Menuju konten utama

Gerakan Jihad FPI ke Myanmar Berpotensi Ditunggangi ISIS

IMCC menilai gerakan jihad yang digalang FPI ke Rakhine, Myanmar untuk membela etnis Rohingya rentan ditunggangi oleh kelompok teroris, seperti ISIS.

Gerakan Jihad FPI ke Myanmar Berpotensi Ditunggangi ISIS
Pengungsi Rohingya berjalan menuju pantai dengan harta benda mereka setelah menyebrangi perbatasan Bangladesh-Myanmar menggunakan perahu melalui Teluk Benggala di Teknaf, Bangldesh, Selasa (5/9). ANTARA FOTO/REUTERS/Mohammad Ponir Hossain.

tirto.id - Direktur Indonesia Muslim Crisis Centre (IMCC), Robi Sugara menilai gerakan jihad ke Rakhine untuk membela etnis Rohingya yang dikoordinir Front Pembela Islam (FPI) rentan ditunggangi oleh kelompok teroris, seperti ISIS untuk merekrut anggota baru.

Robi beralasan, FPI tidak punya pengalaman seperti halnya ISIS dan kelompok jihadis lainnya. Namun, FPI punya kemampuan menggunakan isu keagamaan untuk merebut simpati publik.

Menurut Robi, salah satu cara kaderisasi dan penyebaran ideologi kelompok jihadis adalah dengan cara memanfaatkan kemarahan masyarakat terhadap isu tertentu. Dan isu Rohingya yang tersebar sebagai konflik antaragama merupakan alat yang efektif.

“FPI pernah melakukan tahun 2010 untuk jihad ke Palestina, tapi akhirnya dibajak oleh kelompok lintas Tanzim yang akhirnya ada pelatihan militer di Aceh,” kata Robi, kepada Tirto, Kamis (7/9/2017).

Akan tetapi, juru bicara FPI, Slamet Maarif menegaskan, tugas utama gerakan jihad FPI ini adalah melakukan misi kemanusiaan, seperti halnya yang telah dilakukan FPI di Palestina.

“Tugas laskar di sana yang utama misi kemanusiaan dengan membantu muslim Rohingnya berupa makanan dan obat-obatan serta kesehatan. Tetapi dalam keadaan tertentu jika diperlukan ya berjihad melawan kebiadaban tentara Myanmar,” kata Slamet, saat dihubungi Tirto, Kamis (7/9/2017).

Slamet mengklaim, pihaknya menggalang massa untuk berjihad ke Myanmar sebagai respons atas kekerasan kemanusiaan terhadap etnis Muslim Rohingya oleh militer Myanmar.

Saat ini, FPI di sejumlah daerah telah mengadakan pendaftaran mujahid. Slamet menuturkan, hingga Kamis kemarin sudah lebih dari 10.000 orang yang mendaftar dari 7 daerah, yakni: Banten, Aceh, Klaten, Poso, Pasuruan, Jakarta, dan Sumatra Selatan.

“Tugas kami di pusat mengakomodir keinginan daerah tersebut sehingga DPP FPI mengambil langkah untuk menseleksi dan memberangkatkan mereka,” kata Slamet saat dihubungi Tirto, Kamis (7/9/2017).

Mereka yang telah lolos seleksi, kata Slamet, akan diberangkatkan menggunakan biaya dan jaringan yang dimiliki oleh DPP FPI.

“Kami akan berangkat setelah pemerintah dan TNI sudah tidak bisa lagi mengatasi persoalan Muslim Rohingnya, dan menunggu akses-akses yang ada untuk bisa masuk ke Rohingya,” kata Slamet.

Potensi Penyalahgunaan Penggalangan Dana

Selain gerakan jihad yang berpotensi ditunggangi, penggalangan bantuan dana ke wilayah konflik juga dinilainya rentan disalahgunakan. Robi berkata, selama ini kedok bantuan kemanusiaan ke wilayah konflik sering digunakan oleh pendukung ISIS dan kelompok jihadis lainnya sebagai media pendanaan.

“Alasan kemanusiaan itu pintu masuk. Lihat kasus konflik Ambon dengan kelompok KOMPAK (Komite Penanggulangan Krisis),” kata Robi.

Menurut dia, kelompok tersebut dibentuk oleh Dewan Dakwah Islam Indonesia (DDII) untuk menggalang dana dari masyarakat dan mengirim relawan guna membantu muslim yang menjadi korban konflik di Ambon. Tapi, di sana mereka justru berafiliasi dengan Jamaah Islamiyah (JI).

“Kelompok ini akhirnya bukan hanya sebagai tugas kemanusiaan, tapi juga terlibat konflik langsung,” kata Robi.

Dari data IMCC, kelompok yang saat ini diduga menggalang dana atas nama kemanusiaan, tapi digunakan untuk membantu jihadis adalah Infaq Dakwah Centre (IDC).

“Itu langsung dari keterangan eks teroris datanya. Mereka sering membantu eks ISIS di penjara dalam bentuk makanan," kata Robi.

Dari penelusuran yang dilakukan Tirto, IDC sendiri diketahui memberikan bantuan kepada keluarga almarhum Zoya yang meninggal dibakar massa setelah diduga mencuri amplifier musala di Bekasi beberapa waktu lalu.

Mereka memberi bantuan kepada keluarga almarhum Zoya, berupa sebuah rumah senilai Rp251 juta. Padahal, dana yang terkumpul saat itu sebesar Rp651 juta.

Saat dikonfirmasi Tirto, Ketua IDC Mulyadi Abdul Ghani menyatakan, sisa dana tersebut digunakan untuk membantu anak yatim. “Itu juga atas persetujuan keluarga Zoya,” kata Mulyadi kepada Tirto melalui pesan Whatsapp, Kamis kemarin.

Mulyadi pun menolak tuduhan lembaganya memberi bantuan kepada kelompok teroris ISIS di penjara. Namun ia mengakui jika IDC memang mempunyai program membantu keluarga aktivis Islam yang sedang dipenjara.

“Salah satu prgrm IDC adalah Solidaritas untuk keluarga aktivis Islam yg di penjara. Di antaranya: keluarga ustaz atau aktivis Islam yang suaminya dipenjara karena dakwah, misalnya Ranu Muda (wartawan yang dipenjara karena membongkar kafe mesum), keluarga Ustaz Khaththat tempo hari, keluarga Ustaz Alfian Tanjung, dsb," kata Mulyadi.

Sedangkan program IDC di penjara, kata Mulyadi, adalah bantuan menghafal Alquran untuk keseluruhan narapidana. Bukan hanya aktivis Islam saja.

“Tapi program tersebut sudah kami tutup karena minimnya SDM. Itu juga tidak menggunakan uang sumbangan keluarga Zoya,” kata Mulyadi.

Baca juga artikel terkait ROHINGYA atau tulisan lainnya dari M. Ahsan Ridhoi

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: M. Ahsan Ridhoi
Penulis: M. Ahsan Ridhoi
Editor: Abdul Aziz