tirto.id - Pada tahun 2008, ketika krisis keuangan dan ketegangan politik global terjadi, kritikus seni Inggris Jonathan Jones, menerbitkan sebuah artikel di The Guardian berjudul "Goya’s gruesome themes still resonate today".
Kiwari, pernyataan bahwa karya-karya Goya masih relevan, kian terbukti. Kaos, hoodie, casing ponsel, sampai kaus kaki bergambar lukisan Goya yang mengerikan, muncul di pasaran dalam jumlah besar dengan harga relatif terjangkau.
Apa sebenarnya daya tarik karya seni Goya?
Meninggal pada 16 April 1828, tepat hari ini 193 tahun silam, Francisco Goya dianggap sebagai seniman Spanyol paling penting di akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19. Ia menghasilkan karya seni yang menonjol di antara rekan-rekannya di era romantisme. Karya-karyanya menonjolkan emosi melalui penggambaran realita secara gamblang, agar mampu menunjukkan setingkat kebenaran tanpa keindahan idealis yang menjadi ciri khas karya-karya seni era tersebut.
Saat itu, ketika Eugène Delacroix melukis tentara-tentara yang dipimpin menuju kemenangan dalam Liberty Leading the People (1830), Goya menciptakan rangkaian 82 cetakan berjudul The Disasters of War (1810) yang menunjukkan tubuh-tubuh hancur para tentara: kemenangan atau kekalahan tidak lagi penting bagi mereka.
Selain berkarya dalam bentuk seni lukis, Goya juga adalah salah satu pengetsa paling handal dalam sejarah seni Barat. Karya etsanya yang dicetak secara massal memberi publik akses ke dalam keadaan aktual di sekitar mereka. Yakni ketika pihak berkuasa memesan karya-karya seni indah untuk menenangkan publik, saat kondisi sosio-politik ruwet dengan banyak peperangan.
Goya menginspirasi banyak seniman dan pergerakan kesenian, termasuk Ekspresionisme Jerman dengan tokoh-tokoh bermata lebar kurang tidur selama Perang Dunia Pertama. Juga Picasso dengan wajah-wajah tertekuk aneh selama Perang Dingin. Bahkan sinema neorealisme Italia yang menunjukkan kejadian sehari-hari semasa Perang Dunia II, yang sebenarnya mengerikan dan menentang akal atau nalar.
Pembangkangan terhadap akal atau nalar melalui rasa takut adalah inti dari karya seni Goya. Hal ini ia tekankan dalam kutipannya yang paling terkenal: “Fantasi, bila ditinggalkan logika, menghasilkan monster yang mustahil; bila kita bersatu dengannya, dia adalah ibu dari seni dan asal mula segala keajaiban.”
Salah satu lukisan Goya yang paling ikonik, yakni Saturn Devouring His Son (1819-1823) mewujudkan konsep ini dengan sangat baik. Karya ini adalah salah satu dari empat belas mural yang dikenal sebagai Black Paintings, koleksi Museum Prado di Madrid, Spanyol. Goya membuat empat belas mural ini pada tahun-tahun terakhir hidupnya di dinding rumah perdesaannya— Quinta del Sordo (Quinta).
Tidak banyak yang diketahui apa sebenarnya maksud Goya saat melukis Saturn Devouring His Son. Tidak ditemukan dokumentasi resmi pemikirannya, misalnya surat dan catatan. Tahun-tahun ketika ia tinggal di Quinta adalah tahun-tahun kekosongan biografis tanpa catatan langsung darinya.
Makalah Boban Dedović berjudul “When Art Betrays Mythology: Acquitting Cronus (Κρόνος) di Goya's Saturn” yang terbit pada 2020, merangkum perdebatan para ahli tentang lukisan tersebut. Perdebatan berkisar seputar pertanyaan: apakah benar lukisan raksasa yang tengah melahap bagian atas sosok manusia dewasa telanjang dan berlumuran darah itu adalah penggambaran dari mitologi Saturnus.
Menurut Müller dalam Goya's Black Paintings: Truth and Reason in Light and Liberty (1984), lukisan ini baru diberi judul ketika teman dekat Goya, Antonio de Brugada, menginventarisasi lukisan-lukisan di Quinta setelah kematian Goya pada tahun 1828. Lukisan ini diinventarisasi sebagai "Saturno". Dan seperti lukisan-lukisan lainnya dari seri tersebut, judul-judul yang diberikan Brugada umumnya dihormati hingga saat ini.
Selain itu, adegan yang dilukis Goya dinilai menyimpang dari kisah Saturnus yang terdapat dalam mitologi Romawi dan Yunani. Cronus (Κρόνος) atau Saturnus diketahui membunuh anak-anaknya ketika mereka masih bayi untuk mencegahnya tumbuh dewasa dan merebut takhtanya. Maka itu, penggambaran Goya atas tubuh orang dewasa yang dimangsa seringkali menimbulkan pertanyaan.
Kekerasan sebagai Hiburan
Terlepas dari hal itu, satu hal penting adalah bagaimana karya ini telah memengaruhi spektatornya sejak ia pertama kali dipamerkan ke publik dalam Exposition Universelle (Pemeran Dunia) tahun 1878 di Paris, dan meresap ke dalam kesadaran global.
Pameran pertama Saturn Devouring His Son berhasil diselenggarakan karena pemilik Quinta saat itu, Baron Frederic Emile d'Erlanger, mengizinkan mural-mural Black Paintings dipindahkan ke kanvas dari dinding Quinta. Baron d’Erlanger juga adalah orang yang menyumbangkan lukisan-lukisan tersebut ke Pemerintah Spanyol pada 1881, yang kemudian menempatkannya di Museum Prado hingga saat ini.
Selama pemindahan kepemilikan, seperti dicatat J. Tomlinson dalam biografi Goya berjudul Francisco Goya y Lucientes 1746-1828 (1994), seri Black Paintings direstorasi oleh Salvador Martínez Cubells yang kemudian menuai banyak kritik dari para ahli karena memiliki "garis-garis yang jauh lebih kuat”. Untungnya, fotografer Jean Laurent pernah mengunjungi Quinta antara tahun 1836-1866, dan membuat plat foto Saturn Devouring His Son untuk membantu mengamati kondisi lukisan saat dipamerkan ke publik untuk pertama kalinya.
Bagi mata awam, versi sebelum dan sesudah restorasi tidak jauh berbeda. Perubahan yang mencolok hanya terjadi pada latar belakang lukisan di mana bercak-bercak dihilangkan. Lukisan dengan tinggi 1,5 meter ini dapat mengintimidasi siapapun yang melihatnya. Namun, pada saat yang sama, tatapan tajam Saturnus mengundang kita untuk melihat lebih dekat penggambaran kekejaman yang dilakukannya, alih-alih mengalihkan pandangan.
Filsuf Edmund Burke mencoba mendalami keinginan kita untuk mengamati gambaran penderitaan atau kekerasan.
“Saya yakin kami merasakan suatu bentuk kesenangan, yang tidak sedikit jumlahnya, dalam kemalangan dan penderitaan [nyata] orang lain,” tulisnya dalam A Philosophical Inquiry into the Origin of Our Ideas of the Sublime and Beautiful (1757).
Sementara kritikus seni ternama, Susan Sontag, menguraikan dalam Regarding the Pain of Others (2003), bahwa keinginan voyeuristik ini muncul dari kebutuhan akan kekuasaan dalam diri kita. Apa yang terjadi pada tubuh di lukisan Saturnus bisa saja menimpa diri kita, tetapi kita lebih memahami bahwa itu tidak mungkin terjadi kepada kita. Hal ini membangkitkan rasa simpati yang tidak stabil karena tidak dapat dterjemahkan menjadi suatu tindakan. Apa yang harus kita lakukan terhadap lukisan raksasa yang tengah melahap seseorang? Berteriak meminta keadilan? Tentu saja tidak.
Sejak dulu, kekerasan diterima sebagai hiburan dalam budaya massa. Seperti pertarungan gladiator, pertunjukkan silat, cerita perang dalam pewayangan, dan kisah-kisah kekerasan lain yang muncul dalam film, tayangan televisi, cerita komik, dan sebagainya.
Kekacauan cenderung menghibur daripada menakuti orang-orang modern. Sebagai penonton, kita merasa tidak ada yang bisa dilakukan lalu menjadi apatis. Hal yang sama dirasakan saat melihat gambar-gambar konflik bersenjata dalam berita, atau saat kita berbaris untuk melihat sisa-sisa kecelakaan lalu lintas.
Ketakutan Eksistensial
Ini adalah paradoks reaksi manusia kepada rasa takut. Kita memilih menonton tanpa bertindak. Memilih simpati sebagai pengganti amarah dan frustrasi. Tontonan kekacauan memberikan kita ilusi rasa kontrol yang mungkin tidak dapat ditemukan dalam realita di sekitar kita.
Hal ini diuraikan filsuf Georges Bataille dalam The Tears of Eros (1961). Sebagai objek kontemplasi, penggambaran kekejaman seperti lukisan Saturn Devouring His Son dapat menjawab beberapa kebutuhan yang berbeda dalam diri manusia: untuk menguatkan diri, membuat diri lebih apatis atas realita, atau untuk membantu mengakui kenyataan yang tidak dapat dihindari. Menurutnya, kita bukan menikmati tontonan penyiksaan, tetapi membayangkan bahwa penderitaan ekstrem adalah alat transfigurasi.
Ini adalah pandangan penderitaan yang berakar pada pemikiran religius. Rasa sakit diasosiasikan dengan pengorbanan, dan pengorbanan berujung kemuliaan. Sebuah pandangan yang meskipun tampaknya bertentangan dengan sensitivitas modern, tetapi masih sangat relevan untuk sebagian besar penduduk dunia. Data dari Pusat Penelitian PEW pada 2015 mencatat bahwa populasi dunia semakin religius dengan 84 persen mengakui sebagai bagian dari suatu kelompok agama.
Cara berpikir religius ini memainkan sebuah jenis ketakutan yang dikenal sebagai ketakutan eksistensial yang sering dikaitkan dengan penulis legendaris H.P. Lovecraft dan genre horor kosmiknya. Ketakutan eksistensial muncul ketika manusia menyadari betapa kecil dan tidak signifikan kehidupannya di hadapan dewa-dewa besar seperti Saturnus yang dapat bertindak semaunya. Suatu konsep yang kerap muncul dalam agama.
Filsuf Amerika, Noel Carroll, juga menganalisis dalam Philosophy of Horror (1990), bahwa ketika manusia dihadapkan dengan makhluk mengerikan yang tidak dikenali--seperti monster-monster atau Saturnus--ia terpesona karena ada sesuatu tentang mereka yang tidak diketahui dan ingin ia pahami.
"Ketertarikan ini dapat dinikmati, karena penderitaan yang disebabkan tidak berdampak langsung; ini adalah respons kita terhadap ide atas kehadiran monster, bukan kehadiran sebenarnya yang menjijikkan atau menakutkan," imbuh Carroll.
Di titik ini, Saturn Devouring His Son karya Francisco Goya menggambarkan kekejaman yang tidak nyata sehingga memberikan pengamatnya sebuah ilusi kontrol atas realita. Goya juga menggambarkan sebuah entitas besar yang tidak mengindahkan eksistensi manusia, memojokkan dan membuatnya merasa tidak penting, takut, sekaligus kagum atas apa yang sedang ia lihat.
Hal ini membuat karya Goya menjadi relevan bagi generasi kiwari. Generasi yang mulai lupa nyamannya kehidupan karena krisis ekonomi dan politik. Generasi yang resah saat melihat masa depan yang kian tak menentu.
Penulis: Pia Diamandis
Editor: Irfan Teguh