Menuju konten utama

Gelora Pariwisata Berkat Cinta dan Rangga

Ada Apa dengan Cinta 2 sukses memunculkan gairah untuk plesir ke Yogyakarta. Namun, membanjirnya pariwisata ke Yogyakarta ini bisa memunculkan masalah jika tak dikelola dengan baik. Perlu ada pengkajian apakah AADC 2 memberikan pengaruh buruk atau tidak terhadap Yogyakarta. Terlebih saat ini Yogyakarta sedang menjadi sorotan.

Gelora Pariwisata Berkat Cinta dan Rangga
Pemain film Ada Apa Dengan Cinta (AADC) 2, Dian Sastrowardoyo (kiri) dan Nicholas Saputra (kanan) berpose saat menghadiri gala premiere film AADC 2 di Yogyakarta. ANTARA FOTO/Andreas Fitri Atmoko

tirto.id - "Rangga, apa yang kamu lakukan ke saya itu... jahat."

Di sebuah kedai kopi bernuansa klasik, Cinta mengucapkan kalimat itu dengan dingin dan mata menatap tajam ke arah Rangga. Yang ditatap hanya bisa menunduk, merasa bersalah.

Sejurus kemudian, Rangga meminta maaf. Cinta pun luluh. Kemudian Rangga mengajak Cinta untuk jalan-jalan keliling Yogyakarta. Dari yang awalnya direncanakan cuma satu jam, memanjang hingga seharian. Hingga subuh. Sebelum akhirnya ciuman Cinta ke bibir Rangga memungkasi pertemuan itu.

Adegan itu merupakan penggalan film Ada Apa Dengan Cinta 2 (AADC 2). Film yang dirilis pada 28 April 2016 ini merupakan sekuel film berjudul sama yang dirilis pada 2002. Sama seperti di film pertamanya, kisahnya berfokus pada hubungan asmara antara Rangga (Nicholas Saputra) dan Cinta (Dian Sastro). Bedanya kini mereka sudah dewasa, bukan lagi anak SMA.

Di sekuelnya, film mengambil latar di Yogyakarta. Besar kemungkinan mereka sedang mengikuti tren traveling yang kini menjangkiti kelas menengah dan anak muda Indonesia. Film ini banyak membahas tentang traveling. Orang bahkan boleh saja menggolongkan film ini sebagai road movie, film berlatar perjalanan. Sejumlah kritikus film menyebut AADC 2 banyak terpengaruh oleh Before Sunrise dan Before Sunset, duologi yang juga berkisah tentang sepasang kekasih yang kembali berjumpa setelah belasan tahun tak bertemu.

Obrolan tentang liburan malah sempat dibahas panjang lebar oleh Rangga. Dalam satu scene selagi menunggu matahari terbit di Punthuk Stumbu, Rangga yang dulu cool dan irit bicara itu jadi cerewet dan ceramah tentang beda turis dan traveler. Salah satu pesan tersiratnya adalah traveler tidak pergi ke tempat yang mainstream.

Sebelumnya, Rangga memang mengajak Cinta ke kawasan-kawasan yang "tidak populer" bagi wisatawan kebanyakan. Sebagai seorang cool yang mencoba berbeda dari orang kebanyakan, Rangga mengajak Cinta ke tempat-tempat yang jauh dari bayangan "turis". Dari Candi Ratu Boko, menonton pertunjukan Papermoon Puppet, ke Gereja Ayam, hingga makan sate klathak di Bantul.

Film ini sukses besar. Dalam tiga hari penayangan, penonton sudah tembus di angka 700.000. Pada 2 Mei 2016, alias hari kelima penayangan, penonton bahkan tembus 1 juta orang.

Lalu apakah tempat-tempat yang dikunjungi Rangga akan tetap jadi tidak mainstream? Melihat animo penonton terhadap film ini, juga betapa wisatawan muda kita senang berziarah ke tempat-tempat trendi terbaru, jawabannya sudah bisa ditebak. Akan jadi hal wajar kalau ada banyak wisatawan --terutama yang berusia muda-- akan mendatangi tempat-tempat yang dijadikan lokasi kasmaran Rangga dan Cinta.

Seminggu setelah AADC 2 tayang, sebuah situs berita yang melaporkan betapa makin ramainya sate klathak Pak Bari yang berada di Pasar Bantul. Konsumen barunya tentu mereka yang baru saja menonton AADC 2. Dari yang biasanya baru habis menjelang subuh, kini sate kambing di warung yang buka mulai jam 9 malam ini sudah ludes dalam waktu satu jam saja.

Nah kan.

Film dan Pariwisata

Dalam dunia pariwisata, fenomena menziarahi tempat-tempat yang berada dalam film, bukanlah hal baru. Akademisi menyebutnya sebagai film-induced tourism. Secara sederhana, definisinya adalah kunjungan wisatawan ke lokasi yang dijadikan tempat syuting film, serial, atau video.

Banyak negara sejak lama menjalankan pariwisata film ini. Yang paling getol sekaligus jadi pemimpin di sektor pariwisata film, adalah Selandia Baru, negara yang dipakai untuk syuting beberapa film beranggaran besar, seperti Lord of the Rings (LotR), Avatar (yang menjadi film dengan pendapatan terbesar sepanjang sejarah), dan The Hobbits.

Tentu saja iming-iming utama pariwisata film adalah uang. Pada 2012, lembaga Tourism Competitive Intelligence menyebut bahwa ada 40 juta wisatawan yang memilih destinasi yang pernah dijadikan syuting film. Sekitar 10 persennya, bahkan menyebut terang-terangan bahwa film adalah faktor utama dalam menentukan tujuan wisata.

Setelah dipakai syuting Lotr, Selandia Baru jor-joran mengampanyekan diri sebagai "Middle Earth", dunia rekaan dalam film yang diangkat dari novel ciptaan J.R.R Tolkien itu.

"Ada peningkatan kedatangan wisatawan sebanyak 50 persen sejak film Lord of the Rings," ujar Gregg Anderson, General Manager di Badan Pariwisata Selandia Baru.

"Sebenarnya cuma 1 persen wisatawan yang menyatakan kalau mereka datang karena Lord of the Rings. Tapi yang 1 persen itu menghasilkan uang 27 juta dolar setiap tahun," katanya lagi.

Menurut Anderson, salah satu kunci keberhasilan mereka adalah mengadakan kampanye bahwa syuting LotR diadakan di Selandia Baru. Penggemar buku maupun filmnya sudah melintasi generasi. Jadi banyak ditemui satu keluarga, dari kakek hingga cucu, datang bersama untuk melihat tempat syuting LotR. Kampanye ini bisa dibilang berhasil. Kini nyaris semua orang tahu kalau syuting LotR diadakan di Selandia Baru.

"Di Selandia Baru, apa yang kamu lihat di film bisa kamu lihat di dunia nyata. Kami tidak menjual filmnya. Tapi kami mencoba menghadirkan perasaan terpesona dalam film itu ke dunia nyata," ujar Anderson, seperti dikutip situs Forbes.

Setelah demam LotR mereda, film The Hobbit, yang juga berasal dari novel karangan J.R.R Tolkien dan sama-sama disutradarai oleh Peter Jackson, melakukan syuting di Selandia Baru. Lagi-lagi film ini berhasil di pasaran, dan Selandia Baru kembali mempromosikan pariwisata dari film ini.

Kawasan Matamata, desa kecil terpencil yang hanya berpenduduk sekitar 7.500 orang mendapat berkah dari pariwisata film ini. Tempat yang dijadikan setting Hobbiton --tempat tinggal para hobbit, alias manusia kate dalam film itu-- kebanjiran wisatawan. Kebanyakan berasal dari Australia, Jerman, Inggris, dan Amerika Utara. Para turis pun royal membelanjakan uangnya untuk penginapan, tur, atau membeli suvenir.

Dari Maret 2013 hingga Maret 2014, turis Australia yang datang ke Matamata adalah yang paling royal. Mereka menghabiskan sekitar 11,3 juta dolar, diikuti turis-turis Eropa yang menghabiskan 4,3 juta dolar, kemudian wisatawan Amerika Serikat dengan 3,8 juta dolar. Tapi pengeluaran paling besar adalah yang dikeluarkan oleh wisatawan domestik. Wisatawan dari Waikato menghabiskan uang sebesar 67,1 juta dolar, diikuti oleh wisatawan Auckland yang menghamburkan 18,8 juta dolar.

Jumlah turis yang mengunjungi Matamata juga terus meningkat tiap tahun. Dari 33.000 saja pada 2011, menjadi 360.000 pada 2015. Pemerintah Selandia Baru memperkirakan pengaruh The Hobbit ini mendatangkan pendapatan sekitar 500 juta dolar per tahun, hanya dari wisatawan domestik saja. Kini industri pariwisata adalah penyumbang pendapatan terbesar kedua bagi Selandia Baru, hanya kalah oleh industri dairy.

Karena itu pemerintah Selandia Baru berupaya keras agar industri film tetap langgeng di negara berpenduduk 4,4 juta orang itu. Salah satu caranya adalah memberikan keringanan pajak ataupun insentif untuk film-film produksi skala besar.

Industri penerbangan Selandia Baru pun juga turut merayakan gegap gempita ini. Perusahaan penerbangan Air New Zealand punya dua pesawat Boeing 777 dengan dekorasi tema bergaya dunia fantasi Tolkien. Video keselamatan pun diperagakan oleh pramugari bergaya Middle Earth. Besarnya pengaruh J.R.R Tolkien dalam dunia pariwisata Selandia Baru ini pun melahirkan julukan baru: Tolkien tourism.

Beberapa negara mulai meniru pendekatan Selandia Baru ini. Salah satunya Irlandia Utara. Mereka baru-baru ini merilis aplikasi Android bernama Game of Thrones NI Locations. Ini adalah aplikasi di mana pengunjung bisa mengetahui lokasi syuting film serial yang kerap disebut paling populer di dunia ini. Ada beberapa lokasi yang bisa dikunjungi, seperti Leitrim Lodge yang dijadikan markas House of Stark. Atau Audley's Field, kawasan dengan kastil berusia ratusan tahun yang dijadikan markas Robb Stark pada musim kedua.

Beberapa situs biro wisata juga mengemas paket tur Westeros, dunia latar Game of Thrones. Harga paket yang dijual beragam, mulai tur Game of Thrones dengan menggunakan campervan seharga 85 poundsterling per hari, paket Sea Safari seharga 60 poundsterling, hingga paket Wandering Through Westeros selama 6 hari yang dijual seharga 565 poundsterling.

Selain Selandia Baru dan Irlandia Utara, sejumlah negara juga terdongkrak pariwisatanya berkat dijadikan tempat syuting film.

Bisakah Jadi Wisata Berkelanjutan?

Di Indonesia, sangat sedikit film Indonesia yang kemudian berbuntut pariwisata film. Satu dari yang sedikit itu adalah film 5 cm, yang diambil dari buku berjudul sama karangan Donny Dhirgantoro. Buku itu bercerita tentang pengalaman 5 sahabat yang mendaki Gunung Semeru.

Sayang seribu sayang, banyak kritik keras terhadap film ini. Mereka dianggap abai terhadap peraturan mendaki gunung, juga dianggap tak mengindahkan keselamatan dalam pendakian. Film ini dianggap punya dampak buruk bagi pendakian gunung. Beberapa kasus semakin banyaknya sampah di Semeru pun dikaitkan dengan populernya film 5 cm ini.

Salah satu penyakit pariwisata di Indonesia memang cepat berkembang sekaligus cepat layu. Beberapa tujuan wisata bahkan sudah hancur sebelum berkembang. Masih ingat kan kasus kebun bunga amarylis di Yogyakarta yang hancur diinjak-injak oleh wisatawan demi selfie?

Apakah AADC 2 membawa pengaruh buruk bagi Yogyakarta, itu tentu perlu dikaji lagi. Satu hal yang pasti, saat ini Yogyakarta memang sedang dalam sorotan. Dulu dikenal sebagai kota pelajar dengan suasana yang tenang dan nyaman, kini Yogya berubah jadi kota pariwisata yang, dikhawatirkan, tidak berkelanjutan. Pembangunan hotel yang berlebihan menjadi salah satu penyebabnya.

Dari data Perhimpunan Hotel Restoran Indonesia (PHRI), pada 2013 ada 1.160 hotel di Yogyakarta. Terdiri dari 60 hotel berbintang yang memiliki lebih dari 6.000 kamar, dan 1.100 hotel kelas melati dengan 12.660 kamar. Banyak sekali hotel yang dibangun dekat pemukiman warga, yang kerap mengakibatkan sumur warga kekeringan. Hal ini membuat Wali Kota Yogyakarta menghentikan izin pembangunan hotel hingga 2019.

Belum lagi ada banyak pembangunan mal baru di Yogya. Mulai Hartono Mall, Lippo Plaza, hingga Sahid J-Walk Mall. Tak heran kalau banyak seruan "Jogja Ora Didol!"alias Yogya tidak dijual.

Pariwisata film memang menjanjikan. Namun tentu saja, sama seperti bentuk pariwisata lain, diperlukan kolaborasi berbagai sektor untuk bisa maju. Selain itu, tanpa manajemen yang baik, pariwisata film akan memberikan dampak negatif ke suatu daerah.

"Kerja sama antara stakeholder, termasuk pemerintah lokal, studio film, dan komunitas lokal adalah hal penting yang menjamin keberlangsungan pariwisata film di masa depan," ujar Niki Macionis, peneliti dari Universitas James Cook yang banyak meneliti tentang pariwisata film.

Salah satu kunci keberhasilan pariwisata film adalah menghadirkan suasana yang sama dengan suasana yang dilihat dalam film. Selandia Baru berhasil mengemas pariwisata film karena berhasil menghadirkan pemandangan dan suasana yang sama dengan film LotR ataupun The Hobbits.

Lalu apakah Yogyakarta yang digambarkan begitu tenang, bersahaja, dan apik dalam film AADC 2 akan masih akan sama setelah film itu laris manis? Kita sama-sama menunggu jawabannya.

Baca juga artikel terkait ADA APA DENGAN CINTA atau tulisan lainnya dari Nuran Wibisono

tirto.id - Film
Reporter: Nuran Wibisono
Penulis: Nuran Wibisono
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti