tirto.id - Wakil Ketua DPR, Fadli Zon, menyatakan serangkaian aksi teror yang terjadi belakangan bukan disebabkan molornya pembahasan Revisi Undang-Undang (RUU) Terorisme, tapi kegagalan pemerintah menanggulangi terorisme.
"Jadi kalau yang sekarang ini terjadi adalah kegagalan pemerintah di dalam melindungi warganya. Itu yang jelas," kata Fadli, di Kompleks DPR, Selasa (15/5/2018).
Karena, menurut Fadli, UU Terorisme sudah ada sejak tahun 2003 dan telah memberikan kewenangan kepada kepolisian dan BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme) untuk memberantas terorisme. Termasuk kewenangan untuk melakukan operasi intelijen yang menurutnya belum sepenuhnya dimaksimalkan BIN dan kepolisian.
"Di dalam Polri kan ada intelijen. Ada biaya juga di dalam pemeliharaan keamanan, ketertiban dan sebagainya ada biaya," kata Fadli.
Seharusnya, kata Fadli, kepolisian memanfaatkan biaya yang menurutnya berjumlah triliunan rupiah tersebut untuk memaksimalkan kerja-kerja intelijen dalam melakukan pencegahan tindak pidana terorisme.
"Dan mereka juga tahu jaringannya ada di mana. Kalau misalkan diketahui kan bisa dilakukan preemptive action kalau ada bukti yang kuat. Kalau misalnya sudah diketahui," kata Fadli.
Hal yang sama juga disampaikan Ketua Pansus RUU Terorisme, Muhammad Syafii. Menurutnya, serangkaian teror yang terjadi tidak bisa sepenuhnya disalahkan kepada lambatnya pembahasan RUU Terorisme, melainkan juga karena kelalaian kepolisian.
Syafii memberi contoh kericuhan di Mako Brimob. Menurutnya, kejadian itu menunjukkan bila polisi belum maksimal dalam membuat sistem keamanan di penjara yang menampung pelaku teror.
"Seharusnya kalau mereka tidak lalai, mereka bisa menguasai keadaan. Karena itu di markas mereka," kata Syafii saat dihubungi, Selasa (15/5/2018).
Politikus Gerindra ini pun menganggap sikap Kapolri Tito Karnavian yang mendesak Presiden Jokowi mengeluarkan Perppu ngawur. Sebab, kata dia, sebagai pimpinan kepolisian seharusnya yang bersangkutan tidak memberi masukan yang bisa mengakibatkan saling lempar stigma antara pemerintah dan DPR.
"Jadi Kapolri jangan berikan masukan yang salah. Jujur saja Jenderal Karnavian. Kalau tak sanggup jadi Kapolri jangan usulkan Presiden keluarkan Perppu. Mundur aja," kata Syafii.
Dalam sepekan terakhir, aksi teror terjadi di beberapa lokasi di Indonesia. Dimulai dari kericuhan narapidana terorisme di Mako Brimob pada Selasa, 8 Mei, berlanjut melanda Surabaya dan Sidoarjo selama dua hari berturut-turut.
Pada Minggu pagi, 13 Mei, bom meledak di tiga gereja dan mengakibatkan belasan orang meninggal dan puluhan luka-luka. Malam harinya sebuah bom meledak di rusunawa di Sidoarjo. Lalu, Senin pagi 14 Mei, bom kembali meledak di depan Mapolrestabes Surabaya.
Polisi pun segera bertindak cepat menyisir jaringan terorisme. Hasilnya sejumlah terduga teroris tertangkap di banyak tempat. Salah satunya di daerah Urang Agung, Sidoarjo pada 14 Mei.
Namun, polisi merasa tindakannya saat ini masih belum bisa maksimal karena memiliki kewenangan yang terbatas, seperti tidak dapat menangkap terduga teroris sebelum memiliki alat bukti yang cukup. Sementara, RUU Terorisme belum juga rampung.
Hal ini membuat Kapolri, Minggu (13/5/2018), mendesak Presiden Jokowi untuk menerbitkan Perppu Terorisme. Presiden Jokowi menyambut baik desakan tersebut dan mewacanakan menerbitkan Perppu jika RUU Terorisme tak rampung sampai Juni nanti.
Penulis: M. Ahsan Ridhoi
Editor: Dipna Videlia Putsanra