Menuju konten utama

Haruskah Sanksi ke Lion Air Menunggu Investigasi KNKT?

Belum ada sanksi tegas kepada Lion Air atas peristiwa jatuhnya pesawat Boeing 737 MAX-8 dengan nomor penerbangan JT 610.

Haruskah Sanksi ke Lion Air Menunggu Investigasi KNKT?
Wakil Ketua Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) Haryo Satmiko (tengah) bersama Senior Investigator KNKT Ony Soerjo Wibowo (kanan) dan Kepala Sekretariat KNKT Bambang Sudaryono (kiri) memberikan keterangan pers pascakecelakaan pesawat Lion Air JT 610 di Kantor KNKT, Jakarta, Selasa (30/10/2018). ANTARA FOTO/Reno Esnir

tirto.id - Sampai sekarang belum jelas apa pembenahan yang telah dilakukan oleh Lion Air Group. Meski pesawat Boeing 737 MAX 8 milik mereka jatuh Senin (29/10/2018) lalu, namun penerbangan tetap terjadwal seperti biasa.

Seperti yang sudah-sudah pula, Lion Air masih terlambat mengudara. Hal ini misalnya dialami Zakki Amali pada Rabu (30/10/2018) lalu.

Di sisi lain, Kementerian Perhubungan, lembaga yang paling bertanggung jawab mengelola transportasi di seluruh Indonesia, juga belum menjatuhkan sanksi tegas terhadap maskapai yang didirikan pada 1999 itu. Mereka baru mencopot Direktur Teknis Lion Air saja.

Meski demikian, Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi mengatakan pasti ada pihak lain yang harus bertanggung jawab.

“Pasti ada sanksi. Kepada siapa sanksi itu diberikan, kami akan lakukan klarifikasi dan dipimpin oleh KNKT,” kata Budi Karya di RS Polri Kramat Jati, Jakarta Timur, Selasa (30/10/2018) lalu.

Berdasarkan Keputusan Presiden RI Nomor 105 Tahun 1999, salah satu tugas KNKT adalah melakukan investigasi dan penelitian yang meliputi analisis dan evaluasi sebab-sebab terjadinya kecelakaan transportasi. Setelah investigasi keluar, maka Kemenhub-lah yang berhak menjatuhkan sanksi kepada maskapai yang terbukti bersalah.

“KNKT bertindak cepat untuk menetapkan siapa yang bertanggung jawab,” ujar Budi karya.

Berat atau tidaknya sanksi tergantung dari hasil pemeriksaan. Juga soal siapa yang dijatuhi hukuman, apakah maskapainya itu sendiri atau orang per orang.

"Sanksi ada di menteri. Sanksi itu bisa dilaksanakan setelah kita tahu apa kesalahannya, apakah karena manajemen, apakah itu karena pesawat, atau karena kru, atau karena SOP. Nanti setelah KNKT menemukan black box bersamaan data-datanya baru bisa kami sampaikan [sanksinya]." tegas Budi Karya.

Sanksi terberat adalah pembekukan surat izin operasi. Hal ini pernah dilakukan Kemenhub era Ignasius Jonan tahun 2015 lalu, meski bukan karena kecelakaan.

Pembekuan izin Lion Air diusulkan salah satunya oleh Anggota Komisi V DPR RI Ridwan Bae. “Jangan ragu-ragu [membekukan Lion Air] buat keselamatan bangsa dan keselamatan masyarakat Indonesia,” kata Ridwan, Selasa (30/10/2018) lalu.

Pemilik Lion Air Rusdi Kirana sempat mengatakan kalau mereka bersedia diaudit karena dianggap lalai menjamin keselamatan penumpang. Namun ia meminta jika pun dihukum sampai dibekukan, itu bukan karena emosi sesaat.

Gerry Soejatman, konsultan penerbangan dari CommunicAvia mengkritik pernyataan Budi Karya. Katanya, Kemenhub berwenang memberi sanksi saat ini juga selama ada dasar yang jelas.

"Rekomendasi itu tidak harus menunggu investigasi selesai," kata Gerry pada reporter Tirto.

Sayangnya, kata Gerry, pada kasus-kasus terdahulu Kemenhub selalu menunggu hasil investigasi KNKT yang pasti tidak bisa selesai cepat. Penyelidikan isi black box yang ditemukan sebagian Kamis (1/11/2018) ini misalnya, bisa memakan waktu enam bulan hingga satu tahun.

Tentu saja itu terlampau lama bagi keluarga korban yang ingin tahu apa sebetulnya yang menimpa keluarganya pada pagi nahas itu. Kini mereka masih harap-harap cemas karena dari 181 penumpang, baru satu orang saja yang sudah berhasil teridentifikasi.

Sampai empat hari setelah kejadian, tak banyak informasi yang bisa diberikan KNKT. Ivestigator KNKT Ony Suryo Wibowo mengatakan data detail sebelum pesawat jatuh telah mereka kantongi, tetapi ”belum bisa disampaikan ke masyarakat.”

Baca juga artikel terkait LION AIR JATUH atau tulisan lainnya dari Felix Nathaniel

tirto.id - Hukum
Reporter: Felix Nathaniel
Penulis: Felix Nathaniel
Editor: Rio Apinino