Menuju konten utama

Gerakan Ambisius 1.000 Start-up

Sebuah gerakan menargetkan akan menghasilkan 1.000 start-up baru dengan dengan total valuasi $10 miliar. Gerakan yang dinilai ambisius dengan alur program tak masuk akal.

Gerakan Ambisius 1.000 Start-up
Mahasiswa Teknik Informatika & Ilmu Komputer mengikuti Programming Contest 2016, di Bandung, Jawa Barat. [Antara foto/Fahrul Jayadiputra]

tirto.id - Sejumlah start up telah mengubah gaya hidup masyarakat perkotaan. Mereka mengubah cara membeli makanan, cara berbelanja, transportasi, hingga cara mencari tukang pijat.

Dua tahun lalu, kalau Lian sedang kelaparan, ia harus berjalan kaki atau naik sepeda motor untuk bisa membeli seporsi sate kambing. Sekarang, Lian hanya perlu membuka sebuah aplikasi dari ponsel pintarnya, pilih-pilih makanan sesuai selera. Lalu, beberapa menit kemudian ada yang mengetuk pintu dan mengantarkan pempek.

Untuk bisa menikmati perawatan salon juga tidak lagi repot-repot harus ke salon. Cukup buka sebuah aplikasi dari ponsel pintar, pilih-pilih layanan, tentukan jam, dan perawatan pun bisa dilakukan di rumah.

Tukang ojek pun tak perlu lagi menghabiskan waktu menunggu penumpang di pangkalan. Sambil istirahat di rumah, orderan penumpang langsung masuk lewat ponsel pintarnya. Banyak hal tentang gaya hidup berubah karena kehadiran beberapa start-up dalam dua tahun ini.

Dalam tiga tahun terakhir, uang yang mengalir untuk mendanai bisnis start-up di Indonesia memang menunjukkan lonjakan tajam. Sepanjang 2010-2013, grafik pertumbuhan investasi start-up tampak landai. Memasuki 2014, ia naik signifikan dari di bawah $20 juta menjadi $150 juta.

Setahun kemudian, nilainya terbang tinggi hampir menyentuh angka $600 juta. Pertumbuhan ini juga dipicu oleh lahirnya Mataharimall yang mendapat $500 juta dari Lippo Digital Ventures.

Saat ini, terhitung ada 1.137 start-up yang terdaftar di Indonesia dengan berbagai lini usaha. Tetapi ini belum apa-apa. Julia Smit dari Asia-Pacific Forum Berlin menyusun sebuah laporan tentang perkembangan start-up di ASEAN. Laporan itu berjudul Start-up Ecosystems in ASEAN Member State.

Berdasarkan data yang dihimpunnya, pasar start-up di Indonesia disebutkan masih pada tahap awal. Masih ada peluang sangat besar untuk bisa terus berkembang. Apalagi mengingat masyarakat Indonesia yang sangat akrab dengan teknologi.

“Indonesia adalah satu di antara negara-negara yang paling aktif menggunakan media sosial,” tulis Julia. Indonesia memang berada di urutan ke empat dalam jumlah pengguna Facebook, dan berada di urutan kelima negara pengguna twitter.

Melihat potensi besar ini, 17 Juni lalu, lewat situs resminya, Kementerian Komunikasi dan Informatika mengumumkan Gerakan 1.000 Start-up yang digarap kementerian bersama dengan Kibar. Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara menyatakan gerakan itu sejalan dengan visi Presiden Joko Widodo untuk menjadikan Indonesia sebagai The Digital Energy of Asia.

Tak tanggung-tanggung, gerakan ini menargetkan terciptanya 1.000 start-up baru dengan total valuasi bisnis senilai $10 miliar pada 2020. Untuk mencapai target agresif ini, mentoring dan pembinaan intensif akan digelar di 10 kota.

Langkah pertama yang dilakukan lewat gerakan ini adalah Ignition, yakni berupa seminar untuk menanamkan pola pikir enterpreneurship. Sebanyak 4.000 peserta ditargetkan setiap tahunnya. Dari 4.000 peserta Ignition ini, disaring 2.000 peserta yang layak untuk lanjut ke tahap selanjutnya, workshop.

Selama workshop, mereka akan dibekali lagi dengan keahlian yang dibutuhkan untuk membangun start-up. Lalu disaring menjadi hanya 1.000 yang berhak mengikuti tahap Hackathon. Di tahap ini, para peserta akan menghasilkan prototipe produk dari ide solusi aplikasi. Dari situ, 500 tim akan memasuki tahap Bootcamp yang merupakan sesi monitoring.

Lalu, 200 tim terpilih akan diinkubasi selama kurang lebih tiga bulan. Atas dasar ini, Kominfo dan Kibar optimistis dalam lima tahun akan tercipta 1.000 start-up.

Dalam sebuah blog, CEO Wooz.in Ario Tamat menyebutkan proyek ini terlalu ambisius dan tidak masuk akal. “Kalau saya sendiri skeptis karena gerakan ini, sejauh ini, masih menitikberatkan jargon dan target,” tulisnya.

Memang ada sedikit keganjilan dalam alur program ini. Dalam proses Ignition atau seminar motivasi, peserta yang ditarget adalah 4.000 orang. Satuan orang terus dipakai hingga tahap Bootcamp. Di tahap ini, ada 1.000 peserta yang nantinya terbentuk menjadi 500 tim dengan anggota tiga orang yang terdiri dari hacker, hipster, dan hustler—programmer, desainer, dan pemasaran.

Bisakah membentuk 500 tim beranggotakan tiga orang dari 1.000 orang? Tidak butuh menjadi peserta olimpiade matematika untuk menjawab tidak bisa. Bagaimana pula jika ada yang memilih mundur karena rekan timnya gugur? Maka, ini akan memengatuhi pencapaian target.

Dalam situs resminya dijelaskan begini;

Peserta yang berpartisipasi di gerakan ini adalah perseorangan. Apabila kamu sudah memiliki tim, kamu dan teman-teman tetap bisa mendaftar sebagai perseorangan. Di tahap Hackathon, peserta perseorangan akan saling membentuk tim untuk mulai mengembangkan ide solusi mereka sampai menjadi sebuah start-up. Kamu bisa saja menjadi satu tim dengan teman-teman satu timmu dengan catatan mereka dinyatakan lulus untuk masuk hingga ke tahap Hackathon.

Persoalan lain lagi adalah, jika ada calon start-up yang sudah memiliki tim dan ide bersama, mereka harus mendaftar sebagai perorangan sejak awal. Apabila di tengah tahap, anggota timnya gugur, berarti ada kemungkinan pergantian orang. Bagaimana dengan ide bersama itu? Apakah pergantian tim yang barangkali sudah dibentuk dengan kecocokan akan berujung pada hasil yang baik? Bisa iya, bisa tidak. Tetapi yang jelas, perihal ide bersama itu tentu akan menimbulkan konflik.

Gerakan 1.000 Start-up memang tampak wah dan visioner. Semoga bukan omong kosong dan optimisme semu belaka.

Baca juga artikel terkait RUDIANTARA atau tulisan lainnya dari Wan Ulfa Nur Zuhra

tirto.id - Bisnis
Reporter: Wan Ulfa Nur Zuhra
Penulis: Wan Ulfa Nur Zuhra
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti