tirto.id - Ada banyak kesalahpahaman dan mitos terkait penyakit skizofrenia yang beredar di masyarakat selama ini. Umumnya, salah paham disebabkan oleh film atau pertunjukkan TV yang memuat informasi tidak benar tentang penyakit kejiwaan tersebut.
Selain itu, stereotipe yang beredar di masyarakat juga jadi salah satu sebab kemunculan berbagai mitos. Perlu diketahui bahwa skizofrenia bisa diidap oleh siapa saja.
Bahkan peraih nobel bidang matematika ternama, John Forbes Nash juga merupakan salah satu penyintas. Kisah hidupnya pernah diangkat menjadi sebuah film berjudul A Beautiful Mind.
Merujuk laman WHO,skizofrenia memengaruhi sekitar 24 juta orang atau 1 dari 300 orang (0,32%) di seluruh dunia. Angka ini adalah 1 dari 222 (0,45%) diantara orang dewasa.
Ini bukan seperti gangguan mental yang umum lain seperti stres. Kondisi ini paling sering dialami selama masa remaja akhir dan awal 20-an, serta terjadi lebih awal pada pria dibanding wanita.
Kemunculan skizofrenia sering dikaitkan dengan penderitaan yang signifikan dalam kehidupan, keluarga, sosial, pendidikan, pekerjaan dan bidang kehidupan penting lainnya.
Penderita memiliki kemungkinan 2 hingga 3 kali meninggal lebih awal daripada populasi umum, dengan penyebab penyakit fisik seperti kardiovaskular, metabolisme, dan infeksi.
Oleh karena itu, kampanye untuk meningkatkan kesadaran terkait kondisi mental ini terus digaungkan oleh komunitas dunia. Salah satu upayanya adalah dengan membentuk World Schizophrenia Day atau Hari Skizofrenia Sedunia diperingati tanggal 24 Mei tiap tahun.
Apa Itu Skizofrenia?
Web MD menulis, skizofrenia adalah gangguan mental serius yang memengaruhi kemampuan untuk berpikir dan bertindak jernih. Otak penderita skizoprenia akan sering memberi tahu bahwa mereka sedang melihat atau mendengar suara yang sebenarnya tidak ada.
Hal ini membuat penderita sulit membedakan hal yang nyata dan yang tidak nyata. Kondisi ini juga memengaruhi cara penderitanya berpikir, membuat keputusan, serta mengelola emosi.
Di Amerika, sekitar 1 persen penduduknya mengalami skizofrenia. Pasien wanita banyak mengalami gejalanya di usia antara 20-30 tahun. Sementara pria banyak mengalami gejala di akhir usia remaja dan awal 20-an.
Penderita skizoprenia umumnya mengalami gejala seperti berikut ini:
- Delusi atau mengalami keyakinan yang salah, bahkan ketika diberi tahu tentang fakta sebenarnya. Tidak dapat membedakan kenyataan dan imajinasi.
- Sulit mengingat sesuatu,
- Pikiran kacau.
- Mengalami halusinasi berupa mendengar suara, melihat sesuatu, atau mencium sesuatu yang orang lain tidak mengalaminya.
- Kurangnya ekspresi di wajah atau suara (datar).
- Fokus masalah kurang.
- Sulit memahami informasi dan membuat keputusan.
Fakta dan Mitos Penyakit Skizofrenia
Mengingat kurangnya informasi terkait penyakit kejiwaan seperti skizofrenia yang beredar di masyarakat, maka banyak sekali mitos yang beredar seputar gangguan kejiwaan tersebut. Berikut ini beberapa mitos dan fakta sebenarnya yang perlu diluruskan, tentang skizofrenia merujuk pada White Swan Foundation:
Mitos 1: Skizofrenia sama dengan kepribadian ganda
Schizoprenia adalah seseorang yang punya kepribadian ganda. Sebuah pooling di Amerika menunjukkan bahwa 64% orang Amerika percaya skizofrenia adalah kondisi kepribadian ganda, ini adalah kesalah pahaman terbesar.
Faktanya, skizofrenia tidak sama dengan kepribadian ganda. Seorang pengidap skizofrenia tidak memiliki dua kepribadian atau lebih. Sebaliknya mereka hanya kehilangan kontak dengan kenyataan atau punya keyakinan yang salah.
Gejala yang banyak diderita oleh penderita skizofrenia adalah halusinasi dan delusi, termasuk mendengar suara-suara imajinatif di kepala serta melihat kejadian yang tidak nyata. Kondisi ini yang membuat mereka seperti punya kepribadian ganda.
Mitos 2: Penderita skizofrenia berbahaya
Penderita skizofrenia sering dianggap berbahaya dan jahat. Hal ini banyak disebarkan dalam film atau acara TV yang memperlihatkan seorang pembunuh keji ternyata mengalami gangguan jiwa. Ini bukanlah kasus yang terjadi dalam kehidupan nyata.
Faktanya, meskipun penderita skizofrenia bisa melakukan hal yang tidak diprediksi secara tiba-tiba, namun kebanyakan bukanlah tindakan kekejaman. Malah mereka kerap menjadi korban dari tindakan kejam masyarakat yang tidak paham, dengan mengalami kekerasan fisik dan di-bully.
Penderita skizofrenia lebih sering menyakiti dirinya sendiri ketimbang orang lain, juga mencoba bunuh diri. Ketika orang dengan gangguan otak ini melakukan tindakan kekerasan, penyebabnya biasanya masalah perilaku ketika masa kanak-kanak atau penyalahgunaan zat tertentu. Tetapi gangguan itu sendiri tidak membuat mereka melakukan tidakan agresif secara fisik.
Mitos 3: Skizofrenia disebabkan pola asuhan yang buruk
Mitos ketiga adalah pernyataan bahwa penyebab skizofrenia adalah pengasuhan yang buruk. Ibu adalah orang yang sering disalahkan jika putra-putrinya mengalami skizofrenia.
Faktanya, penyakit skizofrenia adalah penyakit mental yang dipicu oleh banyak hal termasuk gen, trauma, dan obat-obatan terlarang. Jadi bukan selalu kesalahan orang tua atau ibu dalam mengasuh jika salah satu anaknya mengalami penyakit ini.
Mitos 4: Skizofrenia merupakan penyakit keturunan
Mitos lainnya yang sering beredar di masyarakat adalah anggapan bahwa skizoprenia merupakan penyakit keturunan. Gen memang menjadi salah satu penyebab yang memengaruhi kondisi mental seseorang
Namun, faktanya ketika salah satu dari orang tua menderita skizofrenia, bukan berarti anak-anaknya juga ditakdirkan mengalaminya.
Anak-anak dengan orang tua skizofrenia mungkin berisiko lebih besar mengalami hal serupa, tapi ilmuwan menyebut gen bukan satu-satunya pemicu. Penyebabnya bisa sejenis virus, kekurangan nutrisi ketika dalam kandungan, atau penyebab lainnya.
Mitos 5: Penderita skizofrenia bukan orang yang pintar
Penderita skizofrenia seringkali mengalami diskriminasi akibat dianggap tidak pintar atau bodoh. Padahal hal ini sebenarnya hanya mitos.
Faktanya, beberapa penelitian menemukan bahwa orang dengan kondisi skizofrenia mengalami kesulitan pada tes keterampilan mental seperti sulit memperhatikan, pembelajaran, dan memori. Tapi bukan berarti mereka tidak cerdas.
Banyak orang kreatif dan cerdas sepanjang sejarah menderita skizofrenia seperti penari balet Rusia Vaslav Nijinsky dan John Nash. Para ilmuwan bahkan mencari hubungan antara gen yang mungkin terkait dengan psikosis dengan kreativitas.
Mitos 6: Penderita skizofrenia harus dirawat di RSJ
Mitos yang juga sering beredar di masyarakat adalah anggapan bahwa penderita skizoprenia harus dirawat di Rumah Sakit Jiwa (RSJ).
Faktanya, bahkan aman dahulu penderita sakit mental apapun akan dikirim ke Rumah Sakit Jiwa yang terpencil atau bahkan dipenjara. Namun saat ini seiring berkembangnya ilmu pengetahuan, makin sedikit orang yang perlu ditempatkan di fasilitas kesehatan mental jangka panjang.
Tingkat perawatan akan disesuaikan seberapa parah gejala penyakit. Kebanyakan penderita hidup mandiri dengan keluarga, dan menjalani pengobatan rutin dengan pengawasan dokter.
Mitos 7: Penderita skizofrenia tidak bisa bekerja
Banyak orang yang masih percaya bahwa penderita penyakit mental seperti skizofrenia tidak bisa bekerja. Hal ini justru menimbulkan diskriminasi di dunia kerja bagi para penderita skizofrenia maupun penderita gangguan mental lainnya.
Padahal, faktanya orang dengan skizofrenia yang menerima perawatan tepat dapat menemukan posisi dan pekerjaan yang sesuai kemampuan.
Mitos 8: Skizofrenia adalah gangguan psikotik yang tiba-tiba
Penyakit skizofrenia sering dianggap muncul dengan gangguan psikotik yang tiba-tiba.
Faktanya beberapa penderita skizofrenia menderita penyakit tersebut setelah mengalami peristiwa mental besar. Meskipun sulit diperhatikan, namun gejalanya bisa muncul dari waktu ke waktu. Berikut ini gejala awal skizoprenia yang dapat diwaspadai:
- Kurang bersosialisasi.
- Kurang minat pada aktivitas normal.
- Menarik diri dari kehidupan sehari-hari.
Skizofrenia mungkin perlu usaha kuat untuk bisa sembuh, namun itu bukan hal yang mustahil. Beberapa obat antipsikotik bisa menstabilkan gejala dan menurunkan risiko kambuhnya gejala.
Ada pula terapi bicara dan kognitif terapi yang sangat membantu dalam pengobatan serta mengatasi stres. Melalui pengobatan yang tepat, sekitar 25 persen penderita bisa sembuh total. Sisanya, akan menunjukkan gejala membaik. Banyak penderita bisa hidup normal dan produktif setelahnya.
Penulis: Cicik Novita
Editor: Yonada Nancy