Menuju konten utama

Hikayat BPA, dari Produk Andalan Berujung Pembatasan

Penemuan BPA mengubah peradaban manusia. Belakangan penemuan ini menciptakan tantangan dari aspek kesehatan.

Hikayat BPA, dari Produk Andalan Berujung Pembatasan
Ilustrasi Molekul. foto/Istockphoto

tirto.id - Setengah abad setelah Aleksandr Pavlovich Dianin, ahli kimia dari Saint Petersburg, mensintesis bisphenol A (BPA) di laboratoriumnya pada 1891, dunia baru memanfaatkan temuan tersebut dan kemudian memusuhinya.

Tahun 1950-an, ketika industri plastik mengalami kemajuan akibat penemuan dari aspek bahan, teknik desain, hingga proses produksi yang lebih masif (misalnya lewat cetakan injeksi), barulah BPA punya peran signifikan—jika tidak mau dibilang revolusioner.

Situasi itu dimulai ketika Dr. Hermann Schnell dari Bayer—disusul oleh Dr. Daniel Fox dari General Electric—menemukan bahwa reaksi BPA dengan fosgen (karbonil klorida) mampu menghasilkan resin keras bening yang dikenal sebagai polikarbonat (poly carbonate/PC).

Berbeda dari material plastik kebanyakan, polikarbonat terbilang kuat dan stabil. Tidak mudah pecah, apalagi hancur. Ketangguhan demikian membuat kedua peneliti itu terkagum-kagum.

Betapa tidak, polikarbonat mempunyai kemampuan menahan paparan suhu tinggi sehingga produk yang dibuat darinya (wadah makanan, misalnya) aman dari pemanasan dalam oven microwave.

Ia juga punya kemampuan menahan benturan keras sehingga sejumlah peralatan keselamatan seperti pelindung wajah, helm, hingga jendela anti peluru lazim dibikin menggunakan bahan tersebut.

Pada mulanya, polikarbonat digunakan untuk aplikasi listrik dan barang-barang elektronik, antara lain sebagai bahan kotak sekring dan steker, colokan. Seiring waktu, produk berbahan BPA juga digunakan di bidang yang lebih luas, salah satunya kedokteran.

Sejumlah perkakas medis seperti mesin jantung-paru, inkubator, sealant gigi, hingga ginjal buatan (hemodialyzer) tak lepas dari senyawa kimia yang satu ini.

Lebih dekat dengan kehidupan banyak orang, resin polikarbonat ternyata terkandung dalam kacamata—terutama karena bobotnya yang ringan dan jernih, hingga keping DVD, struk ATM, dan struk belanjaan.

Di samping polikarbonat, BPA juga digunakan untuk membuat resin epoksi. Bahan ini jamak digunakan di industri makanan dan minuman.

Resin epoksi terbilang bahan paling praktis untuk membuat botol minuman, wadah makanan, hingga pelapis kaleng makanan dan minuman berbahan dasar logam. Dalam konteks ini, BPA berguna menghindarkan kaleng dari karat.

Efek Samping Berbahaya

Pada awal abad ke-21, produksi BPA global berjumlah lebih dari 6 miliar pound (2,7 miliar kilogram) per tahun, dan kira-kira sepertiganya diproduksi di Amerika Serikat (AS).

Dampaknya, bunyi sebuah penelitian yang diterbitkan pada 2008, diperkirakan lebih dari 90 persen orang Amerika berusia enam tahun ke atas memiliki kadar BPA yang terdeteksi dalam urin mereka.

Lantas, apa yang terjadi jika BPA terdapat dalam tubuh sehingga belakangan kampanye BPA FREE marak digemakan di berbagai negara?

Sebuah studi kohort terhadap 3.883 orang dewasa di AS menunjukkan bahwa responden yang memiliki kadar BPA tinggi di urin memiliki risiko kematian yang juga tinggi, berdasarkan kurang lebih 10 tahun pengamatan.

Sementara itu, Badan POM RI menerangkan BPA bekerja atau berdampak buruk terhadap kesehatan melalui mekanisme endocrine disruptors atau gangguan hormon khususnya hormon estrogen.

Disrupsi tersebut dinyalir berkorelasi pada gangguan sistem reproduksi baik pria maupun wanita, memicu diabetes dan obesitas, gangguan sistem kardiovaskular, gangguan ginjal, hingga kanker.

Tak sekadar mengganggu perkembangan dan kesehatan fisik manusia, BPA juga ditengarai mengganggu perkembangan kesehatan mental, Autism Spectrum Disorder (ASD), dan pemicu Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD).

Di banyak negara, antara lain AS dan Eropa, aturan mengenai penggunaan BPA pada kemasan sudah sejak lama digalakkan. Di Kanada, misalnya, BPA resmi dilarangdipakai pada produk bayi dan anak-anak seperti kaleng susu formula dan botol bayi.

Prancis, Brazil, Negara Bagian Vermont, dan distrik Columbia (AS) bahkan menetapkan pelarangan penggunaan BPA pada semua kemasan pangan, termasuk air minum dalam kemasan (AMDK)—hal yang justru baru akan dilakukan Badan POM RI.

Infografik Advertorial Bagaimana BPA Eksis di Sekitar Kita

Infografik Advertorial Bagaimana BPA Eksis di Sekitar Kita. tirto.id/Mojo

Meski baru rencana (dan terbatas pada produk AMDK), langkah Badan POM mendapat dukungan Sofyan S. Panjaitan, praktisi industri AMDK. Menurut dia, regulasi pelabelan BPA terutama pada kemasan makanan-minuman semestinya disokong secara masif.

"Sudah [menjadi] hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar dan tidak menyesatkan, khususnya via Label & Iklan Pangan," kata Sofyan, Rabu (24/8/2022). Sofyan juga berharap, regulasi BPA bisa dikembangkan secara menyeluruh terhadap semua kemasan pangan.

“Kami percaya dan yakin, BPOM bisa bertindak profesional, transparan dan berimbang dalam membahas setiap permasalahan, bahkan dalam menanggapi keluhan dan pertentangan terhadap suatu rencana perubahan peraturan, misalnya tentang label produk,” imbuh dia.

Untuk diketahui, Peraturan Badan POM Nomor 20 Tahun 2019 tentang Kemasan Pangan menetapkan batas migrasi BPA pada kemasan plastik sebesar 0,6 bpj (bagian per juta). Bpj atau ppm (part-per million) adalah rasio konsentrasi larutan terhadap partikel pelarutnya.

Berdasarkan hasil pengawasan kemasan galon yang dilakukan Badan POM pada 2021-2022, baik dari sarana produksi maupun peredaran, 3,4% sampel dinyatakan tidak memenuhi syarat batas maksimal migrasi BPA di peredaran.

Selain itu, hasil uji migrasi BPA yang mengkhawatirkan (berada pada 0,05-0,6 bpj) mencapai 46,97% di sarana peredaran dan 30,91% di sarana produksi.

“Dalam rangka memberikan perlindungan kepada masyarakat dan memberikan informasi yang benar dan jujur, Badan POM berinisiatif melakukan pengaturan pelabelan AMDK pada kemasan plastik,” ujar Kepala Badan POM RI, Penny K. Lukito, (07/06/2022).

Lalu, dimulailah proses revisi Peraturan Badan POM Nomor 31 Tahun 2018 tentang Label Pangan Olahan, yang uniknya justru memicu pertanyaan hingga praduga di sebagian kalangan masyarakat.

Baca juga artikel terkait MOLEKULER atau tulisan lainnya dari Zulkifli Songyanan

tirto.id - Kesehatan
Penulis: Zulkifli Songyanan
Editor: Nuran Wibisono