tirto.id - Kemarahan Presiden Joko Widodo meluap dalam rapat kabinet di Istana Negara, 18 Juni lalu. Kepada para menteri, Jokowi marah-marah karena masih ada yang bersikap biasa saja di jajarannya menyikapi situasi krisis kesehatan dan ekonomi akibat pandemi COVID-19.
Menurut Jokowi tanpa sense of crisis mustahil bisa menghadapi situasi pandemi ke depan. Saat itu serapan anggaran kesehatan rendah dan dana insentif untuk tenaga kesehatan lambat disalurkan. Setelah marah-marah, baru ada progres penyerapan anggaran.
“Kita yang berada di sini bertanggung jawab kepada 267 juta penduduk Indonesia. Ini Tolong digarisbawahi, dan perasaan itu tolong kita sama. Ada sense of crisis yang sama,” kata Jokowi pidato yang diunggah sepekan setelah rapat di kanal Youtube.
Kemarahan Jokowi dimaknai sebagai tanda perombakan kabinet, karena secara jelas ia bicara reshuffle. Lebih dari sebulan setelah ancaman itu, tak ada menteri diganti.
Dari pidato tersebut, baru satu yang benar-benar terealisasi yakni pembubaran 18 lembaga negara. Ia mengemukakan alasan di balik pembubaran yakni sebagai bentuk keputusan extra ordinary menyikapi situasi pandemi. Lembaga tersebut juga dinilai sia-sia dan kementerian terkait kini menangani tugas dari lembaga itu.
Masih di bulan sama, Jokowi kembali marah-marah terkait lambatnya penyaluran dana santunan kepada tenaga kesehatan yang meninggal. Ia meminta penanganan Corona terkendali, bukan berjalan secara parsial dan mengedepankan ego sektoral.
Selama proses konsolidasi di kabinet, kasus Corona di masyarakat terus terjadi. Jokowi mengunjungi Jawa Tengah, salah satu provinsi dengan kasus terbanyak, pada akhir Juni. Di sana, Jokowi berbicara upaya karantina berbasis lokal di level rukun tetangga (RT) dan rukun warga (RW). Dalam praktiknya, karantina lokal belum berjalan dan COVID-19 terus bertambah.
Berbagai program penanganan Corona jadi sorotan Jokowi dalam rapat kabinet 13 Juli. Ia melihat masih ada daerah yang belum menggalakkan tes masif, pelacakan kontak secara agresif hingga perawatan. Saat rapat, Jokowi menyinggung rekor tertinggi dalam laporan harian mencapai 2.500 kasus.
Jokowi meminta agar saat itu bukan laporan atas kinerja penanganan Corona, melainkan langkah mencari solusi. “Saya harapkan nanti yang disampaikan adalah bukan laporan [tapi] apa yang harus kita kerjakan. Problem lapangannya apa,” kata Jokowi.
Marah Terkait Anggaran dan Birokrasi
Pemerintah merancang stimulus ekonomi untuk pemulihan akibat dampak COVID-19. Pada 27 Juli, Jokowi menyebut penyerapan dana stimulus sebesar Rp695 triliun, baru terserap 19 persen atau Rp136 triliun.
Rendahnya penyerapan stimulus, di antaranya terjadi pada sektor perlindungan sosial 38 persen, UMKM 25 persen, termasuk penempatan dana di Himbara Rp30 triliun.
“Di sektor kesehatan baru terealisasi 7 persen. Demikian juga untuk sektor pemerintah daerah juga baru terserap 6,5 persen. Insentif usaha 13 persen,” kata mantan Gubernur DKI Jakarta ini.
Ia meminta agar para menteri bekerja cepat dan optimal untuk menyerap dana. Di antaranya lewat Komite Penanganan COVID-19 dan Pemulihan Ekonomi.
“Saya ingatkan kalau masalahnya ada di regulasi, di administrasi, segera dilihat betul. Kalau memang regulasi ya revisi regulasi itu agar ada percepatan,” ungkap Jokowi sembari ingatkan Indonesia masih di situasi krisis akibat Corona.
Di hari berikutnya, Jokowi saat berpidato saat acara pendidikan TNI-Polri secara tak langsung melanjutkan kemarahannya pada prosedur birokrasi Indonesia yang lambat.
“Tata kelola pemerintahan kita semuanya memang harus berubah semuanya. Terlalu banyak peraturan yang membelenggu kita sendiri,” katanya.
Jokowi juga mengingatkan di tengah kerumitan birokrasi, ada ancaman badai ekonomi dunia akan terkontraksi minus 6 hingga minus 7,5. IMF, kata Jokowi, memproyeksikan di akhir 2020, pertumbuhan ekonomi 0,5 persen, termasuk tiga besar dunia setelah Cina dan India.
Lambatnya birokrasi penanganan Corona juga disinggung Jokowi pada 29 Juli saat pelantikan pamong praja muda dari IPDN. Saat krisis kesehatan, kata dia, diperlukan kerja cepat yang berorientasi pada hasil dan rakyat bisa langsung terkena dampak positifnya.
“Saya mengajak saudara dari cara kerja yang rumit, yang lambat, jadi cara kerja yang cepat. Dari regulasi yang banyak dan rumit ke regulasi yang sedikit dan sederhana. Dari SOP yang berbelit-belit ke SOP yang mudah dan sederhana,” ujarnya.
Jokowi menampik, nada bicara tinggi saat bicara bukan karena marah, melainkan memotivasi para menteri untuk bekerja lebih cepat.
"Oleh sebab itu saya minta para menteri untuk bekerja keras, tapi kalau mintanya dengan nada yang berbeda yang untuk memotivasi para menteri untuk bekerja lebih keras lagi, bukan marah, memotivasi agar lebih keras lagi bekerjanya," kata, melansir Antara.
Terkait perombakan kabinet, menurut peneliti CSIS Arya Fernandes, pertimbangan Jokowi harus berdasarkan evaluasi.
Menurut Arya, melalui evaluasi tersebut Presiden bisa segera mengganti menteri yang masih lambat dalam proses pencairan anggaran dan tidak mampu menjalankan program pemerintah secara cepat.
"Kalau ada menteri yang tidak punya sense of crisis, atau kerjanya lambat, 100 persen hak prerogratif presiden untuk mencopot, dan tugas Presiden untuk membereskannya," ujar Arya kepada Antara.
Reshuffle kabinet, kata dia, sebaiknya menjadi pembicaraan internal istana, bukan menjadi konsumsi publik yang bisa menjadi bola liar.
Ia menambahkan saat ini masyarakat lebih membutuhkan adanya efektivitas program untuk mengatasi COVID-19, baik melalui penyaluran bantuan sosial, kartu prakerja maupun berbagai subsidi serta relaksasi.
Editor: Abdul Aziz