tirto.id - Banyak hal yang membuat Yogyakarta layak menyandang predikat Daerah Istimewa. Pada masa-masa awal republik ini berdiri, lewat telegram yang dikirim Sri Sultan Hamengkubowono IX (HB IX) kepada Sukarno, Negeri Ngayogyakarta dinyatakan bergabung ke dalam pangkuan Indonesia. Pilihan yang cukup berani untuk sebuah kerajaan lokal kala itu.
Situs kratonjogja.id menjelaskan, sebelum Indonesia merdeka, kerajaan-kerajaan lokal di Nusantara terikat kontrak dengan pemerintah Belanda. Inti kontraknya: setiap calon sultan yang hendak naik tahta harus mendapat restu lebih dulu dari pihak Belanda. Hal demikian tentu saja dilakukan agar pemerintah kolonial tetap memegang kendali atas kerajaan-kerajaan di tanah jajahannya.
Tapi lazimnya orang-orang yang mencetak sejarah, HB IX punya pendirian lain. Saat Agresi Militer terjadi, Bung Sultan bahkan memegang peran amat krusial.
“…pada Januari 1946 Sri Sultan Hamengku Buwono IX mengundang para pemimpin Republik Indonesia untuk memindahkan pusat pemerintahan ke Yogyakarta. Atas usul Sri Sultan Hamengku Buwono IX pula, Yogyakarta kemudian menjadi ibukota republik. Selama berada di Yogyakarta, seluruh biaya operasional, akomodasi, hingga gaji pejabat negara Indonesia ditanggung sepenuhnya oleh Keraton Yogyakarta.”
Belasan tahun sebelumnya, tepatnya pada 22 Desember 1928, Kongres Perempuan Pertama juga digelar di Yogyakarta. Bagi sebuah bangsa yang belum merdeka, pertemuan tersebut terang saja terbilang progresif. Ratusan perempuan dari sejumlah perkumpulan (Wanita Utomo, Putri Indonesia, Aisyiyah, Wanita Katolik, Wanita Mulyo, perempuan-perempuan Sarekat Islam, Jong Java, Jong Islamieten Bond, Taman Siswa, dll.) berkumpul dan membicarakan berbagai masalah yang mereka hadapi.
“Perwakilan Poetri Boedi Sedjati (PBS) dari Surabaya menyampaikan pidatonya tentang derajat dan harga diri perempuan Jawa. Lalu disusul Siti Moendji'ah dengan ‘Derajat Perempuan’. Nyi Hajar Dewantara—tentu saja istri dari Ki Hadjar Dewantara—membicarakan soal adab perempuan. Ada juga pembicara yang menyampaikan topik soal perkawinan dan perceraian,” tulis Petrik Matanasi dalam "Asal-usul Hari Ibu."
Petrik menambahkan, selain soal perkawinan anak, persoalan pendidikan perempuan juga mengemuka dalam kongres tersebut. Djami, utusan Darmo Laksmi, menegaskan bahwa perempuan punya hak yang sama dengan kaum Adam dalam soal pendidikan. Mengingat alam pikir orang-orang kala itu masih menempatkan perempuan antara sumur, kasur, dan dapur, pidato Djami—pidato yang mengingatkan kita pada Rohana Koedoes, Kartini, dan Dewi Sartika—terbilang melampaui zamannya.
“Tak seorang akan termasyhur kepandaian dan pengetahuannya yang ibunya atau perempuannya bukan seorang perempuan yang tinggi juga pengetahuan dan budinya,” kata Djami.
Kongres Perempuan menyepakati organisasi-organisasi perempuan berfusi menjadi Perserikatan Perempuan Indonesia. Pada 1929, nama itu berganti menjadi Perserikatan Perhimpunan Istri Indonesia.
Slamet Muljana, dalam Kesadaran Nasional: Dari Kolonialisme sampai Kemerdekaan (2008), menyebut dua tahun setelah kongres, perempuan-perempuan itu menyatakan bahwa gerakan perempuan adalah bagian dari pergerakan nasional. Bagi mereka, perempuan wajib ikut serta memperjuangkan martabat nusa dan bangsa.
Terkesan dengan semangat kaum perempuan itu, dalam peringatan kongres perempuan ke-25 tahun 1959, Presiden Sukarno pun menetapkan tanggal 22 Desember diperingati sebagai Hari Ibu melalui Dekrit Presiden RI No.316 Tahun 1959.
Kabar Baik di Peringatan Hari Ibu ke-90
Hari ini, 90 tahun sudah Kongres Perempuan berlangsung. Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Yohana Yembise menegaskan, hakekat Peringatan Hari Ibu (PHI) setiap tahunnya adalah mengingatkan seluruh rakyat Indonesia, terutama generasi muda, bahwa Hari Ibu adalah salah satu momentum kebangkitan, penggalangan rasa persatuan dan kesatuan, serta gerak perjuangan kaum perempuan yang seiring dengan sejarah perjuangan bangsa.
“Semangat memperjuangkan peran dan kedudukan perempuan dalam pembangunan bangsa oleh para perempuan pejuang di masa lampau masih relevan untuk dipertahankan dan dipelihara dalam konteks masa kini,” kata Yohana.
Yohana menambahkan, saat ini, perempuan masih kerap mengalami tindak kekerasan dan kesenjangan dalam mengakses, mengelola, dan memperoleh manfaat pembangunan. Hal demikian bisa dilihat dari, misalnya, perempuan pelaku usaha mikro dan kecil yang kerap kesulitan menjangkau program-program peningkatan ekonomi, baik yang bersumber dari pemerintah maupun kalangan swasta.
“Padahal, sekitar 60% usaha mikro dan kecil dikelola dan dimotori oleh kelompok perempuan dan dapat menyelamatkan Indonesia saat mengalami krisis ekonomi tahun 1998,” bebernya.
Seperti halnya tahun-tahun sebelumnya, PHI ke-90 Tahun 2018 diisi dengan berbagai rangkaian kegiatan seperti: seminar nasional, bakti sosial—meliputi sosialisasi anti narkoba, layanan kesehatan gratis, donor darah, pembagian sembako, pembagian kaca mata gratis, pelatihan pembuatan kerajinan—bermain bersama anak, dll. Seluruh kegiatan tersebut dilaksanakan oleh sejumlah Kementerian/Lembaga dan Pemda, juga perwakilan Republik Indonesia di luar negeri.
Tahun ini, Palangkaraya menjadi kota pertama yang disambangi Kemen PPPA untuk menyemarakkan Peringatan Hari Ibu (PHI) ke-90. Di Kota Cantik tersebut, kegiatan Peringatan Hari Ibu dirayakan dengan dialog antargenerasi, kunjungan ke panti wreda, dan pameran UMKM.
Sedangkan di Bandung, Hari Ibu diperingati lewat, salah satunya, Expo Usaha Kecil Menengah (UKM) Perempuan dan Peluncuran Program “Sekoper Cinta”—akronim dari Sekolah Perempuan Capai Impian dan Cita–cita.
Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil menerangkan, Program “Sekoper Cinta” merupakan wadah bagi perempuan Jawa Barat untuk saling bertukar pengetahuan, pengalaman dan meningkatkan kualitas hidupnya, sehingga mampu memberdayakan dirinya, keluarga, dan lingkungan sekitar.
“Ada 3 masalah utama yang menjadi tantangan bagi Provinsi Jawa Barat. Permasalahan tersebut di antaranya kasus perceraian yang disebabkan karena Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT), stunting, dan perdagangan manusia. Maka, kami meluncurkan ‘Sekoper Cinta’. Inspirasi ini kami terapkan ke seluruh wilayah Jawa barat. Setelah berjalannya Sekolah perempuan beberapa tahun di Bogor, tingkat perceraian dan KDRT di Bogor terbukti luar biasa menurun,” kata Emil, sapaan akrabnya.
Tema PHI ke-90 tahun 2018 adalah “Bersama meningkatkan peran perempuan dan laki-laki dalam membangun ketahanan keluarga untuk kesejahteraan bangsa”. Yohana menjelaskan, tema tersebut dipilih karena melihat situasi dan kondisi saat ini, kaum perempuan masih banyak yang menjadi korban kekerasan, terlibat penyalahgunaan narkoba/obat-obat terlarang, pornografi, perdagangan orang dan lain-lain. Puncak kegiatan PHI digelar di Bukittingi, Sabtu (22/12).
Sebelumnya, rangkaian PHI ke-90 juga dimeriahkan dengan pemberian penghargaan Anugerah Parahita Ekarpraya (APE) 2018 kepada 9 kementerian/lembaga, 22 pemerintah provinsi, dan 159 Pemda Kabupaten/Kota di Istana Wakil Presiden, Jakarta, Rabu (19/12). Penghargaan tersebut merupakan bentuk apresiasi pemerintah atas komitmen dan peran kementerian, lembaga, serta pemerintah daerah yang telah berupaya dan berkomitmen melaksanakan pembangunan PPPA melalui strategi pengarusutamaan gender (PUG).
Lepas dari rangkaian kegiatan di atas, kabar baik buat Hari Ibu juga datang dari Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengabulkan permohonan uji materiil Pasar 7 Ayat (1) Undang-Undang Perkawinan Anak mengenai batas usia anak. MK berpendapat batas minimal usia perkawinan untuk perempuan harus dinaikkan dari sebelumnya 16 tahun.
“Kita patut memberikan apresiasi kepada MK atas putusan Judicial Review Perkawinan Anak. Perkawinan Anak telah merampas hak-hak anak. Anak yang telah dinikahkan dini memiliki keterbatasan akses kesehatan dan pendidikan, yang kemudian berujung pada kemiskinan. Putusan itu dianggap sebagai upaya untuk melakukan pencegahan perkawinan anak untuk anak-anak Indonesia,” pungkas Menteri Yohana.
(JEDA)
Penulis: Tim Media Servis