Menuju konten utama

Facebook & Instagram Down: Apa Sebabnya dan Kenapa Orang Protes?

Facebook dan beberapa layanan media sosial satu grupnya "down" pengguna pun mengeluh.

Facebook & Instagram Down: Apa Sebabnya dan Kenapa Orang Protes?
Siluet pengguna seluler terlihat di sebelah layar proyeksi dengan logo Facebook pada foto ilustrasi yang diambil 28 Maret 2018. ANTARA FOTO/REUTERS/Dado Ruvic/Illustration/File Photo

tirto.id - Facebook beserta layanan yang masih terkait seperti Instagram dan WhatsApp “down” tak bisa diakses penggunanya. Downdetector, layanan internet yang menginformasikan kondisi “kesehatan” suatu layanan internet, menyebutkan sulitnya mengakses Facebook terjadi kala pengguna sukar melakukan login hingga berkomentar atau mengunggah foto.

Kondisi ini terjadi di hampir semua wilayah operasional Facebook, mulai dari Amerika Serikat, Eropa, hingga Indonesia. Sebagaimana dilansir Associated Press, kejadian ini berlangsung mulai sejak Rabu (13/3/2019) atau pukul 12 siang waktu AS atau Kamis (14/3/2019) dini hari waktu Indonesia. Laman Developer Facebook kemudian mengatakan kondisi yang menimpa mereka disebut sebagai “pemadaman sebagian” dan Facebook mengakui bahwa mereka mengalami “kenaikan rasio kesalahan.”

Dari kondisi tersebut, para pengguna Facebook, Instagram, dan WhatsApp, menumpahkan uneg-uneg mereka di Twitter. Tagar #FacebookDown, #InstagramDown, dan #WhatsApp seketika menggema dan menjadi trending topic. Dan melalui Twitter pula, Facebook akhirnya buka suara. Mereka mengatakan “kami menyadari bahwa beberapa orang saat ini mengalami masalah dalam mengakses aplikasi-aplikasi dari keluarga Facebook. Kami sedang berupaya untuk menyelesaikan masalah sesegera mungkin.”

Perusahaan yang didirikan Mark Zuckerberg itu menegaskan bahwa masalah yang menimpa Facebook tak terkait dengan aksi peretasan, seperti serangan bertipe DDos atau denial-of-service yang lazim digunakan menyerang layanan-layanan internet oleh peretas.

Limbungnya Facebook, beserta platform lain yang berada dalam kendalinya, jelas merugikan perusahaan tersebut. Facebook, rata-rata, memperoleh pendapatan $4,83 per pengguna. Penghasilan tersebut diperoleh melalui iklan, yang dipersonifikasikan bagi tiap-tiap penggunanya. Atas kondisi buruk yang kini menimpa mereka, sebagaimana diwartakan Bloomberg, Facebook tengah berpikir kemungkinan mengembalikan biaya iklan yang telah disetor rekan bisnisnya.

Namun, kerugian nampaknya tidak hanya dialami pada diri Facebook. Pengguna pun nampak mengalaminya. Ini misalnya bisa dilihat dari begitu banyaknya pengguna Facebook, Instagram, dan WhatsApp, berkeluh soal kesukaran mereka mengakses layanan-layanan itu di Twitter. Tercatat, masing-masing ada lebih dari 500 ribu kicauan terkait Facebook dan Instagram. Ada 1,4 juta twit yang berkaitan dengan WhatsApp bergema melalui Twitter.

Komplain para pengguna tersebut menunjukkan bahwa media sosial macam Facebook sulit ditinggalkan para pengguna.

Mengapa media sosial yang gagal melindungi data pengguna terkait kasus Cambridge Analytica, dianggap sebagai medium penyebaran hoaks, sangat sukar ditinggalkan pengguna?

Jawabannya, pengguna Facebook, juga Instagram dan WhatsApp, telah kecanduan dan ketergantungan dengan media sosial itu.

Dilansir Statista, penggunaan media sosial terus meningkat tiap tahunnya. Pada 2012, rata-rata pengguna hanya menghabiskan 90 menit untuk bermain media sosial. Lima tahun berlalu, waktu bagi pemakai media sosial menggunakan media sosial bertambah 45 menit menjadi 135 menit tiap harinya. Dan Facebook, menjadi yang paling banyak dipakai masyarakat dunia. Media sosial yang bermula dari kamar asrama Harvard University itu, kini memiliki 2,3 miliar pengguna aktif di seluruh dunia.

Aja Romano, dalam tulisannya berjudul “How Facebook made it impossible to delete Facebook,” menyebut bahwa setidaknya ada tiga alasan yang membuat banyak orang sukar meninggalkan Facebook, dan mengeluh jika layanan tersebut tak bisa diakses seperti saat ini. Pertama, Facebook, melalui application programming interface (API), membuat data-data pengguna yang ada dalam genggamannya, dapat digunakan untuk turut mengakses layanan internet lain atau third party apps.

Dalam berbagai layanan internet, seperti Spotify atau Tinder misalnya, pengguna lazim mengakses layanan itu dengan fitur “Log In With Facebook.” Dalam tulisannya itu, Romano menyebut bahwa 50 juta pengguna Tinder, menggunakan layanan kencan tersebut menggunakan Facebook. Akibatnya, jika Facebook ditinggalkan, mereka akan kehilangan Tinder, atau layanan-layanan internet lain yang dihubungkan dengan Facebook.

Kedua, di era media sosial ini, Facebook merupakan kewajiban, yang diperlukan untuk pekerjaan hingga citra diri atau self-promote. Perusahaan-perusahaan sering meminta akun Facebook calon karyawannya untuk dilakukan screening. Atau, akun Facebook sering digunakan penggunanya untuk mempromosikan apa yang telah dikerjakan. Hal tersebut membuat Facebook jadi kebutuhan banyak orang.

Ketiga, Facebook menghubungkan “sangat banyak orang.” Dengan 2,3 miliar pengguna aktif di seluruh dunia, saudara, teman, hingga rekan bisnis, sangat mungkin jadi penggunanya. Jika seseorang berhenti menggunakan Facebook, maka ada potensi kehilangan kontak maya dengan orang-orang terdekat.

Selain tiga alasan itu, candu masyarakat atas media sosial disebabkan karena media sosial memang dirancang untuk membuat penggunanya kecanduan, terutama melalui fitur notifikasi. Fitur notifikasi pertama kali muncul pada 2003 pada smartphone buatan Research In Motion (RIM) atau BlackBerry. Pada perangkat BlackBerry, fitur notifikasi dalam aplikasi email. Sistem notifikasi pada BlackBerry memungkinkan pengguna tak perlu sering-sering masuk ke inbox email. Pengguna hanya perlu melihat notifikasi yang muncul, apakah layak untuk ditindaklanjuti atau sebaliknya.

Kini, fitur tersebut hadir di berbagai aplikasi, tak terkecuali aplikasi media sosial. Vox, dalam laporan “It’s not you. Phones are designed to be addicting” mengatakan bahwa notifikasi yang dikemas dengan tanda bulat merah berupa angka yang terletak di pojok kiri logo sebuah aplikasi, sebagai cara agar pengguna kecanduan atau penasaran.

Abhinav Mehrotra dari University of Birmingham dalam jurnalnya berjudul “My Phone and Me: Understanding People’s Receptivity to Mobile Notifications” menyatakan bahwa notifikasi memantik pengguna untuk memeriksa notifikasi.

Dalam jurnal itu, Mehrotra menyebutkan 41,94 persen dari 20 responden menyatakan mereka “terbangun” atas notifikasi berbentuk audio. Pada keadaan ponsel diam (silent mode), notifikasi “membangunkan” 25,54 persen penggunanya. Sementara itu, dalam mode bergetar (vibrate) dan bergetar dan bersuara (vibrate and sound), ada 21,50 persen dan 11,03 persen pemilik akhirnya memeriksa notifikasi.

Maka, dengan berbagai alasan dan rancang desain itu, tak heran bila banyak orang berkoar-koar ketika Facebook tidak bisa diakses penggunanya.

Baca juga artikel terkait FACEBOOK atau tulisan lainnya dari Ahmad Zaenudin

tirto.id - Teknologi
Penulis: Ahmad Zaenudin
Editor: Suhendra