tirto.id - Sidang ke-22 kasus kematian Wayan Mirna Salihin dimulai pagi ini. Dalam persidangan kali ini, giliran ahli psikologi yang diundang memberikan kesaksian mengenai perilaku meletakkan tas kertas yang dilakukan terdakwa Jessica Kumala Wongso di atas meja 54 Kafe Olivier.
"Contohnya saya sendiri, Bapak lihat, tas saya letakkan di mana? Kenapa saya letakkan di sini (di atas meja) kira-kira?" tanya ahli psikologi Universitas Indonesia Dewi Taviana Walida Haroen untuk menjawab pertanyaan Otto Hasibuan, pengacara Jessica, di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, seperti dikutip dari kantor berita Antara, Senin (19/9/2016).
Pertanyaan Dewi itu pun mendapatkan reaksi dari Otto dengan pertanyaan balik.
"Biar bisa dilihat orang lain, atau karena harga tasnya mahal kali ya? Atau karena tak ada kursi?"
Dewi kemudian melanjutkan dengan penjelasan menilai perilaku meletakkan tas tidak bisa dilakukan menggunakan ukuran kelaziman seperti yang pernah dikatakan ahli psikologi sebelumnya dalam persidangan.
"Bisa karena takut dicuri, sudah terbiasa, macam-macam jawabannya. Kalau kita pakai ukuran kelaziman, bisa bahaya Pak," katanya.
Jaksa penuntut lalu bertanya, apakah bisa perilaku Dewi meletakkan tas di meja ruang sidang bisa dibandingkan dengan tindakan Jessica meletakkan tas kertas di Kafe Olivier saat Mirna minum kopi yang telah dicampuri sianida.
Dewi menjawab untuk mengetahui perilaku seseorang harus dilakukan pemeriksaan mendalam, apakah orang itu punya kebiasaan meletakkan tas di atas meja atau tidak.
"Sudah saya katakan kita harus cek perilaku, apakah itu kebiasaan, berulang kali atau tidak. Harus diselidiki dengan penelitian. Satu perilaku homogen disebabkan faktor heterogen," jelasnya.
Ia melanjutkan, "Kenapa taruh tas di atas meja? Mahal atau kotor di bawah. Ada kesimpulan yang bisa dipertanggungjawabkan,”
Ia kemudian memberikan gambaran situasi yang berasal dari pengalaman pribadinya, “Saya terbiasa taruh di meja karena kalau taruh di belakang takut dicuri orang."
Selanjutnya, terjadi tanya jawab yang menunjukkan jaksa keberatan menerima keterangan ahli psikologi tersebut, sebab Dewi sebenarnya belum pernah memeriksa Jessica secara langsung. Keterangannya berdasarkan pada hasil membaca pemeriksaan.
"Ahli sebagai psikolog obyeknya harusnya orang yang diperiksa, lalu kenapa ahli hanya membaca hasil pemeriksaan orang lain?" tanya jaksa kepada Dewi.
"Saya bicara secara umum, saya boleh memeriksa dokumen hasil pemeriksaan orang lain," jawab Dewi.
Mendengar jawaban Dewi, jaksa kemudian mengingatkan dalam persidangan saksi tidak bisa memberikan pendapat dari sudut pandang umum.
"Ahli jangan bilang secara umum dong. Ini bukan tempat praktik, ini persidangan. Itu memang etis dilakukan?" tanya jaksa lagi.
"Boleh pak," jawab Dewi sambil menunjuk sebuah dokumen. "Kami diperbolehkan sama seperti dokter saling membandingkan hasil rekam jejak dokter lain," paparnya.
Jaksa kembali mencecar, "Ahli adalah psikolog, harusnya memeriksa orang bukan dokumen."
Di tengah situasi yang panas antara Jaksa dan ahli, Otto Hasibuan muncul dan melakukan protes kepada jaksa atas pertanyaan yang diajukan kepada ahli psikologis itu.
Melihat situasi yang mulai ricuh, ketua majelis hakim Kisworo meredakan perdebatan dengan mengatakan, "Ahli ini sudah disumpah, pasti dia tahu batasannya dalam memberikan keterangan."
Penulis: Mutaya Saroh
Editor: Mutaya Saroh