tirto.id - Cristiano Ronaldo adalah sosok ekspresif di lapangan hijau. Dia tidak malu untuk menunjukan perasaan hatinya. Terkadang dia meledak-ledak karena emosi, terkadang pula dia mengharu biru meneteskan air mata di tengah sorot kamera.
Sepuluh tahun lalu, Ronaldo yang masih remaja berusia 19 tahun terlihat sesunggukan menangis layaknya seorang bocah. Jutaan pasang mata melihat air mata itu secara langsung di televisi. Ini mungkin jadi kepedihan yang mendalam pada diri Ronaldo.
Kala itu Portugal kalah di Final Euro 2004 melawan Yunani. Kekalahan ini sungguh anomali dan di luar prediksi. Bagaimana mungkin Portugal yang berstatus tuan dan bermain baik, mendepak Inggris dan Belanda di fase knock out bisa kalah dari Yunani -- yang dicerca karena bermain membosankan akibat taktik defensif yang diterapkan. Sebagai tim yang dicaci dan non-unggulan Yunani malah mampu membuat kejutan.
Status Yunani ini yang nanti akan melekat pada Ronaldo dan Portugal pada final Euro 2016 nanti malam. Banyak orang menjagokan Perancis akan tampil sebagai juara. Berstatus sebagai tuan rumah, Perancis tampil bagus di fase grup an tampil di puncak klasemen.Pada fase knock-out, Les Blues selalu menang dalam kurun 2x45 menit, termasuk saat menaklukan tim kandidat juara Jerman 2-0 pada semifinal. Pertandingan ini bahkan disebut sebagai game paling menarik di Euro 2016.
Perjalanan Perancis menuju final tidak semenarik Portugal, faktor ini yang membuat Ronaldo cs dibenci publik. Pada fase grup Portugal bermain jelek. Pada di grup F yang lawannya relatif mudah; Austria, Hungaria dan Islandia, Portugal malah terseok-seok--tak pernah menang dan selalu imbang. Lolos ke fase knock-out dengan status rangking ketiga.
Untungnya, status juara ketiga ini membuat Portugal masuk di grup yang lebih enteng dan tak perlu bersua dengan Spanyol, Italia, Jerman, Perancis, dan Inggris agar bisa lolos ke final. Lawan yang dihadapi cenderung tak punya nama besar seperti Polandia, Kroasia, dan Wales. Masalah muncul, ketika permainan Portugal dicerca karena membosankan.
Apa yang dilakukan Portugal sebenarnya tak dilakukan Yunani yang identik total bertahan dan mencetak gol lewat serangan balik. Portugal tidaklah seperti itu.
Ketika menghadapi lawan yang secara kelas di bawah mereka, Portugal tetap tampil dominan. Masalah muncul saat serangan itu tak efektif dan tidak bisa dikonversi jadi gol. Untuk apa menyerang habis-habisan tapi tidak mencetak gol?
Dalam atribusi serangan, Portugal malah lebih baik ketimbang Perancis. Rerata tembakan per game Portugal mencapai 18,67 shoot per game. Sedang Perancis hanya 17,17 shoot per game. Hal sama dalam konteks serangan yang masuk area sepertiga terakhir lawan. Sepanjang turnamen Portugal melakukan 458 kali upaya masuk ke sepertiga lawan, Perancis hanya 236 kali.
Perbedaan Perancis dan Portugal adalah Ronaldo cs kerap memainkan sepakbola yang tidak efektif. Betul jumlah tembakan Portugal lebih banyak, namun jangankan gol untuk dikonversi jadi shoot on target pun amat minim, hanya 20 persen. Sedangkan Perancis mencapai 35 persen. Namun ini adalah final. Bukan jaminan Portugal akan berani bermain terbuka seperti laga-laga sebelumnya, terlebih lawan yang dihadapi adalah Perancis.
Michael Cox, editor Zonal Marking dalam analisanya di ESPNFC menuturkan secara taktikal laga final memang jarang menampikan permainan menarik. Laga hanya dibumbui ketat dan tegang, tapi tidak terlalu taktikal karena kedua belah pihak bermain hati-hati, menunggu lawan membuat kesalahan ketimbang mengubah srategi saat laga berlangsung.
Meski demikian adu taktikal pada laga final kali ini akan terjadi sebelum laga dimulai. Perancis dan Portugal tentunya akan memakai taktik yang berbeda.
Portugal kerap memakai formasi 4-3-1-2. Namun dalam laga sering terlihat 4-1-3-2 , dengan William Carvalho sebagai gelandang bertahan dan Joao Mario, Adrien Silva dan Renato Sanches bebas naik ke depan. Michael Cox menyoroti keanehan Portugal saat memainkan sistem ini.
Dengan hanya memasang satu gelandang saat bertahan, Portugal lebih cenderung bermain bertahan saat di serang dan menumpuk pemainnya hampir separuh lapang. Faktor usia para gelandang yang muda dan enerjik jadi sebab. Dengan tiga gelandang yang naik jadi sebuah pertanyaan kenapa mereka tak memainkan pola pressing dan memilih menunggu di pertahanan sendiri? Dalam hal ini, Portugal memang berupaya menyerang lewat counter-attack dan memaksimalkan Ronaldo yang ahli dalam hal ini.
Namun, faktanya mereka selalu gagal karena tak padunya saat proses transisi dari bertahan ke menyerang.
Alhasil pelatih Fernando Santos pun mengubah taktik dengan mulai memanfaatkan serangan crossing atau track-back dari sayap. Hasilnya cukup sukses. Pundit kenamaan di Inggris, Jonathan Wilson memprediksikan pada laga final nanti dengan sistem ini Ronaldo akan fokus mengeskploitasi ruang antara bek tengah sisi kiri – yakni Samuel Umtiti dan full back-kiri, Bacary Sagna. Faktor pengalaman Umtiti dan Sagna pada turnamen besar jadi alasan.
Untuk menghadang ini Perancis mau tak memerlukan gelandang yang diberi beban bertahan. Andai skema ini terjadi, pola 4-2-3-1 dengan memasang Paul Pogba dan Blaise Matuidi sebagai poros ganda tak akan efektif membantu serangan – seperti saat melawan Jerman, di mana Pogba dan Matuidi diplot menjaga Toni Kross dan Mesut Ozil.
Pelatih Perancis, Didier Deschamps bisa mempertimbangkan pengunaan formasi 4-3-3, dengan kembali memainkan N'golo Kante. Skema 4-3-3 diharapkan jadi solusi untuk menghentikan formasi diamond lini tengah Portugal. Dan tampaknya Perancis akan memakai formasi ini di awal babak pertama.
Masalah muncul saat formasi 4-3-3 diprediksikan akan membuat kengerian Antoine Griezmann menjadi sirna, mengingat Griezmann akan dikembalikan ke posisi penyerang kanan, setelah sebelumnya dia nyaman jadi second striker pada formasi 4-2-3-1 di belakang Olivier Giroud. Bermain di kanan, Griezmann akan banyak butuh bantuan dari Pogba atau agna.
Tapi berhubung Sagna harus mengawal ketat Ronaldo, maka Griezman bisa sedikit bermain narrow ke tengah. Michael Cox menuturkan jika Payet dan Griezmann sedikit merapat hal itu akan menyulitkan William Carvalho yang bertugas sendirian.
Jika skema ini terjadi maka saat bertahan diamond gelandang Portugal kemungkinan akan berubah sejajar dan bermain melebar. Untuk membongkarnya, maka Perancis perlu mengalirkan serangan dengan cepat, mencegah empat gelandang Portugal ke posisi sejajar. Atau Deschamps bisa memerintahkan dua full-back, Patrice Evra dan Bacary Sagna naik ke depan membantu serangan. Fungisinya agar kesejajaran geladang Portugal itu bisa di tarik lebar hingga renggang.
Terlepas dari prediksi taktikal pada laga final nanti, dua pelatih Deschamps dan Santos akan menampilkan taktik yang berbeda di bandingkan laga-laga sebelumnya. Dan soal taktik itu bisa terlihat dari line-up yang akan dirilis beberapa jam sebelum laga di mulai.
Penulis: Aqwam Fiazmi Hanifan
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti