Menuju konten utama

Timbul Tenggelam Nama Ihsan Yunus PDIP di Kasus Korupsi Bansos

Nama anggota DPR RI Komisi II Fraksi PDIP Ihsan Yunus yang tidak muncul dalam berkas dakwaan korupsi dipertanyakan. KPK dianggap tak serius.

Timbul Tenggelam Nama Ihsan Yunus PDIP di Kasus Korupsi Bansos
Anggota Komisi II DPR RI M Rakyan Ihsan Yunus duduk di ruang tunggu sebelum menjalani pemeriksaan di Gedung KPK, Jakarta, Kamis (25/2/2021). ANTARA FOTO/Galih Pradipta/foc.

tirto.id - Nama anggota DPR RI Komisi II Fraksi PDIP Ihsan Yunus tidak muncul dalam berkas dakwaan dua terduga penyuap mantan Menteri Sosial Juliari Peter Batubara. Kedua terdakwa, Harry van Sidabukker dan Ardian Iskandar, menjalani sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Rabu (24/2/2021) lalu. Mereka didakwa dengan Pasal 5 ayat (1) huruf b UU Tipikor juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP atau kedua Pasal 13 UU Tipikor juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.

“ICW mempertanyakan hilangnya nama Ihsan Yunus. Hal ini janggal, sebab, dalam rekonstruksi yang dilakukan KPK, nama tersebut sudah muncul,” ujar peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana, Rabu malam.

Dalam rekonstruksi kasus suap pengadaan bantuan sosial COVID-19 Jabodetabek 2020 di Gedung KPK, Senin (1/2/2021), nama Ihsan muncul dalam adegan pertemuan tersangka Harry Van Sidabukke dengan Agustri Yogasmara selaku operator Ihsan. Dalam tiga kali pertemuan pada Juni 2020, Yogas menerima uang Rp1,53 miliar dari Harry di Jalan Salemba. Harry juga memberikan dua unit sepeda Brompton kepada Yogas di kantor PT Mandala Hamonangan Sude pada November 2020.

Kurnia juga kecewa dengan sikap penuntut umum karena tidak menjelaskan status Agustri Yogasmara, padahal dalam rekonstruksi disebut sebagai operator Ihsan.

Menurut Kurnia, surat dakwaan perlu ditulis secara cermat, jelas, dan lengkap sebagaimana amanat Pasal 143 ayat (2) huruf b KUHAP.

“Pertanyaan lanjutannya, apakah memberikan uang miliaran dan sejumlah barang kepada yang diduga sebagai perantara seorang penyelenggara negara tidak dianggap sebagai perbuatan pidana?” tutur Kurnia.

ICW mendesak pimpinan KPK untuk bekerja secara optimal dan tidak “menghalang-halangi kerja penyidik untuk membongkar tuntas” perkara yang merugikan masyarakat ini. “Harapan publik tersebut mesti dijawab oleh KPK dengan tidak melakukan tebang pilih dalam menangani perkara ini,” ujarnya.

Menurut peneliti dari Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Zaenur Rohman, ketiadaan nama Ihsan Yunus adalah ujian bagi KPK, yaitu untuk melihat sejauh mana batas independensi dan profesionalitas mereka dalam menguak perkara bansos ini. “Karena kasus ini sangat strategis dengan melibatkan eks Menteri dari partai penguasa dan diduga melibatkan politisi dari kelompok penguasa,” ujar Zaenur kepada reporter Tirto, Kamis.

Dia berharap KPK bekerja “secara profesional dan menghindari segala dugaan tekanan dari eksternal.” Jika gagal, maka “bisa jadi penilaian buruk dari publik.”

Terkait hal ini, Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri merespons secara normatif. Ia mengatakan surat dakwaan disusun “berdasarkan hasil proses penyidikan.” “Kami mengajak masyarakat mengawasi setiap prosesnya,” ujarnya kepada wartawan.

Ketidakseriusan KPK

Pada hari yang sama dengan pembacaan dakwaan Harry van Sidabukker dan Ardian Iskandar, tim penyidik KPK menggeledah rumah Ihsan Yunus di Pulo Gadung, Jakarta Timur, dan tak mendapatkan hasil apa-apa. “Sejauh ini tidak ditemukan dokumen atau barang yang berkaitan dengan perkara,” ujar Ali Fikri.

Sebelumnya penyidik KPK telah menggeledah rumah orang tua Ihsan dan adiknya, Muhammad Rakyan Ikram.

Kegagalan penggeledahan, menurut peneliti dari Transparency International Indonesia (TII) Alvin Nicola, akibat lambannya kinerja KPK dalam menangani kasus. Durasi penggeledahan dan kasusnya sendiri terpaut terlalu jauh.

“Ini menegaskan kembali ketidakseriusan KPK memproses kasus ini terutama pimpinan KPK yang meminta punya kewenangan meminta izin penggeledahan. Wajar saja jika barang bukti sudah berpindah tangan atau disembunyikan,” ujar Alvin kepada reporter Tirto, Kamis.

Hal serupa diungkapkan Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman. Gerak lambat KPK inilah yang menjadi alasan MAKI mengajukan praperadilan. Boyamin meyakini ada 20 izin Dewas KPK sejak operasi tangkap tangan yang tidak dilaksanakan KPK. “Ibarat perang, penggeledahan itu harus ada unsur kejut dan mendadak, jika perlu malam hari atau menjelang pagi,” ujarnya dalam keterangan tertulis, Kamis.

Baca juga artikel terkait KORUPSI BANSOS COVID-19 atau tulisan lainnya dari Alfian Putra Abdi

tirto.id - Hukum
Reporter: Alfian Putra Abdi
Penulis: Alfian Putra Abdi
Editor: Rio Apinino