Menuju konten utama

Fayakhun Didakwa Terima Suap 911.480 USD dalam Kasus Bakamla

Jaksa KPK mendakwa Fayakhun menerima suap 900 ribuan dolar AS dalam proyek Bakamla.

Fayakhun Didakwa Terima Suap 911.480 USD dalam Kasus Bakamla
Tersangka suap pembahasan dan pengesahan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian/Lembaga (RKAKL) dalam APBN-P 2016 untuk Bakamla RI Fayakhun Andriadi meninggalkan gedung KPK, Jakarta, Kamis (21/6/2018). ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan

tirto.id - Jaksa penuntut KPK Ikhsan Fernandi mendakwa anggota Komsi I DPR dari fraksi Partai Golkar Fayakhun Andriadi menerima suap 911.480 dolar AS dari pengusaha karena mengusahakan alokasi penambahan anggaran di Badan Keamanan Laut (Bakamla).

"Terdakwa Fayakhun Andriadi selaku anggota Komisi I DPR periode 2014-2019 menerima seluruhnya sebesar 911.480 dolar AS yang telah dijanjikan sebelumnya dari Direktur PT Merial Esa Fahmi Darmawansyah agar mengupayakan alokasi (plotting) penambahan anggaran Bakamla untuk proyek pengadaan satelit monotoring dan drone APBNP 2016," kata Ikhsan di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Kamis (17/8/2018).

Kronologi Kasus Suap Bakamla

Pemberian uang itu diawali dengan pertemuan antara Direktur PT Merial Esa Fahmi Darmawansyah, staf operasional PT Merial Esa M Adami Okta dan staf khusus Bakamla Ali Fahmi Al Habsy di kantor PT Merial Esa. Ali Fahmi menawarkan proyek di Bakamla kepada PT Merial Esa dan ditanggapi bahwa perusahaan itu adalah agen pabrikan Rohde and Schwarz Indonesia untuk alat komuniasi khusus.

Ali Fahmi pun meminta commitment fee sebesar 15 persen dari nilai pagu proyek.

Sekitar April 2016, Fayakhun bertemu dengan Ali Fahmi di Bakamla. Dalam pertemuan itu Ali meminta agar Fayakhun mengupayakan usulan penambahan alokasi anggaran dalam APBNP 2016 dengan imbalan "fee" sebesar 6 persen dari nilai anggaran.

Selain Ali Fahmi, Direktur PT Rohde and and Schawrz Indonesia Erwin Arief juga meminta pengupayaan yang sama pada April 2016. Erwin meminta proyek nantinya dikerjakan oleh Fahmi Darmawansyah serta dijanjikan tambahan "fee" dari Fahmi untuk Fayakhun.

"Selanjutnya Fayakhun aktif melakukan komunikasi dengan Fahmi Darmawansyah melalui perantaraan Erwin Arief dan M Adami Okta melalui aplikasi 'whatsapp' yang dikirim terdakwa kepada Erwin Arief dan selanjutnya diteruskan kepada M Adami Okta dan diteruskan lagi kepada Fahmi Darmawansyah, demikian sebaliknya," tambah jaksa Ikhsan.

Pada 29 April 2016 Fayakhun memberitahu Fahmi ada respons positif terhadap tambahan anggaran yang diajukan Bakamla senilai total Rp3 triliun termasuk proyek sateli monitoring (satmon) dan drone senilai Rp850 miliar yang dapat dikerjakan Fahmi.

"Terdakwa juga akan 'mengawasi' usulan tersebut di Komisi I untuk proyek-proyek Bakamla dengan syarat terdakwa mendapatkan commitment fee dari Fahmi Darmawansyah untuk pengurusan tambahan anggaran itu," ungkap jaksa.

Nilai tambahan fee yang diminta adalah 1 persen sehingga total "fee" yang harus diberikan adalah 7 persen. Khusus "fee" 1 persen agar diberikan kepada Fayakhun pada 2 Mei 2016.

Namun hingga 2 Mei 2016, fee belum juga diberikan sehingga Fayakhun menanyakannya kepada Fahmi melalui Erwin Arief. Keesokannya pada 3 Mei 2016, Erwin mengatakan Fahmi berkomitmen memberikan "fee" dan Fayakhun pun mengirimkan petunjuk tentang cara dan besaran "fee" yang harus diberikan Fahmi secara bertahap dari alokasi nilai proyek di Bakamla yaitu Rp1,22 triliun.

Erwin Arief mengatakan kepada Adami Okta bahwa commitment fee untuk Fayakhun sebesar 1 persen dari total Rp1,22 triliun adalah sebesar 927.756 dolar AS dengan kurs saat itu Rp13.150 per dolar AS.

Fee untuk Fayakhun Diberikan dalam Mata Uang Asing

"Fee itu diberikan menggunakan mata uang asing yaitu sebesar 300 ribu dolar AS ke rekening money changer di Hong Kong yang pengirimannya dipecah menjadi dua yaitu pertama 200 ribu dolar AS ke Hangzhou Hangzhong Plastic Co.Ltd dan 100 ribu dolar AS ke Guangzhou Ruiqi Oxford Cloth Co.Ltd sebesar 100 ribu dolar AS.

Kedua rekening di Cina itu diperoleh dari staf Fayakhun bernama Agus Gunawan yang diperintahkan untuk mencarikan rekening bank di luar negeri guna menerima kiriman uang dalam dolar AS dan Agus mendapatkan nomor rekening dari pemilik Toko Serba Cantik Melawai.

Pengiriman uang dilakukan pada 4 Mei 2016 melalui rekening Citibank Singapore Ltd. Namun transfer baru berhasil dilakukan pada 9 Mei 2016 karena nomor kode swift-nya salah.

"Pada 10 Mei 2016, terdakwa menanyakan ke Erwin Arief apakah sisa komitmen 1 persen sudah dikirim ke rekening terdakwa di JP Morgan International Bank Limited Brussels Belgia dan dijawab Adami Okta bahwa kekurangannya akan dikirim Fahmi bila sudah ada surat revisi permohonan tambahan anggaran Bakamla dari Kepala Bakamla ke Menteri Keuangan yang ditembuskan ke Komisi I DPR," papar jaksa Takdir Suhan.

Pada 12 Mei 2016, Fayakhun mengingatkan Fahmi melalui Erwin Arief mengenai sisa commitment fee yang belum dikirimkan Fahmi Darmawansyah dengan mengatakan melalui pesan WA yaitu "petinggi sdh. Kurcaci bisa ngomel".

"Yang dimaksudnya adalah agar sisa komitmen segera dikirimkan kepada terdakwa," ungkap jaksa Takdir.

Sisa "fee" diminta untuk dikirim melalui rekening Omega Capital Aviation Limited. Bank di Bank UBS Singapura sebesar 110 dolar AS dan Abu Djaja Bunjamin di Bank OCBC Singapura sebesar 490 ribu dolar AS.

Transfer dilakukan pada 23 Mei 2016 dari rekening Bank BNI atas nama Fahmi Darmawansyah ke dua rekening di Singapura tersebut. Selanjutnya Adami Okta mengirimkan kepada Erwin Arief melalui WA berupa foto bukti transfer.

Namun, transfer baru sepenuhnya berhasil ditransfer pada 25 Mei 2016 dan Fayakhun pun mengucapkan terima kasih.

"Setelah semua commitment fee sebesar 1 persen yang seluruhnya berjumlah 911.480 dolar AS itu masuk ke 4 nomor rekening yang diberikan terdakwa maka terdakwa memerintahkan Agus Gunawan mengambil uang di rekening itu melalui bantuan Lie Ketty secara bertahap dan diserahkan Agus kepada terdakwa," tegas jaksa.

Pasal Dakwaan untuk Fayakhun

Atas perbuatannya itu Fayakhun didakwa dengan pasal 12 huruf a atau pasal 11 UU No. 31 tahun 1999 sebagaimana diubah UU No. 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 64 ayat (1) KUHP.

Pasal itu mengatur mengenai pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya dengan ancaman penjara minimal 4 tahun dan maksimal seumur hidup dan denda minimal Rp200 juta maksimal Rp1 miliar.

Terhadap dakwaan itu, Fayakhun tidak mengajukan nota keberatan (eksepsi).

"Terhadap surat dakwaan walau secara substansi dan fakta ada yang harus diluruskan tapi menurut hemat kami akan dilakukan di pembuktian sehingga kami tidak akan mengajukan eksepsi," kata penasihat hukum Fayakhun.

Sidang dilanjutkan pada Senin, 27 Agustus 2018.

Sejumlah Terdakwa Telah Menerima Vonis

Terkait perkara ini, sudah ada beberapa orang yang dijatuhi vonis yaitu mantan Deputi Informasi, Hukum dan Kerja Sama Bakamla Eko Susilo Hadi. Eko dihukum 4 tahun 3 bulan penjara.

Sedangkan mantan Direktur Data dan Informasi Bakamla Laksamana Pertama Bambang Udoyo divonis 4,5 tahun penjara dan dipecat dari kesatuan militer.

Terdakwa lain, mantan Kepala Biro Perencanaan dan Organisasi Nofel Hasal divonis 4 tahun penjara.

Sedangkan Adami dan Hardy divonis 1,5 tahun penjara dan denda Rp100 juta dengan subsider 6 bulan kurungan bahkan sudah bebas dari penjara.

Fahmi Darmawansyah divonis 2 tahun dan 8 bulan penjara. Ia kini tersandung masalah baru dalam perkara dugaan suap kepada Kalapas Sukamiskin.

Baca juga artikel terkait KORUPSI BAKAMLA

tirto.id - Hukum
Sumber: Antara
Editor: Agung DH