dewi Astuti, mendeskripsikan ILC sebagai tayangan “infotainment berita”.
Ringkasnya, ILC berhasil membuat orang tertarik untuk menonton karena menampilkan intrik dan drama di tengah perdebatan dengan banyaknya pendapat yang kontroversial bahkan menjurus kepada pengaburan fakta. Contohnya seperti kasus CCTV Irfan tersebut.
“Saya rasa saya bisa dapat informasi/berita yang salah jika mendengar opini orang di ILC…,” ujar Tisam.
Tidak heran aduan terkait ILC juga melonjak. Satu ketika pada rentang waktu Januari-Maret 2012, acara stasiun tv lain, semisal Dahsyat di RCTI, hanya mendapat 72 aduan; sedangkan ILC 3.300 aduan.
Aritasius dari Litbang Kompas melihat bahwa ILC memang sudah menjadi ikon tvOne. Hanya saja Aritasius mempertanyakan visi-misi tvOne ketika mengadakan ILC: “Apakah benar [ILC] sudah mencerdaskan dan inspiratif?”
“Pencapaian edukasi hukum memerlukan penelitian lebih lanjut karena ILC baru pada tahapan sebagai sumber informasi. Di sisi lain, masyarakat semakin bingung melihat kondisi nyata di tanah air,” catat Dewi dari hasil wawancaranya dengan Aritasius.
Sementara itu Direktur Riset Lembaga Survei KedaiKopi Kunto Adi Wibowo, dalam artikelnya di Remotivi, mencatat bahwa politikus berlomba-lomba menjadi media darling untuk bisa tampil di muka publik. Muncul di media adalah salah satu jalan pintas untuk mendongkrak karier politik mereka. Kunto menganggap aktor-aktor politik yang hadir dalam ILC berusaha “mengaburkan fokus pembicaraan, beradu sindiran dan ejekan halus, dan tak jarang melontarkan ancaman yang kasar dan melecehkan.”
ILC memang salah satu talkshow yang mampu mengundang narasumber kredibel untuk cover both side. Tapi betapapun cover both side dilakukan, hasil diskusi tidak pernah jelas. Bagi Kunto, media malah menjadi medan pertempuran baru para politikus.
"Konsekuensinya, perbincangan politik di media tidak lagi berujung pada deliberasi atau mencari titik temu atau, paling tidak, irisan berbagai kepentingan politik. Logika tontonan sinetron menjadi logika utama perbincangan politik: dramatisasi diolah ketimbang kedalaman substansi, menguras emosi dipilih ketimbang beradu argumen rasional, mencari kambing hitam diutamakan ketimbang mencari solusi," catatnya.
ILC akhirnya berhenti sementara setelah tayangan terakhirnya pada 15 Desember 2020. Selanjutnya, ILC akan mencoba peruntungan di platform digital seperti YouTube.
Ketika Karni Ilyas masih sekolah, ia ditanya salah satu sepupunya: "Kenapa ingin jadi wartawan?"
“Karena saya ingin terkenal,” jawab Karni spontan.
Sekarang impian Karni sudah tercapai. Ia terkenal sebagai pembawa acara salah satu talkshow dengan jumlah penonton terbanyak di Indonesia.
Editor: Ivan Aulia Ahsan