tirto.id - Pembentukan perusahaan induk (holding) Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sektor energi disarankan tidak hanya mencakup perusahaan di sektor minyak dan gas bumi (migas) saja, melainkan mencakup semua sektor energi, seperti mineral, batu bara, listrik, dan energi baru terbarukan.
Pendapat tersebut diungkapkan pengamat energi dari Universitas Gajah Mada (UGM) Fahmy Radhi, di Jakarta, Sabtu (4/6/2016). Menurut Fahmy, pembentukan perusahaan holding BUMN sektor energi tidak hanya mencakup PT Pertamina (Persero) dan PT PGN (Persero) Tbk saja.
“Holding energi mestinya dilakukan dengan menyinergikan BUMN energi secara komprehensif yang meliputi sektor migas, mineral, batu bara, listrik, dan energi terbarukan,” kata dia.
Menurut Fahmy, holding energi setidaknya membawahi enam BUMN, yakni Pertamina untuk bisnis minyak, PGN untuk gas, PT Bukit Asam Tbk untuk batu bara, PT PLN untuk listrik, PT Geo Dipa untuk panas bumi, dan satu BUMN baru yang fokus membidangi energi baru terbarukan (EBT).
Karena itu, Fahmy meminta pemerintah membatalkan rencana pembentukan holding energi yang hanya berupa penggabungan Pertamina dan PGN. “Pembentukan holding tanpa disertai konsep dan tujuan yang jelas, serta dibentuk secara tergesa-gesa malah akan memperlemah bisnis BUMN energi,” kata mantan anggota Tim Antimafia Migas itu.
Pemerintah, lanjut Fahmy, bisa mencontoh pembentukan holding energi di Bulgaria yakni Bulgaria Energy Holding yang kini menjadi produsen dan eksportir listrik terbesar di wilayah Balkan dan Eropa Selatan, serta mampu berperan sebagai penyeimbang penyediaan energi.
Hal senada juga disampaikan Ketua Departemen Ristek, Energi, dan Sumber Daya Mineral Majelis Nasional Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI) Lukman Malanuang. Ia mengatakan, tantangan sektor energi adalah mengurangi ketergantungan minyak dan sekaligus memaksimalkan pemanfaatan EBT.
Dengan demikian, lanjutnya, holding energi seharusnya tidak sebatas penggabungan Pertamina dan PGN, namun harus lebih luas dengan tujuan mencapai target bauran energi dari EBT sebesar 25 persen pada 2025.
Lukman juga mengatakan, pembentukan holding energi perlu dikaji secara mendalam, komprehensif, dan tidak terburu-buru dengan mengedepankan prinsip kehati-hatian. “Holding energi jangan sampai menyuburkan perilaku pemburu rente (rent seeker behavior), penumpang gelap (free rider), serta adanya pihak yang diuntungkan (rent seizing),” kata dia.
Untuk itu pula, lanjutnya, prinsip transparansi, partisipasi, dan akuntabilitas harus pula dikedepankan, sehingga holding energi bisa diawasi seluruh pemangku kepentingan. KAHMI juga berpandangan bahwa holding energi haruslah mempunyai payung hukum yang kuat apakah di bawah UU BUMN, UU Migas, atau UU Energi.
“Tidaklah elok RPP yang disiapkan sebagai payung hukum holding mendahului RUU Migas yang sedang dalam proses pembahasan di DPR,” kata Lukman.
Penulis: Abdul Aziz
Editor: Abdul Aziz