Menuju konten utama

Gesture Tak Bisa Jadi Bukti Kejahatan Jessica

Sidang kasus kematian Wayan Mirna Salihin memasuki tahap ke-22. Saksi ahli bidang kriminolog dihadirkan, saksi mengatakan bentuk wajah dan gesture atau perilaku seseorang tidak serta merta menjadi tanda-tanda seseorang sebagai pelaku kejahatan.

Gesture Tak Bisa Jadi Bukti Kejahatan Jessica
Terdakwa kasus pembunuhan Wayan Mirna Salihin, Jessica Kumala Wongso (kiri) mendengarkan keterangan saksi ahli yang meringankan untuk terdakwa, Pakar Patologi Forensik Unversitas Indonesia Djaja Surja Atmadja (kanan) dalam sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Rabu (7/9) silam. Dalam sidang lanjutan tersebut saksi ahli menyatakan Mirna tidak meninggal akibat sianida karena temuan barang bukti sisa sianida sebanyak 0,2 miligram di dalam lambung Mirna dinilai masih berada di bawah batas wajar. ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan.

tirto.id - Saksi ahli kriminolog kasus kematian Wayan Mirna Salihin dengan terdakwa Jessica Kumala Wongso tidak bisa menyatakan bentuk wajah dan gesture atau perilaku seseorang tidak serta merta menjadi tanda-tanda seseorang sebagai pelaku kejahatan.

“Tidak bisa men-judge bahwa dialah penjahat,” kata Eva Achjani Zulfa, ahli kriminologi dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia di pengadilan negeri Jakarta pusat, Senin (19/9/2016).

Pernyataan saksi ahli ini direspon oleh Otto Hasibuan selaku ketua tim kuasa hukum Jessica dengan pertanyaan, “Apakah seorang kriminolog dapat menilai dari gesture bahwa seseorang itu bisa mejadi penjahat atau pembunuh?” tanya Otto

Saksi ahli lalu menerangkan ilmu kriminologi hanya membantu menemukan motif sampai gejala-gejala seseorang melakukan kejahatan dengan memanfaatkan pendekatan-pendekatan tertentu, misalnya sosiologi, psikologi, dan fisiognomi, yakni ilmu membaca karakter seseorang melalui wajah, sehingga bisa menjadi pendekatan untuk menentukan motif.

Akan tetapi, Evi menegaskan, ilmu kriminologi tetap tidak bisa dipakai sebagai acuan untuk menyimpulkan seseorang berbuat kejahatan atau tidak.

Menurut Evi, kriminolog hanya membantu untuk menggambarkan motif, kondisi, dan situasi apa yang mempengaruhi seseorang melakukan suatu kejahatan.

“Hal itu (pembuktian seseorang bersalah atau tidak) masuk ke dalam ranah hukum pembuktian bukan dalam kriminolog,” katanya.

Ketika Otto mendesak ahli untuk menjelaskan mengenai gesture Jessica yang terlihat di dalam cctv, tentang apakah ada suatu tanda di dalam gesture tersebut yang membuktikan Jessica sebagai pelaku, saksi ahli menyatakan tidak bisa menjawab persoalan itu.

“Saya tidak bisa menjawab,” kata Evi kepada hakim.

Kuasa hukum Jessica kemudian melanjutkan pertanyaan yang didahului dengan ilustrasi, korban dan terdakwa bersahabat sejak lama, sekolah bersama di luar negeri sampai lulus. Berpisah karena Mirna bekerja di Indonesia, sedangkan Jessica di Australia. Pertemuan kembali mereka berakhir naas di Cafe Olivier dengan peristiwa kematian Mirna yang diduga diracun oleh Jessica.

Terkait hal ini, saksi ahli menyatakan tidak bisa memberikan keterangan tersebut dengan alasan tidak memiliki data.

“Validitas untuk melihat atau menilai fenomena apakah seorang sahabat bisa menjadi pembunuh sahabatnya sendiri? Saya tidak punya data soal itu,” kata Evi.

Ia mengaku membutuhkan data untuk menganalisis dan membutuhkan pembanding untuk membuktikan peristiwa tersebut.

“Hasil analisis akan menggambarkan tentang potensi, pendekatan berbeda bisa memberikan kesimpulan yang berbeda. Kriminolog perlukan analisa terukur,” ujar Evi.

Baca juga artikel terkait KASUS SIANIDA atau tulisan lainnya dari Mutaya Saroh

tirto.id - Hukum
Reporter: Mutaya Saroh
Penulis: Mutaya Saroh
Editor: Mutaya Saroh