tirto.id - Gubernur Nusa Tenggara Timur (NTT), Emanuel Melkiades Laka Lena, mengancam akan mencabut Surat Izin Praktik (SIP) dua dokter anestesi RSUD Tc. Hillers Maumere yang dinilai melakukan aksi mogok kerja karena menganggap honor terlalu kecil.
“Kedua dokter ini mogok kerja karena menilai honor terlalu kecil. Tapi akibat dari tindakan mereka, sudah ada pasien yang meninggal. Ini bukan lagi soal honor, ini soal tanggung jawab kemanusiaan,” kata Melki dalam sebuah video yang diterima media ini, Jumat (11/4/2025).
Dokter yang dimaksud adalah dr. Remidazon Riba, Sp.An, lulusan 2022, dan dr. Yosefin Erfleniati Jati. Menurut Gubernur, keduanya menolak bertugas karena merasa insentif yang diberikan tidak sebanding dengan beban kerja, terutama dalam menangani kasus-kasus anestesi krusial di RSUD dr. T.C. Hillers Maumere.
Melki menyebut telah berkoordinasi langsung dengan Kementerian Kesehatan untuk mencabut SIP kedua dokter tersebut.
“Kalau SIP dicabut, mereka tidak akan bisa praktik di mana pun di Indonesia, sampai mereka sadar kembali akan tanggung jawab sebagai dokter,” ujarnya.
Ia menegaskan bahwa profesi dokter adalah panggilan hati, bukan sekadar pekerjaan untuk mengejar keuntungan material.
Sementara itu, Bupati Sikka, Juventus Prima Yoris Kago, mengungkapkan bahwa permasalahan anestesi ini sudah berlangsung sejak Januari 2025. Saat itu, dua dokter anestesi yang ada memutuskan untuk mengundurkan diri.
Ia menilai, ketiadaan dokter anestesi akan berdampak pada pelayanan publik.
"Saya juga trenyuh karena ini berkaitan dengan nyawa manusia,” katanya.
Pemkab Sikka kemudian berupaya melakukan komunikasi dengan kedua dokter tersebut. Dalam dialog informal, telah tercapai titik temu. Beberapa tuntutan mereka, termasuk soal insentif dan pembagian jasa, disanggupi oleh pemerintah daerah.
"Kami sepakat berkaitan dengan insentif itu ada kenaikan,” kata Bupati Juventus.
Namun, dalam pertemuan lanjutan melalui Zoom bersama Kemenkes, kesepakatan itu berubah. Kedua dokter akhirnya menyatakan tidak ingin lagi mengabdi di Kabupaten Sikka.
Dalam kunjungan ke Jakarta, Pemkab Sikka dan Pemprov NTT kembali bertemu dengan Kemenkes. Meski pertemuan diawali dengan tarik ulur, akhirnya Kemenkes menjanjikan penempatan dua dokter anestesi untuk menggantikan posisi yang kosong.
Ia menambahkan, proses dokter anestesi itu tidak semudah membeli tiket pesawat. Ada tahapan, dan rangkaian sistem yang harus dibereskan.
Sebagai solusi jangka panjang, Pemkab Sikka berencana menyekolahkan dokter-dokter yang ada untuk mengambil pendidikan spesialisas dan membuat perjanjian kerja sama, agar tidak terjadi persoalan serupa di masa depan.
Menanggapi pernyataan Gubernur NTT, dr. Remidazon Riba, Sp.An, menyebut bahwa penerbitan SIP merupakan kewenangan Dinas Kesehatan, berdasarkan Surat Tanda Registrasi (STR).
“STR dokter ada tiga SIP, jadi boleh bekerja di tiga tempat,” katanya saat ditemui Tirto, Sabtu (12/4/2025) siang.
Remidazon menegaskan bahwa dirinya tidak terkait dengan kematian ibu hamil yang terjadi di RSUD Maumere pada Rabu (9/4/2025) malam. Ia menyebut, sejak 31 Desember 2024, dirinya sudah tidak lagi bekerja di rumah sakit tersebut, begitu pula dengan dr. Yosefin Erfleniati Jati.
Pada awal Februari 2025, RSUD Maumere dilaporkan mengajukan permohonan pencabutan STR keduanya ke Kementerian Kesehatan. Laporan tersebut berujung pada persidangan oleh Konsil Kesehatan Indonesia (KKI).
Berdasar hasil sidang KKI, ia tidak terbukti melakukan pelanggaran SOP berat, sehingga SIP dan STR keduanya masih aman.
Remidazon menyebut, pada 17 Maret 2025, Kemenkes menyetujui bahwa ia dan dr. Yosefin diperbolehkan bekerja di rumah sakit lain.
Meski begitu, ia mengaku masih memiliki tunggakan dua tahun masa pengabdian di NTT karena dibiayai Kemenkes saat mengambil spesialis anestesi. Sementara dr. Yosefin sudah mengabdi lebih dari enam tahun, melebihi masa wajib pengabdian selama lima tahun.
“Kalau ada kasus setelah 18 Maret 2025, saya bingung kenapa nama kami berdua malah disangkutpautkan dengan kematian ibu hamil baru-baru ini,” tutupnya.
Editor: Farida Susanty