Menuju konten utama

Freeport Dinilai Tidak Adil karena Tolak Tawaran IUPK

Sikap Freeport dianggap tidak adil karena enggan menerima tawaran pengganti Kontrak Karya (KK). Padahal pemerintah sudah berbaik hati untuk memberi solusi bagi pemegang KK.

Freeport Dinilai Tidak Adil karena Tolak Tawaran IUPK
VP Corporate Communication PT Freeport Indonesia Riza Pratama menyampaikan keterangan dalam konferensi pers di Jakarta, Senin (20/2). Freeport menolak untuk mengakhiri kontrak karya dengan pemerintah namun masih membuka pintu untuk bernegosiasi terkait dengan izin operasi dan persetujuan ekspor konsentrat. ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay.

tirto.id - PT Freeport Indonesia tidak adil terhadap pemerintah Indonesia karena tidak mau menerima tawaran Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) sebagai pengganti Kontrak Karya (KK). Pernyataan itu diungkapkan Guru Besar Hukum Internasional UI Hikmahanti Juwana.

"Pemerintah memberikan solusi yaitu memberikan alternatif ke pemegang Kontrak Karya. Bila mereka tetap berpegang pada KK itu boleh asalkan tidak melanggar Pasal 170 UU Minerba. Tapi kalau mereka mau tetap ekspor tentu boleh tapi harus bersedia merubah diri menjadi IUPK," ujar Hikmahanto Juwana di Jakarta.

Mengutip dari Antara, Rabu (22/2/2017), Hikmahanto mengatakan IUPK ini akan diatur dalam Pasal 102 dan 103 UU Minerba. Meskipun ada keharusan hilirisasi, tidak ada ketentuan waktu 100 persen pemurniannya kapan.

"Nah kalau melihat itu kan sebenarnya pemerintah sudah berbaik hati untuk beri solusi bagi pemegang KK. Pemerintah tidak diskriminatif. Ada yang tetap pegang KK tapi mereka bangun smelter seperti Vale Indonesia. Tapi ada juga yg mengubah diri menjadi IUPK seperti PT Amman Mineral [dulu Newmont]. Bahkan pemerintah harus berkorban karena dikritik bahkan PP 1 2017 dibawa ke MA untuk diuji materi," kata dia.

Ia mengungkapkan kegaduhan terkait Freeport semuanya berpangkal pada pasal 170 UU Minerba yang menyebutkan bahwa pemegang KK wajib melakukan pemurnian di dalam negeri atau tidak bisa ekspor bahan mentah ataupun konsentrat.

"Harusnya kan jatuh tempo pada 2014. Nah pada saat itu Freeport dan pemegang KK meminta perpanjangan karena tidak siap. Akhirnya dikasih perpanjangan untuk tiga tahun dengan catatan harus bayar bea keluar," kata dia.

Pada Januari 2017 sudah jatuh tempo lagi, sementara Freeport juga belum bangun smelter (permurnian mineral) meski uangnya sudah ada. Freeport beralasan karena perusahaan tersebut meminta kepastian perpanjangan setelah 2021.

"Sebenarnya pemerintah kan pada posisi yang tidak diuntungkan. Kalau dijalankan Pasal 170 UU Minerba maka akan ada kerugian. Kalau tidak dijalankan pasal 170 maka pemerintah dianggap oleh rakyatnya melanggar UU Minerba yg notabene bisa saja di-impeach," ujar dia.

Sementara itu, terkait ancaman Freeport untuk membawa Indonesia ke arbitrase internasional, Hikmahanto mempertanyakan arbitrase yang mana.

"Ini arbitrase yang mana? International Centre for Settlement of Investment Disputes (ICSID) kah atau commercial arbitration yang diatur dalam KK? Kalau ke commercial arbitration pemerintah pun punya hak untuk mengajukan Freeport," kata dia.

Karena Freeport telah lakukan wanprestasi terkait masalah pemurnian dan divestasi.

"Kalau ke ICSID kita menang di Century dan Churchill Mining. Kalau ke Commercial arbitration kita menang ketika melawan Newmont terkait kewajiban Newmont untuk melakukan divestasi," pungkas dia.

Baca juga artikel terkait KASUS FREEPORT atau tulisan lainnya dari Yuliana Ratnasari

tirto.id - Politik
Reporter: Yuliana Ratnasari
Penulis: Yuliana Ratnasari
Editor: Yuliana Ratnasari