Menuju konten utama

Evolusi Aplikasi pada Gawai Pintar

Hingga saat ini, berhasil tidaknya suatu sistem operasi bergantung pada ketersediaan aplikasi yang dapat dijalankan oleh sistem operasi tersebut. Kedigdayaan Apple dengan iOS dan terpuruknya Microsoft dengan Windows Mobile adalah bukti sahihnya.

Evolusi Aplikasi pada Gawai Pintar
Aplikasi WeChat Pada Nokia. [Foto/indianexpress.com]

tirto.id - Apalah arti sebuah gawai pintar jika ia tidak bisa menjalankan fungsinya. Dengan aplikasi-aplikasilah sebuah gawai pintar menjadi gawai pintar. Apple telah menikmati buah dari melimpahnya aplikasi dalam App Store mereka, yang membuat iPhone mereka menjadi salah satu gawai paling populer di dunia saat ini.

Hingga Juni tahun ini, App Store Apple telah memiliki lebih dari 2 juta aplikasi di dalamnya, hanya selisih sedikit di bawah Google dengan Google Play-nya yang memiliki sekitar 2,2 juta aplikasi, seperti dirangkum oleh Statista.

Dengan jumlah tersebut, bisa dibayangkan seberapa banyak hal yang berpotensi mampu dilakukan oleh sebuah gawai pintar Apple seperti iPhone dengan dukungan jutaan aplikasi itu. Hal masih ditambah dengan rata-rata peluncuran aplikasi tiap tahunnya pada sistem operasi ini yang terus meningkat dari tahun ke tahun.

Seperti dilaporkan Techcrunch, pada 2009 hanya ada sekitar 3.000 aplikasi baru dirilis per bulannya. Sementara pada 2016 ini, lebih dari 50.000 aplikasi baru telah dirilis per bulan, dan hal ini akan tampaknya terus meningkat.

Pertumbuhan itu tampak sebagai hal yang positif jika berkaca pada sistem operasi lain seperti Windows Mobile buatan Microsoft yang seolah hidup segan mati tak mau–yang membuat gawai pintar yang memakai sistem operasi itu menjadi tak laku. Namun ternyata, dibalik melimpahnya jumlah aplikasi tersebut, sering timbul masalah juga.

Soal pertama adalah masalah efektivitas. Banyaknya aplikasi akhirnya berujung matinya sistem operasi tersebut. Masalah kedua terkait dengan ketidakpraktisan. Hal yang sejatinya dihindari oleh para kreator gawai pintar manapun di dunia.

Jutaan aplikasi yang tersedia belum tentu digunakan secara merata. Ratusan aplikasi punya fungsi hampir serupa, dan semuanya memperebutkan tempat untuk berada dalam layar gawai pintar Anda.

Semakin tinggi suatu rating aplikasi dalam toko digital suatu sistem operasi, maka akan semakin besar pula kemungkinan aplikasi tersebut untuk muncul pada "etalase toko" untuk kemudian diunduh dan digunakan oleh para pengguna gawai.

Lantas bagaimana dengan aplikasi lainnya? Mereka yang tidak memiliki kesempatan untuk “muncul ke permukaan” akan ditinggalkan mati. Persaingan yang sangat ketat, bukan?

Menurut data Techcrunch, jumlah aplikasi yang terbengkalai di App Store iOS hingga akhir tahun 2015 mencapai angka lebih dari 1,5 juta. Turnover yang cepat dari para pengembang aplikasi (yakni sekitar dua hingga tiga bulan), dikombinasikan dengan tingkat peluncuran aplikasi yang begitu tinggi, telah membuat App Store menjadi kuburan harapan dan impian para pengembang aplikasi. App Store menjadi kuburan bagi aplikasi-aplikasi yang tak laku tersebut.

Masalah lainnya: aemakin banyaknya aplikasi yang diunduh, maka semakin banyak pula icon aplikasi pada layar gawai pintar Anda. Bayangkan betapa penuhnya layar jika terdapat 70 aplikasi yang Anda unduh.

Hal ini kemudian berujung pada ketidakpraktisan. Anda harus melakukan log in pada aplikasi A jika ingin memesan tiket pesawat, sementara Anda juga harus membuka aplikasi B untuk memesan makanan yang diinginkan, atau aplikasi C untuk melakukan pembayaran tagihan listrik Anda.

Masa depan Aplikasi

Sejumlah masalah tersebut tentunya memicu beberapa pemikiran yang kemudian berkembang, tidak hanya di kalangan para kreator aplikasi, namun juga dari pengembang sistem operasi. Dan saat ini, keadaan sudah mulai berubah. Aplikasi telah memulai evolusinya.

Di Cina, pergeseran tren itu sudah mulai dirasakan melalui aplikasi WeChat yang telah berkembang menjadi aplikasi super. Meskipun pertama kali dirilis pada Januari 2011 sebagai aplikasi berbagi pesan, suara, dan foto, WeChat saat ini telah menyediakan berbagai fungsi sehingga Anda dapat memesan taksi, membeli tiket film, bermain game, check-in untuk penerbangan, serta membayar tagihan melalui satu aplikasi saja. Daftar itu kemudian masih terus bertambah hingga saat ini.

Di Indonesia, fenomena itu sudah tidak asing dan dapat dilihat pada aplikasi Go-Jek. Dengan hanya membuka aplikasi tersebut, pengguna tidak hanya dapat memesan makanan, namun juga mampu membeli tiket pertunjukan. Hingga laporan ini ditulis, Go-Jek telah menyediakan 14 layanan dalam aplikasinya, termasuk penjualan pulsa telepon genggam.

"Dalam beberapa tahun, aplikasi individual mungkin akan masuk ke dalam [aplikasi] yang lebih besar. Perlu taksi? Di masa depan mungkin hal itu akan semudah membuka aplikasi kamera Anda," kata Charles Arthur, mantan editor teknologi The Guardian.

Infografik Masa Depan Aplikasi

Selain aplikasi super, terdapat pula asisten virtual seperti Siri buatan Apple, Google Assistant buatan Google dan Cortana besutan Microsoft.

Saat ini pelbagai Artificial Intellegence (AI) itu sudah mampu melakukan beberapa hal yang sebelumnya membutuhkan aplikasi terpisah, seperti fungsi melakukan pencarian di Internet, menemukan restoran terdekat, hingga mengidentifikasikan musik yang sedang diputar dan memesan kendaraan Uber.

Hal ini jelas membuat aplikasi berfungsi sama menjadi mubazir. Terlebih para asisten virtual itu terintegrasi dengan sistem operasi gawai pintarnya.

Ada pula chatbot dalam aplikasi pesan instan (contoh: Skype dan Telegram) yang mampu menjalankan fungsi-fungsi di luar pengiriman pesan seperti pencarian tiket pesawat (Skyscanner), permainan sederhana atau pemrosesan data dalam aplikasi tersebut.

Tapi transisi ini masih belum tampak pada aplikasi profesional seperti pengolah foto Photoshop atau pengolah video Adobe Premier. Namun, bukan tidak mungkin hal itu akan tercapai di masa depan. Aplikasi game berat mungkin menjadi satu dari sedikit aplikasi yang tidak terintegrasi di masa depan.

Melihat tren superaplikasi itu, bisa jadi kelak aplikasi-aplikasi "biasa" tidak akan menjadi faktor penting dari sukses tidaknya suatu gawai di masa depan. Lalu, bagaimana nasib dan kebebasan para pengembang aplikasi untuk berkreasi di masa depan jika semuanya semakin terintegrasi antara satu layanan dengan layanan lainnya?

Baca juga artikel terkait TEKNOLOGI atau tulisan lainnya dari Ign. L. Adhi Bhaskara

tirto.id - Teknologi
Reporter: Ign. L. Adhi Bhaskara
Penulis: Ign. L. Adhi Bhaskara
Editor: Maulida Sri Handayani