tirto.id - Memperingati Hari Pengungsi Sedunia yang jatuh pada tanggal 20 Juni 2018 ini, The Guardian membagikan daftar 34.361 migran dan pengungsi yang diketahui telah meninggal karena berusaha mencari rumah baru di dalam perbatasan Uni Eropa.
Daftar tersebut telah dikompilasi oleh United for Intercultural Action, jaringan 550 organisasi anti-rasis Eropa di 48 negara. Daftar tersebut hanya merinci para pengungsi yang kematiannya dilaporkan, karena pada kenyataannya jumlahnya jauh lebih tinggi, di atas 34.361 orang.
"Liputan media internasional tentang nasib tragis para migran paling tidak telah membelajarkan kita, terdapat banyak sekali kematian yang tidak terdokumentasi. Terdapat migran yang hilang di laut, mati di belakang truk, dibunuh dalam kondisi berbahaya di kamp-kamp oleh kelompok sayap kanan, atau tekanan berat yang membuat mereka mengambil nyawa mereka sendiri," tulis Alex Needham, editor The Guardian.
Daftar tersebut membawa kita kembali ke tahun 1993, ketika Kimpua Nsimba, seorang pengungsi 24 tahun dari Zaire, ditemukan digantung di pusat penahanan, lima hari setelah tiba di Inggris.
Daftar ini adalah penggambaran gamblang tentang skala krisis pengungsi dan penderitaan manusia yang telah terjadi selama 25 tahun terakhir.
Berikut link daftar lengkap 34.361 pria, wanita dan anak-anak yang tewas setelah berusaha mencapai Eropa, sebagaimana diberitakan The Guardian.
Sementara itu, dalam rangka memperingati Hari Pengungsi Sedunia, kelompok HAM Amnesti Internasional turut menyerukan kepada masyarakat internasional untuk menyediakan bantuan bagi lebih dari 900 ribu pengungsi Rohingya di Bangladesh, di tengah kekhawatiran terjadinya bencana lingkungan, aksi kekerasan berbasis-gender dan potensi perdagangan manusia di kamp-kamp pengungsi.
"Ini bukan krisis [kemanusiaan] yang akan selesai dalam waktu dekat," kata Direktur Amnesty International Asia Selatan Biraj Patnaik dalam sebuah pernyataan, dilansir VOAnews.
Sebagai kelompok etnis yang umumnya Muslim, Rohingya telah selama berabad-abad telah tinggal di Myanmar. Meskipun demikian Myanmar tidak mengakui warga Muslim-Rohingya sebagai warga negara. Myanmar tetap memandang mereka sebagai imigran ilegal asal Bangladesh, pada masa pemerintahan kolonial Inggris.
"Kita perlu menghadapi kenyataan bahwa Rohingya mungkin harus tetap di Bangladesh selama bertahun-tahun yang akan datang. Komunitas internasional memiliki kewajiban untuk mendukung para korban pelanggaran hak asasi manusia yang paling mengerikan ini, dan tidak menunggu sampai bencana lebih lanjut mengunjungi mereka sebelum mengambil tindakan," tegas Biraj Patnaik.
Editor: Yulaika Ramadhani