tirto.id - Tidak ada kandidat Miss India 2019 yang tidak berkulit terang. Sebanyak 30 perempuan yang terpilih pada akhir Mei itu akan terlihat minoritas jika dibaurkan dengan populasi perempuan India yang pada umumnya berwarna kulit gelap atau sawo matang.
Ini bukan isu baru. The Independent mencatat tren yang sama sudah nampak sejak gelaran Miss India tahun 1952. Kasus tersebut menjadi cerminan colourism. Sosiolog Margaret Hunter menerangkannya sebagai proses diskriminasi yang mengistimewakan orang dengan kulit terang dibanding yang berkulit gelap.
Aktivis anti-colourism mengkritik juri Miss India sebagai pekerjaan copy-paste. Secara ironis ketigapuluh kontestan dipandang tidak merepresentasikan perempuan India yang memiliki beragam warna kulit.
Aktivis lain seperti Muna Beatty mengingatkan bahwa preferensi kulit putih dapat berdampak pada kesehatan mental serta harga diri perempuan kulit gelap di India. Ujung-ujungnya menambah problem yang sebelumnya sudah menumpuk untuk isu perempuan seperti beragam kekerasan seksual.
“Kita punya remaja, juga anak-anak yang menonton acara tersebut. Mereka pasti berpikir ‘jika aku tidak bisa memenuhi kriteria itu, atau warna kulit mereka, maka aku tidak cantik’ atau ‘aku cuma pas-pasan’,” katanya, mengutip Independent.
Neha Mishra dan Ronald Hall pernah menganalisa akar problem colourism di India di kanal Conversations. Mereka melacaknya hingga masa penjajahan oleh Britania Raya yang terjadi sepanjang abad ke-17 hingga tahun 1947.
Pihak kolonial yang memiliki warna kulit putih/terang menunjukkan sikap superior dari banyak aspek. Targetnya adalah warga jajahan berkulit gelap yang dianggap primitif serta tidak berbudaya (uncivilized). Pandangan rasis tersebut menjadi pondasi imperialisme Eropa di berbagai belahan dunia.
Setelah merdeka, kecenderungan bersikap inferior itu masih terbawa. Kajian pasca-kolonialisme menerangkan wajar jika masyarakat yang pernah terjajah masih mendewakan standar kerupawanan bekas penjajah. Hal ini menjelaskan mengapa banyak warga India yang terobsesi memutihkan kulitnya.
“Sindrom memutihkan kulit bukanlah perkara dangkal semata. Perilaku ini adalah strategi mengasimilasi identitas superior yang mencerminkan keyakinan mendalam bahwa kulit yang terang itu lebih baik, lebih kuat, lebih cantik.”
Neha dan Mishra pernah melakukan penelitian bertemakan isu tersebut pada periode 2013 hingga 2016. Respondennya terdiri dari 300 perempuan dan laki-laki India. Hasilnya: 70 persen responden menyatakan ingin berkencan atau punya pasangan dengan orang yang kulitnya putih/terang.
Neha dan Mishra turut mengutip studi marketing yang dipublikasikan pada tahun 2014 mengenai pandangan gadis-gadis India terhadap produk pemutih kulit. Hasilnya mencengangkan: hampir 90 persen dari mereka menyatakan produk pemutih kulit sebagai kebutuhan utama alias prioritas.
Obsesi itu mendorong perkembangan industri pemutih kulit di India menjadi teramat pesat. Atlantic melaporkan profit yang industri pemutih kulit terima mencapai kurang lebih $400 juta per tahun. Angka ini dihitung-hitung melampaui total keuntungan produk perawatan kulit lain.
Sejumlah media telah melaporkan, salah satu penyebab awetnya obsesi atas kulit putih di India adalah gencarnya iklan. Tapi, serupa dengan konteks historisnya, iklan-iklan itu kerap dipermasalahkan karena bernuansa rasis. Contohnya yang dilaporkan BBC News pada 2003 silam.
Pengiklannya Fair and Lovely. Mereka menampilkan seorang pria paruh baya yang sedih karena tidak memiliki anak laki-laki yang mampu menghidupnya. Ia punya anak perempuan yang sudah bekerja, tapi gajinya dianggap tidak cukup tinggi.
Si pria menyodorkan dua pilihan pada si anak perempuan: cari pekerjaan yang lebih baik atau menikah. Masalahnya, si anak berkulit gelap, dan hal ini akan menjadi kendala dalam memenuhi salah satu atau kedua pilihan.
Si perempuan lalu menggunakan produk Fair and Lovely. Tak lama kemudian kulitnya menjadi lebih cerah—sebagai pesan utama iklan. Berkatnya ia diterima sebagai seorang pramugari, kehidupan ekonomi keluarganya meningkat, dan ayahnya bahagia.
Perusahaan yang saat itu memproduksi produk Fair and Lovely, Hindustan Lever Limited, menyatakan sadar sebagian pihak mengkritik iklan tersebut. Mereka kemudian menyatakan untuk menarik iklan yang bermasalah tapi tetap menyiarkan iklan-iklan lain untuk produk yang serupa.
Belum lama ini penulis buku Seeing White: An Introduction to White Privilege and Race (2011), Ramya M. Vijaya, menulis kolom untuk Washington Post perihal industri pemutih kulit di India yang ditaksir akan bernilai $24 milyar pada 2027. Lainnya menaksir di angka $34 miliar pada 2024.
Keuntungan itu sebagian besar masuk ke kantong perusahaan-perusahaan multinasional. Ramya mencatat Unilever dan Beiersdorf berbagi pangsa pasar terbesar di India. Fair and Lovely adalah bagian dari produk Unilever.
Iklan Fair and Lovely pada 2003 Ramya nilai sebagai contoh usaha perusahaan besar dalam mempromosikan bahwa produk pemutih kulit mereka adalah alat yang efektif untuk mobilitas sosial. Dari yang miskin menjadi kaya, dari yang jomblo ke status berdua, dari yang tragis menuju bahagia.
Profesor Indiana University Radhika Parameswaran pernah berpendapat untuk Vox bahwa warna kulit bisa menyediakan akses dan hak istimewa di masyarakat seperti yang tercermin di India. Produsen produk pencerah kulit ia anggap mengeksploitasinya sekaligus menebalkan ketidakadilan rasial itu.
Iklan produk pemutih kulit bertebaran di sudut-sudut jalanan India dalam bentuk spanduk hingga baliho besar. Rata-rata memampang wajah setelah dan sebelum pemakaian produk yang diiklankan. Sebagian tagline-nya berusaha agar terdengar cerdas. Lainnya cenderung provokatif dan rasis.
Mereka juga punya cukup modal untuk menyewa nama-nama besar Bollywood sebagai brand ambassador atau pemeran iklannya. Garnier's White Complete, L'Oréal's White Perfect, dan Ponds 'White Beauty merekrut superstar Bollywood berkulit terang seperti Priyanka Chopra, Aishwarya Rai dan Hrithik Roshan.
Shahrukh Khan, salah satu bintang terbesar Bollywood hari ini, pernah pula mempromosikan produk pencerah wajah untuk pria Emami yang digolongkan para kritikus sebagai contoh iklan yang mengandung pesan colourism (tonton di tautan ini).
Iklan menampilkan seorang pria berwajah gelap yang sedang mendekati perempuan berwajah cerah. Tiba-tiba datang saudari perempuannya yang protes karena si pria menggunakan krim pencerah wajahnya. Si pria malu. Teman-teman lain mengejeknya. Perempuan yang sedang didekati menjauh.
Datang Shahrukh Khan untuk menyindir wajah si pria yang terlalu berminyak sampai bisa untuk menyalakan korek api. Solusinya adalah krim Fair and Handsome dari Emami—produk khusus karena krim perempuan tidak berdampak apa-apa untuk wajah pria.
Setelah memakainya wajah si pria tampak cerah-memutih dalam level perbedaan yang amat drastis. Bajunya kian elegan. Sikapnya makin percaya diri. Ia langsung didekati perempuan yang sebelumnya berusaha ia dekati. Itu semua, tentu saja, ditampilkan dalam tarian dan nyanyian khas India.
Yang paling kontroversial barangkali iklan Clean and Dry pada 2012 (tonton di tautan ini). Iklan menampilkan suami istri yang sedang dingin-dinginnya. Lokasinya di ruang tamu. Si istri dengan wajah sendu menyediakan kopi untuk suami yang menyeruputnya dengan diam sambil tetap membaca koran.
Adegan selanjutnya menunjukkan si istri sedang mandi dengan raut muka lebih gembira. Ia tidak memakai sabun mandi cair biasa. Ia mengunakan produk terbaru Clean and Dry yang punya khasiat memutihkan/mencerahkan bagian vagina dan sekitarnya.
Di titik ini penonton paham bahwa problem pasangan muncul karena suami tidak menyukai bagian kelamin si istri yang terlalu gelap. Iklan diakhiri dengan sikap manja si istri kepada suami sebelum berangkat kantor. Berkat Clean and Dry Intimate Wash, keduanya sudah bahagia kembali.
Menariknya, baik pemeran suami maupun istri berwajah serta berkulit cerah. Dengan demikian pesan utama iklan adalah cinta sejati tidak akan didapatkan jika ada wilayah pada tubuhmu yang nampak sebagai noda gelap.
Aktivis perempuan bukannya diam saja. Woman of Worth, misalnya. Sejak 2013 mereka menggagas kampanye Dark is Beautiful yang bertujuannya mengangkat moral para perempuan berkulit gelap agar tetap percaya diri tanpa perlu memutihkan kulitnya. Slogannya “Stay unfair, stay beautiful”.
The Observer melaporkan beberapa aktor Bollywood juga mulai berbicara di media sosial mengenai tren yang mereka anggap manifestasi sikap inferiority complex. Abhay Deol dan Harshvardhan Rane adalah dua di antaranya. Mereka juga berani mengkritik aktor lain seperti Shahrukh Khan.
Jalan aktivisme yang ditempuh oleh beberapa pihak tersebut masih panjang, mengingat kultur mencintai kulit terang atau putih masih kuat di India. Untungnya generasi muda India juga makin kritis serta makin berani mengkritik iklan-iklan rasis yang digagas para produsen besar.
Editor: Windu Jusuf