tirto.id - Hakim Agung Gazalba Saleh diduga menjadi tersangka baru kasus suap perkara Mahkamah Agung (MA).
Berita penetapan tersangka Gazalba ini dikonfirmasi oleh CNN.com, dikutip Jumat (29/11/2022). Sumber dari CNN.com mengonfirmasi bahwa KPK menetapkan beberapa tersangka dalam kasus suap perkara MA.
Sebelumnya, Hakim Agung Gazalba Saleh diperiksa sebagai saksi untuk tersangka Hakim Agung nonaktif Sudrajad Dimyati (SD) dan kawan-kawan pada Kamis (27/10/2022).
KPK total menetapkan 10 tersangka dalam kasus tersebut. Enam tersangka selaku penerima ialah SD, Hakim Yustisial/Panitera Pengganti MA Elly Tri Pangestu (ETP), dua PNS Kepaniteraan MA yakni Desy Yustria (DY) dan Muhajir Habibie (MH), serta dua PNS MA yaitu Nurmanto Akmal (NA) dan Albasri (AB).
Sementara itu, empat tersangka selaku pemberi suap adalah dua pengacara yakni Yosep Parera (YP) dan Eko Suparno (ES) serta dua pihak swasta/debitur KSP Intidana yaitu Heryanto Tanaka (HT) dan Ivan Dwi Kusuma Sujanto (IDKS).
Profil Gazalba Saleh
Gazalba Saleh adalah seorang Hakim Agung Mahkamah Agung (MA) yang berasal dari Kabupaten Bone, Provinsi Sulawesi Selatan (Sulsel).
Ia meraih pendidikan S3 di bidang ilmu hukum. Gelar S2 didapatnya dari Universitas Hasanuddin Makassar, sementara gelar S2 dan S3 diraihnya di Universitas Padjajaran Bandung.
Setelah lulus kuliah, Gazalba sempat bekerja sebagai dosen Universitas Narotama Surabaya. Ia kemudian menjadi Hakim Agung MA sejak 7 November 2017.
Gazalba Saleh adalah Hakim Agung MA untuk kamar pidana. Dia dilantik sebagai salah satu hakim agung oleh Ketua Mahkamah Agung, M Hatta Ali.
Pelantikan dan pengambilan sumpah itu berdasarkan Surat Keputusan (SK) Presiden Republik Indonesia Joko Widodo Nomor: 117/P Tahun 2017 tertanggal 26 Oktober 2017.
Salah satu perkara yang pernah ia tangani adalah perkara suap pengurusan izin ekspor benih bening lobster atau benur yang dilakukan mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo.
Dalam putusan yang diambil pada 7 Maret 2022 itu, majelis kasasi MA memotong hukuman Edhy Prabowo menjadi 5 tahun penjara.
Hukuman tersebut berkurang 4 tahun dibanding putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta yang memvonis Edhy dengan 9 tahun pidana penjara.
Majelis hakim kasasi juga menjatuhkan pidana tambahan terhadap Edhy berupa kewajiban membayar uang pengganti sebesar Rp9,68 miliar dan 77.000 dolar AS.
Editor: Iswara N Raditya