Menuju konten utama

Faisal Basri: 2021, Indonesia Diprediksi Sudah Defisit Energi

Ekonom Senior Institut for Development of Economics and Finance Faisal Basri menyebut bahwa defisit energi di Indonesia bakal terjadi mulai tahun 2021.

Faisal Basri: 2021, Indonesia Diprediksi Sudah Defisit Energi
Faisal Basri saat menunjukkan gula pasir produksi PT Angels Production yang merupakan pabrik rafinasi di ITS Tower pada Senin (14/1/2019). Tirto.id/Vincent Fabian Thomas.

tirto.id - Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance Faisal Basri menyebut bahwa defisit energi di Indonesia bakal terjadi mulai tahun 2021. Hal itu terjadi jika pemerintah tidak melakukan apa-apa terhadap penurunan lifting minyak dan gas (migas) dan habisnya cadangan batubara, sementara kebutuhan energi terus meningkat.

Sejauh ini, kata Faisal Basri, sumber energi di Indonesia masih surplus karena ditopang oleh batu bara. Tahun 2018, ekspor batu bara mencapai 20,6 miliar dolar AS, sehingga transaksi energi secara keseluruhan masih surplus 8,2 miliar dolar AS.

Sementara minyak mentah dan BBM sudah mengalami defisit sejak tahun 2003. "Syukur gas masih surplus, namun tak lagi bisa menutupi defisit minyak. Defisit migas mulai terjadi pada 2021," ujarnya dalam diskusi Indief yang berlangsung kemarin (28/7/2019).

Faisal menyampaikan, defisit energi akan terus mengakselerasi jika pemerintah tidak melakukan apa-apa (business as usual). Penyebabnya, bertolak dari dua faktor utama.

Pertama, konsumsi energi Indonesia yang sekarang nomor 4 terbesar di antara Emerging Markets--tumbuh cukup tinggi (4,9 persen tahun 2018) dan pertumbuhan penduduk masih di atas 1 persen. Kedua, produksi energi kita (terutama minyak dan gas) turun secara konsisten.

"Defisit energi bisa mencapai USD80 miliar atau 3 persen PDB pada 2040," imbuh dosen fakultas ekonomi dan bisnis Universitas Indonesia tersebut.

Menurut dia, program mandatori B20/B30 yang dilakukan pemerintah juga tak bisa menekan laju impor minyak jenis solar jika program tersebut tidak terlaksana 100 persen.

"Secara langsung tentu saja mengurangi impor solar sekitar 20-30 persen jika program itu terlaksana 100 persen. Namun, ekspor CPO tentu saja juga turun, sehingga efek nettonya tak sebesar yang dikatakan pemerintah" tuturnya.

Kedua, kata dia, juga bisa terjadi lantaran bahwa program ini hanya dilatarbelakangi oleh tekanan Eropa atas sawit Indonesia, dan pemanfaatan kapasitas produksi pabrik biofuel di Indonesia sangat rendah, hanya sekitar 35 persen.

Baca juga artikel terkait ENERGI atau tulisan lainnya dari Hendra Friana

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Hendra Friana
Penulis: Hendra Friana
Editor: Maya Saputri