tirto.id - Perhimpunan Insan Perunggasan Rakyat Indonesia (Pinsar) Petelur Nasional mencatat terjadi penurunan produktivitas ayam sebesar 20 persen dari 68 ribu ton menjadi 54,4 ribu ton per hari produksi telur. Rincian penurunannya, yaitu 5 persen karena penyakit dan 15 persen karena ayam petelur yang sudah tidak produktif (afkir).
Ketua Pinsar Petelur Nasional, Feri menjelaskan masing-masing sebab penurunan berlangsung saling terkait secara bertahap, yang menyebabkan tidak munculnya regenerasi ayam dengan baik.
"Karena kami pelihara ayam itu tidak satu angkatan, ada jenjangnya," ujar Feri di Kementerian Perdagangan Jakarta pada Senin (16/7/2018).
Selain faktor penyusutan produktivitas, adanya peningkatan biaya produksi karena ada pelaku usaha yang menggantikan Antibiotic Growth Promoter (AGP) yang diberikan untuk ayam dengan vitamin yang lebih mahal. AGP dilarang oleh Kementerian Pertanian dengan diterbitkannya Permentan Nomor 14 tahun 2017 tentang Klasifikasi Obat Hewan.
"Ada vitamin, esensial oil, tapi itu bikin harga (telur) lebih mahal. AGP itu supaya saluran pencernaan ayam sehat. Ketika penggunaan AGP dicabut, para pelaku usaha mensubtitusinya. Tiap peternak beda-beda ada esensial oil, ada probiotik," ungkap Feri.
Vitamin pengganti yang terkandung dalam 1 kg pakan telur itu memiliki harga bervariasi, Rp50 ribu, Rp100 ribu, Rp500 ribu hingga Rp1 juta. "Tergantung bahan apa yang dipakai," ucapnya.
Hal itu yang dipahami para pelaku usaha menyebabkan harga telur tinggi, pasca Lebaran. Menurutnya meski tinggi, tetap terkendali. Ke depan, dikatakannya sudah diantisipasi agar harga telur tidak melambung terlalu jauh lagi.
"Ini sudah akan diantisipasi dan terkendali. Dan ini juga tidak berkali-kali lipat kan naiknya," katanya.
Ia kemudian mengatakan penyusutan produksi telur tersebut dapat diatasi dengan penambahan populasi ayam petelur agar terdapat keseimbangan terhadap produksi.
"Keseimbangan itu nanti terbentuk sendiri ketika suplai menurun, nanti pasti akan ada pelaku usaha yang menambah produksinya. Sehingga akan terbentuk balance. Ketika over suplai juga demikian, mungkin kita menurunkan produksi atau adanya check out, ya ganti bisnis," kata dia.
Sementara mengenai angka kebutuhan telur, ia tidak bisa memperhitungkannya.
"[Kebutuhan konsumsi] tergantung karena itu sulit menghitung kebutuhan. Kebutuhan itu kami gambarkan dari titik harga. Berapa equilibrium yang terbentuk dari situ," ucapnya.
Perkiraannya, pada seminggu ke depan harga sudah mulai dapat berangsur turun sesuai permintaan dari Menteri Perdagangan (Mendag), Enggartiasto Lukita. Sebab, dikatakannya, harga telur di tingkat peternak sudah ada penurunan.
"Kalau farm (peternak) sudah turun, tapi kalau ecer pasti turunnya butuh waktu bertahap. Harga farm dan harga eceran itu beda," ujarnya.
Di peternak, saat ini harga telur ayam per kilogram mencapai Rp21-22 ribu. Sebelumnya, dari menjelang Lebaran harga telur Rp25 ribu per kg.
"Itu [Rp25 ribu per kg] di on farm, di konsumen bisa Rp30 ribuan per kg," sebutnya.
Perhitungan lainnya untuk terpenuhinya permintaan Mendag, adalah saat ini sudah masuk bulan yang tidak banyak orang menikah, jika mengikuti budaya Jawa. Sehingga, ia yakin permintaan telur akan menyusut.
"Berdasarkan bulan Jawa, sekarang ini masuk bulan selo [longgar], bulan dimana tidak banyak ada kawinan. Itu tergantung budaya. Jadi, permintaan juga kurang," ungkapnya.
Permintaan telur menurun juga karena sudah mulai masuk tahun ajaran baru. Waktu libur anak sekolah sudah berakhir, yang artinya dapat menurunkan keutuhan telur di tempat-tempat wisata atau restoran.
"Tempat wisata akan sedikit sepi karena anak sekolah sudah mulai masuk. Pasti demand telur menurun. Harga pun akan turun," ucapnya.
Pada Agustus mendatang, ia mengungkapkan 20 persen penyusutan produktivitas ayam bisa digantikan kembali. "Sekarang ada penurunan 20 persen, tapi nanti Agustus akan normal lagi karena ayam yang muda sudah tumbuh," ucapnya.
Penulis: Shintaloka Pradita Sicca
Editor: Maya Saputri