tirto.id - indo.rock /ɪndɒˈrɒk/ adj. – langgam musik garang bikinan orang Indonesia hasil oplos rock & roll barat dengan DNA irama Melayu yang lahir dan berturun temurun dari kurun 1970-an hingga 2010-an.
Di dunia yang serba personal ini siapa saja boleh mengklaim dirinya apa saja. Satu-satunya kesalahan adalah melakukannya dengan alasan gimmick.
Josh Homme menemukan desert rock, bukan mengklaim. Orang lainlah yang kemudian mengakuinya – entah jurnalis, kritikus, label rekaman untuk kepentingan jualan atau para fans – ketika tuning gitarnya sengaja disetem rendah drop C guna mendapatkan simultansi sound doom Black Sabbath dengan cuaca gersang padang pasir, tempat band bentukannya, Kyuss rajin manggung secara ilegal di awal dekade 90-an.
Begitu juga cap krautrock pada Can dan Neu! yang ditetapkan serempak di sekitar tahun 1970-an oleh korps pers musik Inggris – John Peel, juga Ian Macdonald jurnalis NME menggunakannya untuk menjelaskan kerak macam apa itu motorik kosmische rock psikedelik Jerman.
Atau, punk rock. Sejumlah literatur kompak mengangguki istilah ‘punk rock’ dicetak pertama kali lewat tulisan Dave Marsh, editor majalah Creem sewaktu ia menggambarkan betapa tengiknya garage rock ? Marks and Mysterians terdengar di tahun 1971.
Dengan uraian di atas, maksud saya, siapa pula band atau musisi yang bangga pernah mengakui telah menemukan termin genrenya sendiri?
Bahkan Kurt Cobain saja jijik ketika Nirvana disebut memainkan grunge. Rhoma Irama mengklaim dirinya raja dangdut bukan penemu dangdut. Lain lagi Toots Hibbert, penyanyi grup Toots and the Maytals yang menulis tembang rocksteady berjudul “Do the Reggay” di tahun 1968, sebelum kemudian disempurnakan Bob Marley dan meledak di Inggris. Sebagai kata benda, ‘reggae’ telah sah secara keilmuan, diartikan formal menurut Oxford Learner’s Dictionary:
‘Reggae /ˈreɡeɪ/ n [U] West Indian popular music and dance.’
Sedangkan indorock sendiri, akui saja, baru mulai kita kenal luas circa 2008. Bermula dari arsip video YouTube Tielman Brothers sedang jumpalitan di siaran AVRO TV Belanda tahun 1960. Adnan Nanda dalam bukunya, Indorock Blitzkrieg! mengungkapkan, pada masa itu (1958-1965) Amerika sedang memegang kendali dalam urusan rock & roll. Anak-anak muda keturunan Indonesia yang tumbuh di negeri Belanda ikut ambil bagian sejarah ketika mereka menggabungkan pakem Elvis Presley, Chuck Berry, dan Jerry Lee Lewis dengan irama country, keroncong, dan Hawaiian.
Hasilnya adalah sirkus rock & roll.
Eksplorasi instrumental yang dilakukan para musisi indorock kala itu terbilang amat berani dan runcing. Pola yang biasa digunakan multi-gitaris; terdiri dari tiga pemain gitar; dua pemegang lead dan seorang penjaga pondasi ritem. Mereka mengedepankan skill jempolan cacing kepanasan di atas panggung. Mengocok gitar pakai kaki, main lempar-lemparan instrumen, duck walking, lompat bergulingan, memanjat contra bass hingga akrobat solo drum.
Indo di sini bukan kependekan dari Indonesia, melainkan ras peranakan silang antara orang Indonesia perantauan dengan Belanda tulen. Kebanyakan mereka lahir dari orang tua mantan prajurit KNIL yang memutuskan hijrah ke Belanda paska kemerdekaan Republik Indonesia sepenuhnya diakui.
Fridus Steijen, profesor Universitas Leiden di bidang Kebudayaan dan Migrasi Maluku menyatakan anak-anak muda peranakan Indonesia itu memainkan indorock sebagai simbol perlawanan, selain pula menjadi antitesis bagi tren jazz arus musik utama di Belanda. Bahwa mereka berani tampil beda dan resisten meski hidup dalam keterasingan.
Beberapa band indorock orisinal yang mencuat namanya di luar The Tielman Brothers, termasuk juga The Crazy Rockers, The Javalins, The Real Room Rockers, The Hurricane Rollers, The Twangies, The Sky Meteors, The Timebreakers, The Swallows, Electric Johnny & His Skyrockets.
Nama-nama itu sudah mati semua sekarang. Tiada pula regenerasi yang berarti. Andy Tielman, sang bapak indorock wafat pada 2011, dan sejak itu perkembangannya semakin lesu. Buku Indorock Blitzkrieg! mengatakan indorock sebagai identitas genre, baru disebut-sebut pada tahun 1981 ketika para pemadat piringan hitam mulai menemukan album-album harta karunnya dan bingung mengklasifikasikan genrenya.
Selang ribuan peluru kemudian, tepatnya di 2001 sebuah band sosial politika terbentuk di Denpasar, Bali. Geekssmile terbakar sedari awal, mereka main dari panggung-panggung festival musik hingga besar di kancah independen lokal sebagai corong kritis pos-reformasi ’98 yang masih anget-anget tahi ayam. Geekssmile yang terdiri dari lima anak muda berpeluh murka, dengan asupan literatur kiri, serapah molotov Rage Against The Machine, dan bara aktivisme mahasiswa gilas tirani, menulis lagu-lagu rap core berapi-api.
‘Negara adalah invasi, kontrak sosial legitimasi.
Kepalamu-kepalaku membungkuk di atas tanah,
yang lahir dan dipertahankan dari perang-perang yang agresif.’
Itu percikan syair “Anarki” yang masuk dalam debut album Jurnal Perang Indonesia (2004, Lonely King Records – punya Jerinx SID). Lagu itu menjadi letusan provokasi bagi kawan-kawan sejawat resisten. Prima yang menulisnya, tengah meragukan konsep kedaulatan negara. Ia lebih percaya pada sistem keadilan kolektif; tanpa negara, tanpa tuan, tanpa hierarki. Misinya menghancurkan perbudakan, dan mengedepankan solidaritas sosialis libertarian.
Album itu tidak pernah dijual, tapi dibagikan gratis setiap kali Geeksssmile manggung. Salah satunya ketika mereka diundang main di sebuah acara Anti Militer di Jakarta yang digagas Forkot (Forum Kota). Lengketnya Geekssmile dengan perjuangan barisan aktivisme masa itu banyak dipantik MC Yuri Widyasa yang memang sering turun ke lapangan, terlibat langsung dalam Gerakan Frontier – Front Demokrasi Perjuangan Rakyat.
Tumbuh menyanggama semangat revolusi, Geekssmile menjadikan Zack de la Rocha patron berkoar-koar dengan aransemen musik plek ketiplek persis menginfus RATM, terutama kulikan gitaris Made Muliana Bayak. Coba saja simak “Peluru Dominasi”. Repetan rap makian, wah pedal jiplakan Tom Morello, terberak-berak mereka mengejar obor Evil Empire: “Sindrom Pasca Trauma” yang menyoroti krisis pembantaian Semanggi ’98, dipukuli polisi di aksi unjuk rasa “Baton Takedown” dan “Buser”, atau “Datang dan Terbakarlah”, orasi heroik medan pertempuran mahasiswa.
Seandainya saja Geekssmile tidak mencanangkan konsep peremajaan indorock, kecil kemungkinan saya tertarik menuliskan cerita ini. Karena rap core sudah keropos digerogoti rayap semenjak RATM bubar dan, faktanya kuku babi tak mempan ditembus oleh sekadar ‘peluru distorsi’.
Yang jelas, semuanya gara-gara ulah Prima Yudhistira. Penyanyi Geekssmile berusia 37 tahun itu sukses membuat saya kesetrum gelisah ketika membaca catatan pengantar album terbaru bandnya yang diberi identitas tanpa tedeng aling, #indorock [EP].
Dari manifesto yang tertulis, Geekssmile menemukan momen peremajaan jiwa artistik mereka yang telah menjompo lewat upaya pemaknaan, sekaligus penancapan klaim terhadap status quo sub-genre indorock. Klaim ini mewujud dalam “Saga”, sebuah nomor epik nan gagah hasil racikan progresi rancak nusantara. Dari riff gitar sampai gaya bernyanyi yang tercipta di lagu itu merupakan sonik antitesis atas keberadaan musik Rock Melayu. Bersama syair tematik kisah 20 tahun ambisi, fantasi, dan depresi mengejar kejayaan rock & roll.
Dari sana, lahir rasa penasaran yang lebih besar: seperti apa indorock yang diklaim oleh Geeksmile ini? Apakah klaim bahwa yang dimainkan oleh Geeksmile ini adalah indorock itu sah, dan layak diacungi jempol? Rasa penasaran itu berjalan seiringan dengan rasa skeptis, sesuatu yang sudah jadi kebiasaan brengsek saya.
Sebuah gagasan layak diremehkan sebelum disigi lebih lanjut. Itu cara paling bijak, menurut saya, dalam rangka memasak dialektika kritikal. Ibarat membakar seluruh lumbung padi hanya untuk membunuh seekor tikus, saya sengaja memelihara mental antipati, menentang setiap orang yang punya nyali menetapkan suatu sikap dan pikiran. Hal itu tentu bukan masalah besar, sebab pasti terbuktikan nanti, apakah ia memang layak diakui atau mending dipipisi.
Di situ, saya coba perlahan mengkaji klaim indorock ala Geeksmile. []
Editor: Nuran Wibisono