tirto.id - Perdebatan dan diskusi terkait impor cangkul dari Cina sejak Oktober lalu sampai kini belum usai. Berbicara pada seminar "Value Creation Holding BUMN 2017" di Jakarta, Kamis, Deputi Bidang Restrukturisasi dan Pengembangan Kementerian BUMN, Aloysius Kiik Ro, mengatakan kasus impor cangkul itu merupakan bukti betapa ironisnya republik ini.
"Ironis karena republik ini tidak bisa hasilkan cangkul, padahal sudah bisa produksi helikopter dan part (suku cadang) untuk Airbus. Ada pula sejumlah penemuan luar biasa dari kampus-kampus, tapi cangkul saja masih impor," ucapnya.
Selain itu, Aloysius menyebutkan kasus impor cangkul tersebut menunjukkan fakta bahwa antar BUMN tidak saling bersinergi. "Yang impor, BUMN. Yang beli juga dari BUMN, walaupun mungkin kebutuhannya mendesak," imbuhnya.
Seperti diketahui Kementerian Perdagangan memberi alokasi izin impor kepala cangkul kepada PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI). Persetujuan izin impor kepala cangkul sebanyak 1,5 juta unit itu berdasarkan rekomendasi Kementerian Perindustrian. Karena produksi dalam negeri bisa ditingkatkan, impor yang terealisasi hanya sekitar 86.000 unit, di mana kebutuhan nasional mencapai 10 juta unit per tahun.
Lantaran masalah tersebut, pemerintah melalui Kementerian Perindustrian dan Kementerian Perdagangan akhirnya menunjuk tiga perusahaan BUMN untuk memenuhi kebutuhan cangkul nasional yang jumlahnya mencapai 10 juta unit per tahun. Ketiga BUMN tersebut yakni PT Krakatau Steel, PT Boma Bisma Indra dan PT Perusahaan Perdagangan Indonesia.
"Tapi dilihat dulu, cangkul itu buat apa? Ternyata kebutuhan paling besar untuk konstruksi. Ini yang harus dipikirkan, saat mendorong infrastruktur besar-besaran, ternyata cangkulnya kurang. Presiden mau groundbreaking bagaimana?" ujarnya, mempertanyakan.
Menurut dia, kasus impor meski jumlahnya kecil, fakta bahwa pemerintah menyetujui impor besi cangkul mengejutkan. Oleh karena itu Aloysius berharap kasus impor cangkul harus menjadi pengingat atas pentingnya sinergi antar-BUMN.
Penulis: Agung DH
Editor: Agung DH