tirto.id - Bagi masyarakat Gunungkidul, Yogyakarta, bola api berekor agak panjang yang melayang pada tengah malam adalah sasmita kematian. Di mana bola api itu mendarat, di sanalah akan terjadi kematian dengan cara gantung diri. Orang-orang di sana menyebutnya: “pulung gantung”.
Diksi “pulung” dalam kebudayaan Jawa sering disamakan dengan “wahyu”. Jika menariknya secara linier, maka "pulung" atau "wahyu" adalah “isyarat Tuhan atau leluhur memberi restu pada orang yang dimaksud menjadi pemimpin atau penguasa”. Orang Jawa mengenal istilah “wahyu keprabon”.
Itulah mengapa istilah “pulung”, dalam pemahaman orang Jawa, dianggap sama dengan kemuliaan, kebahagiaan, berkah, anugerah, kabegjan. Itulah kenapa, orang Jawa biasa berujar: “Ketiban pulung” (kejatuhan berkah) untuk menyebut seseorang yang mendapatkan keberuntungan.
Cerita menjadi lain ketika istilah “pulung” disematkan dengan kata “gantung”. Jika “ketiban pulung” adalah isyarat kebaikan, maka istilah “ketiban pulung gantung” adalah isyarat mengerikan. Yakni tanda kematian, yang secara spesifik berarti mati dengan cara gantung diri.
Orang-orang Gunungkidul percaya, bahwa jika salah salah satu rumah menjadi lokasi jatuhnya pulung gantung, maka penghuni rumah tersebut akan melakukan gantung diri. Beberapa memang ada yang bunuh diri dengan menceburkan diri ke sumur, namun mayoritas tetap gantung diri. Mitos yang masih sangat dipercaya bahkan sampai sekarang.
Masyarakat Gunungkidul di pedesaan tentu saja masih bercorak agraris dan masih sangat tergantung dengan alam. Karena itulah alam dipercaya penuh dengan sasmita, isyarat, yang bisa dibaca atau dipelajari oleh manusia. Orang Gunungkidul mengenal bentuk-bentuk isyarat alam yang agak mirip, dari pulung, daru, teluh brojo atau lintang kemukus yang muncul selama pertunjukan wayang saat musim labuh yang dirayakan dengan bersih desa (Darmaningtyas, Pulung Gantung: Menyingkap Tragedi Bunuh Diri di Gunungkidul, hal. 132).
Darmaningtyas tidak dapat menjelaskan sejak kapan pulung gantung ini mulai memasuki alam pikiran orang Gunungkidul. Hal jamak tentu saja untuk kisah-kisah mitis, legenda bahkan folklore. Namun Darmaningtyas mengungkapkan orang Gunungkidul percaya bahwa ini terkait kisah pelarian orang-orang Majapahit. Ada yang mampu bertahan dan ada yang tidak. Mereka yang gagal bertahan masuk ke dalam hutan-hutan Gunungkidul dan melakukan gantung diri.
Jika isyarat pulung gantung datang, setelahnya diyakini nyaris tidak bisa dicegah. Satu-satunya hal yang bisa dilakukan adalah dengan mengadakan selamatan atau pengajian sembari melakukan aksi siaga seharian penuh dari siang sampai malam. Hal yang dilakukan semata-mata untuk menghindari maut yang akan menjemput.
Sayangnya, sekalipun sudah diadakan upacara “tolak bala” kadang pulung gantung masih akan menyeret orang ke kematian. Jika tidak dari rumah yang persis kejatuhan, kematian bisa mampir ke saudara si empunya rumah atau tetangga-tetangga terdekat.
Bahkan saat maut “berhasil” menjemput korbannya, cerita mengerikan tidak berhenti dan tetap akan berlanjut. Posisi pelaku sekaligus korban gantung diri dipercaya akan menjadi tanda-tanda maut selanjutnya. Arah yang dituju orang yang gantung diri menjadi isyarat bahwa pulung gantung berikutnya akan mampir dan kembali memakan korban.
Untuk menghentikan hal itu, salah satu yang sering dilakukan adalah menggali tanah yang berada tepat di bawah lokasi tergantungnya jenazahnya. Dengan menggali tanah itu, orang percaya bahwa "wabah" bisa dihentikan peredarannya (Adi Fahrudin, "Fenomena Bunuh Diri di Gunungkidul: Catatan Tersisa dari Lapangan", Jurnal Informasi Vol. 17 No. 01 tahun 2012).
Sampai akhir tahun 2016 lalu, menurut data dari Polres Gunungkidul, kasus gantung diri di Gunungkidul masih tinggi. Tertinggi terjadi di Kecamatan Semanu. Ada enam kasus di sana. Total, di seluruh kabupaten, sebanyak 30 jiwa mengakhiri hidupnya dengan gantung diri. Di tahun 2015, ada 31 kasus bunuh diri dengan cara gantung diri.
Angka ini tidak terlalu jauh dengan data yang dikumpulkan oleh Adi Fahrudin sepanjang 2003-2006. Pada 2003, ada 29 orang yang melakukan bunuh diri. Pada 2004 ada 31 orang, pada 2005 mencapai 27 orang, dan 2006 mencapai 30 orang. Tidak semuanya menggunakan cara gantung diri, namun mayoritas gantung diri. Sepanjang 2003-2006 itu, dari seluruh kasus bunuh diri, hanya 5 kali terjadi bukan dengan gantung diri (minum racun, menceburkan diri ke sumur, dan bakar diri).
Data termutakhir pada 2016 dengan data satu dekade sebelumnya (2003-2006) memperlihatkan angka yang tidak bergeser jauh. Artinya fenomena kepercayaan pulung gantung masih sangat eksis bahkan walau pun zaman terus berderap dan melaju dengan segala kemajuan dan pencapaiannya.
Penelitian yang dilakukan Noor Sulistyo Budi (Jurnal Patra Widya No3/2004), buku “Talipati” karya Iman Budhi Santoso yang diterbitkan Jalasutra dan buku “Pulung Gantung: Menyingkap Tragedi Bunuh dDiri di Gunungkidul” karya Darmaningtyas yang diterbitkan oleh penerbit Salwa, pernah mencoba mencari tahu akan fenomena mengerikan ini.
Penelitian yang kemudian sampai pada kesimpulan bahwa dengan pendekatan sosiologis, maka mitos ini dicoba untuk dirasonalisasi. Tekanan ekonomi, disebut oleh Darmaningtyas dan Noor Sulistyo Budi, menjadi salah satu sebab tingkat bunuh diri di Gunungkidul cukup tinggi. Penjelasan yang cenderung sama dengan analisis Durkheim dalam bukunya Suicide.
========================
Jika Anda merasakan tendensi untuk melakukan bunuh diri, atau melihat teman atau kerabat yang memperlihatkan tendensi tersebut, amat disarankan untuk menghubungi dan berdikusi dengan pihak terkait, seperti psikolog atau psikiater maupun klinik kesehatan jiwa. Salah satu yang bisa dihubungi adalah Into the Light yang dapat memberikan rujukan ke profesional terdekat (bukan psikoterapi/ layanan psikofarmaka) di intothelight.email@gmail.com.
Penulis: Ahmad Khadafi
Editor: Zen RS