tirto.id - Kiamat berhasil ditunda berkat Antichrist yang menolak takdirnya sebagai pengakhir umat manusia. Semua itu berkat duo malaikat-setan yang memberontak melawan rencana Tuhan.
Kesuksesan serial Good Omens bikin statusnya ini berubah, dari semula direncakan sebagai limited series lantas diperpanjang menjadi serial panjang. Pada Juli 2023 lalu, season keduanya pun tayang di Prime Video.
Mengingat season pertamanya sudah mengkover penuh satu novel berjudul sama karya Neil Gaiman dan Terry Pratchett, akan seberapa jauh kisahnya di musim kedua ini?
Good Omens sebetulnya memang punya titik tolak untuk dibuat sekuelnya. Itu berkat satu line pada ujung musim pertamanya bahwa kelak Surga-Neraka mungkin bakal bersatu padu melawan kemanusiaan.
Jadilah musim keduanya itu sebagai kisah yang betul-betul baru yang ditulis bersama oleh Gaiman dan John Finnemore. Ia masih menampilkan Michael Sheen sebagai Aziraphale sang malaikat dan David Tennant sebagai Crowley sang setan pemberontak.
Musim ini dibuka dengan flashback semasa Crowley masih berstatus malaikat, tepatnya ketika dia turut membantu penciptaan alam semesta. Boleh jadi, sejak itulah titik awal pemberontakannya. Crowley kecewa lantaran alam raya mahaluas dan begitu indah itu sama sekali tak banyak gunanya selain sebagai objek untuk membuat manusia kagum akan kreasi Tuhan—seakan seperti wallpaper semata.
Crowley menyebut itu sebagai “kepandiran”. Lebih lanjut, dia merasa surga, neraka, malaikat, dan setan sepenuhnya tak berarti. Toh manusia tak butuh setan untuk merancang kekejian. Season kedua Good Omens tampaknya masih mengusung spirit yang sama dengan musim sebelumnya, yakni mencandai seraya mengkritik tajam kreasionisme dan agama-agama langit, pula optimis sekaligus tetap kritis terhadap kemanusiaan.
Hilangnya Gabriel, (karena) Hadirnya Cinta
Surga-Neraka yang diperkirakan bakal bersatu padu kontra kemanusiaan tidak/belum terjadi untuk sekarang ini. Alih-alih, Good Omens mengusung kisah lain lagi di musim kedua ini, yakni diturunkannya Archangel Gabriel (Jon Hamm) ke Bumi. Tak hanya itu, dia juga sepenuhnya dalam kondisi hilang ingatan.
Baik Surga maupun Neraka, untuk alasan masing-masing, sama-sama menginginkan sosok eks pemimpin pasukan Surga itu. Untuk alasan skeptisnya mereka pada dua pihak tersebut, Aziraphale dan Crowley sepakat untuk menyembunyikan sang Archangel.
Serial lantas berkisar pada premis sederhana tersebut sembari berkutat pada subtema lain, semisal eksplorasi hubungan manusia juga relasi duo karakter utamanya yang menjurus pada satu topik utama: cinta.
Untuk hal itu, Good Omens sebetulnya memang punya amunisi tak terbatas. Ia bisa kembali ke masa lampau mana pun untuk menunjukkan flashback kala Aziraphale dan Crowley mengarungi peradaban. Kali ini, keduanya ditampilkan hadir pada masa ketika Job (atau Ayub) menerima berlapis cobaan dari Tuhan.
Kisah penderitaan Job diberdayakan ke dalam karakterisasi Crowley. Itulah pertama kalinya sang setan dengan gamblang mengintervensi keputusan Tuhan dan malaikat yang menurutnya tak kapabel. Di lain waktu, kisah keduanya di Edinburgh abad ke-19 jadi pelajaran berarti untuk Aziraphale lebih memahami manusia. Sang malaikat kini belajar lebih banyak ihwal baik-buruk, privilese, hierarki sosial, hingga kenyataan-kenyataan gelap dalam progres kemanusiaan.
Bukan proses yang singkat bagi keduanya untuk menyadari ada yang tak beres dari rencana-rencana langit terhadap manusia. Rencana-rencana itu lazimnya berujung tragis (bagi manusia). Sering kali juga ketidakpahaman para entitas agung akan manusia dijadikan tulang punggung penceritaan, kerap ditampilkan dalam humor.
Para anggota Nazi, misalnya, ditampilkan mengantre masuk neraka, seraya melewati berbagai proses birokrasi sebelum menjelang siksaan. Sedangkan surga ditampilkan jauh, jauh lebih lengang. Alasannya: jarang ada yang ke sini.
Para kreator juga tak melupakan worldbuilding seraya mengentalkan humor. Namun, alur ceritanya terasa kelewat sering berlari-lari menjauh dari plot utamanya. Good Omens seakan butuh banyak waktu hanya untuk menunjukkan mulai memadatnya hubungan antara dua karakter utamanya, perlu cukup banyak waktu hanya demi mengaburkan batas kontras antara hitam dan putih.
Jalinan plot demi mengeksplorasi hubungan Aziraphale dan Crowley pun kerap kali bikin premis yang melibatkan Gabriel jadi agak tersisih, dan karenanya terkesan dipanjang-panjangkan.
Untungnya, konklusi plot utama yang ditahan hingga akhir itu setidaknya tetap menarik. Gabriel diturunkan pangkatnya jadi malaikat junior, dipersilakan ke Bumi tanpa ingatan sepenuhnya lantaran sang archangel menolak rencana langit untuk menghadirkan Armageddon (atau Kiamat) jilid dua.
Motif penolakannya pun tetap selaras dengan tema season kedua ini: cinta. Sang pemimpin pasukan Surga nyatanya lelah dengan rencana perang, lebih-lebih karena dia mendapati dirinya telah jatuh cinta pada pihak lawan, tepatnya Beelzebub (Shelley Conn) sang setan pemimpin pasukan Neraka.
Romansa memberikan tujuan baru pada eksistensi entitas seperti mereka yang selama ini digambarkan hanya eksis untuk menantikan Kiamat tiba. Ada pula romansa lain di antara dua manusia, Nina dan Maggie, yang dijahit rapi ke dalam naratif.
Subplot tersebut barangkali dikedepankan karena kecenderungan untuk menampilkan cinta sebagai milik siapa saja. Entah itu Gabriel dan Beelzebub yang ditampilkan dalam wujud manusia berlawanan jenis, maupun Nina dan Maggie yang bergender sama. Lebih lanjut, ini juga digunakan untuk menguak bahwa selama ribuan tahun hidup di antara manusia, tetap ada hal (yaitu cinta) yang belum dipahami dengan baik oleh Aziraphale maupun Crowley.
Ini lantas menjadi arah baru yang pada season pertamanya hanya terasa sebagai hint atau ekspektasi para fan. Adapun cinta itu bukan terhalang gender maupun status masing-masing sebagai malaikat dan setan, melainkan karena perbedaan lainnya yang lebih melancip: perbedaan perspektif antara keduanya.
Yang satu merasa menjadi agent of change yang mampu mengubah dari dalam, sedangkan yang lain sudah selesai dengan status quo. Ketika Aziraphale masih memiliki sedikit optimisme, Crowley malah sepenuhnya percaya bahwa otoritas (Tuhan, Surga, dan Neraka) sepenuhnya toxic—sama saja kejinya dalam memandang manusia.
Good Omens pun lantas jadi kisah patah hati.
Tetap Iseng, pula Lebih Solid
Aziraphale didapuk jadi pengganti Gabriel sebagai pimpinan Surga untuk melancarkan rencana besar langit berikutnya: Kedatangan Kedua (Second Coming). Sementara itu, Crowley rela memilih untuk patah hati, harus puas untuk tetap bergentayangan di dunia.
Itu bukan akhir yang indah. Namun, bagi sebagian fan yang menantikan eksplorasi hubungan keduanya (spesifiknya, romansa), season kedua Good Omens jelas memberi pertunjukan menarik.
Ia masih disajikan dengan plot yang sama anehnya, sama konyolnya, atau terkadang keluar sekenanya dari belitan plot dengan bersembunyi di balik humor. Level blasphemy-nya juga tetap setara dengan season pertama, kalau bukan lebih iseng lagi dengan menghadirkan hubungan terlarang setan-malaikat yang ditampilkan dalam wujud manusia sesama jenis.
Good Omens musim kedua ini barangkali bakal memancing petisi lain lagi dari para kalangan agamis konservatif.
Di lain sisi, ia sepertinya bakal terasa kurang nampol bagi mereka yang menantikan kehebohan seperti di musim sebelumnya. Materi ceritanya juga terasa berkurang dan itu berujung pada plot yang tak lebih padat dengan durasi per episode yang tak jauh berbeda ketimbang sebelumnya. Setidaknya, ia punya waktu berlama-lama menggali hubungan, menampilkan lebih banyak momen, dan lebih banyak porsi untuk akting Sheen dan Tennant yang memang selalu memuaskan. Saya tak akan ragu mengatakan bahwa chemistry mereka amat solid.
Setidaknya pula, masih jelas terasa keleluasaan bercerita di sana. Bukan hanya dalam mencandai narasi-narasi religius yang besar dan mapan, tapi juga hingga ke poin dalam menjelaskan adanya recasting (aktor Beelzebub sekarang berbeda dengan season 1) yang berhasil dimasukkan ke dalam plot.
Selain memperdengarkan lagi lagu-lagu Queen, Good Omens kini lebih berfokus pada tembang "Everyday"-nya Buddy Holly (juga track pembuka serial Welcome to Wrexham) yang juga diselipkan dengan mulus menjadi bagian dari plot.
Tentunya pula masih diiringi score fantastis garapan komposer David Arnold. Kali ini, ia terkesan tak terlalu spesial, tapi lebih dari cukup untuk menopang segala adegan. Lagu temanya yang terbilang ikonik pun hadir dalam banyak varian, misalnya dengan dihadirkan dalam nuansa Timur Tengah saat episode Job, jadi bernuansakan Celtic saat episode Edinburgh, bahkan terdengar jadi waltz dalam episode Dansa.
Overall, Good Omens masih pada bentuknya sebagai komedi yang agak menyentil untuk sebagian kalangan. Ia pantas berada di jajaran serial populer, meski tak jadi yang terbesar. Kini, dengan beban emosional lebih besar, ia jadi kisah baru yang tetap selaras dengan season sebelumnya.
Pokoknya, Good Omens musim kedua ini tetap solid dengan formula yang tak jauh beda, malahan terasa lebih solid dan menjejak, dengan berkurangnya kecenderungan Gaiman untuk mencampur-adukkan berbagai tema sekaligus. Ia tak lupa tetap membetot perhatian dengan menghadirkan konklusi naratif baru: sejauh mana hubungan terlarang setan-malaikat ini bisa dijelajahi sembari memberikan tontonan yang (tetap) menghibur?
Editor: Fadrik Aziz Firdausi