Menuju konten utama
22 Januari 2006

Evo Morales: Pemimpin Sosialis, Presiden Indian Pertama Bolivia

Jejak gerilya.
Angin mengersik dalam
rimbunan koka.

Evo Morales: Pemimpin Sosialis, Presiden Indian Pertama Bolivia
Ilustrasi Evo Morales. tirto.id/Gery

tirto.id - Hidup Juan Evo Morales Ayma adalah kisah perjuangan kaum adat melawan narasi besar yang mengancam eksistensi mereka.

Pada tanggal 22 Januari 2006 ia dilantik menjadi orang nomor satu pertama di Bolivia yang berasal dari suku asli setelah sebelumnya memenangi pemilihan presiden. Kekuasaan Morales dalam satu dekade berselang, melalui kemenangan di dua pilpres lanjutan, sukses mengubah wajah politik, ekonomi, hingga sosial Bolivia dalam taraf yang cukup radikal.

Morales lahir pada 26 Oktober 1959 di Isalawi, Distrik Oranoca Canton, Departemen Oriro, Bolivia sebelah Barat. Secara etnis ia keturunan Suku Aymara. Rumahnya khas berbentuk “adobe”, yakni rumah dengan material bangunan berbahan dasar organik, demikian paparan Martin Sivak dalam buku Evo Morales: The Extraordinary Rise of the First Indigenous President of Bolivia (2010).

Sebagai anak petani, Morales terbiasa membantu penanaman hingga panen atau menggembala Llama dan domba. Morales juga tumbuh sebagai penikmat permainan sepak bola. Pada tahun 1977-1978, ketika usianya menginjak 18 tahun, Morales menjalani wajib militer. Ia dikirim ke Resimen Cavaveri Keempat dan ditempatkan di markas tentara di ibukota Bolivia, La Paz. Tugasnya cukup berat sebab kebetulan saat itu Bolivia sedang tidak stabil akibat digoncang dua kali kudeta militer.

Saat kembali ke rumah, Morales menyaksikan kehancuran sebagaian besar lahan pertanian warga pasca kena badai El Nino. Oleh karena itu ia dan keluarga memutuskan pindah ke sebuah daerah bernama El Chapabre. Mereka memulai hidup baru dengan cara membuka lahan di wilayah hutan yang masih cukup perawan.

Wilayah El Chapare didominasi oleh lembah hutan hujan tropis yang dialiri Sungai Chapare sepanjang kurang lebih 278 km dengan muara di Amazon. Mulanya area tersebut tergolong tidak subur dan rawan bencana. Hingga pada pertengahan abad ke-20 El Chapare bak wilayah yang terlupakan.

Segalanya berubah usai revolusi bulan April 1952. Pemicunya adalah Gerakan Revolusioner Nasional (MNR), demikian menurut Nur Iman Subono dalam buku Dari Adat ke Politik: Transformasi Gerakan Sosial di Amerika Latin (2017).

Rezim baru mengeluarkan kebijakan reformasi agraria, salah satunya pembagian lahan untuk kaum tanpa tanah. El Chapare termasuk daerah yang menjadi tujuan kebijakan tersebut, sehingga melahirkan gelombang pendatang dan pemukiman baru. Salah satunya keluarga Morales.

Pada mulanya mereka menanam beragam komoditas seperti padi, jagung, pisang, dan koka (dalam jumlah terbatas). Panen tak memenuhi hasil maksimal karena tanahnya terlalu asam. Namun koka adalah pengecualian. Koka pun menjadi pilihan utama petani El Chapare karena tumbuh terus meski cuaca kurang mendukung. Harga di pasaran juga tinggi karena pada 1970-an harga kapas sebagai komoditas ekspor utama Bolivia jatuh.

Koka, terutama daunnya, makin berjaya karena di saat yang sama ia dipakai sebagai bahan baku obat terlarang bernama kokain. Namun permusuhan terhadap pertanian koka juga menggelora seiring lahirnya deklarasi perang pemerintah Amerika Serikat melawan kokain.

Morales menjadi salah satu tokoh paling terdepan dalam pembelaan terhadap budidaya koka, yang para antropolog pun setujui, berstatus sebagai salah satu elemen kultural dan identitas paling penting bagi orang-orang asli di El Chapare.

Morales didukung oleh serikat petani lokal. Para anggotanya telah membangun jaringan solidaritas yang kuat selama bertahun-tahun. Dengan demikian, mereka juga siap mempertahankan ladang penghidupannya dengan keras, dari siapapun, termasuk negara sekalipun.

“Apalagi jika kita lihat bahwa mayoritas petani yang bermigrasi ke wilayah El Chapare berasal dari etnik Aymara dan Quechua,” kata Nur Iman, di mana keduanya dikenal sebagai penduduk asli yang paling terikat secara komunal. Praktik budidaya koka bukan cuma sarana mempertahankan dapur agar tetap mengepul, namun juga dianggap sebagai “identitas kultural dan praktik religi”.

Serikat Petani Koka yang disebut Cocaleros menjadi organisasi utama Morales untuk mengawali perlawanan. Pada tahun 1980 rezim Jenderal Luis Garcia Meza berkuasa lewat kudeta dan bertindak kejam kepada petani koka. Para petani dituduh sebagai pengedar kokain. Mereka ada yang dipukuli hingga dibunuhi oleh tentara. Perkebunan koka dibakar. Ada sebagian yang dibeli. Morales juga sempat ditawari, namun ia tolak mentah-mentah.

Pada periode 1984-1994 pemerintah Bolivia kian represif. Mereka menjalankan sebuah kebijakan anti obat-obatan terlarang yang banyak disponsori oleh AS. Morales tak mau kalah. Ia makin giat menduduki kantor pemerintah lokal, memblokade jalanan, mogok makan, dan yang paling lazim, mengorganisir demonstrasi jalanan. Morales makin akrab dengan penangkapan, pun sekali-dua kali lolos dari percobaan pembunuhan.

Dalam catatan Harten Sven di buku The Rise of Evo Morales and the MAS (2011), Morales menegaskan bahwa daun koka sebagai simbol budaya masyarakat di Pegunungan Andes sedang terancam oleh opresi imperialis AS. Dalam pandangannya, AS semestinya bisa menghadapi masalah obat-obatan terlarang di negaranya tanpa perlu mengintervensi Bolivia.

“Aku bukan pengedar obat-obatan terlarang. Aku petani koka. Aku memanen daun koka sebagai produk alami. Aku tidak mengubahnya menjadi kokain, dan kokain maupun obat-obatan terlarang lain tak pernah menjadi bagian dalam kultur masyarakat Andes,” kata Morales sebagaimana dikutip BBC News. Dengan kata lain, menurut Morales, tanggung jawab masyarakat Andes berakhir saat daun koka sudah lepas di pasaran.

Morales menilai petani koka adalah korban dari elite sosial kota yang tunduk oleh kebijakan ekonomi neo-liberal a la AS. Demokrasi di Bolivia ia nyatakan sebagai kegagalan karena mayoritas masyarakat di negara itu pendukung budidaya koka. Di titik itu, Morales sadar bahwa jika ingin melakukan perubahan nyata, ia harus terjun ke dunia politik.

Morales memulainya dari tingkat paling lokal, di El Chapare. Awalnya ia sempat terganjal konsolidasi massa. Namun perjalanannya kian mudah serta bergairah setelah berkoalisi dengan partai maupun lembaga kiri Bolivia. Pada pertengahan 1990-an ia menang pemilu lokal di El Chapare, lalu namanya mulai diperhitungkan di wilayah yang lebih luas.

Ia kemudian membentuk Partai Gerakan untuk Sosialisme (MAS) dan mendeskripsikan diri sebagai “partai politik berbasis gerakan penduduk asli yang menyerukan nasionalisasi industri, legalisasi daun koka... dan distribusi sumber daya alam negara yang lebih adil,” demikian laporan In These Times.

Dibanding partai lain yang punya modal lebih melimpah, MAS lebih banyak mengandalkan relawan dan konsolidasi gerakan sosial di akar rumput. Mereka meraih popularitas dengan aksi-aksi protes kepada rezim maupun penguasa politik yang tak menjawab aspirasi warga Bolivia di daerah pedesaan atau kaum miskin kota.

infografik mozaik sang evo

Aktivis kiri termasuk barisan Morales di penjuru Bolivia menemukan momentum yang tepat saat konflik gas mencuat pada tahun 2003. Saat itu pemerintah memulai pivatisasi gas sehingga harganya melambung tinggi, sementara penjualan ke perusahaan-perusahaan AS dipatok harga yang lebih murah.

Protes berujung kerusuhan lahir di berbagai wilayah. Tekanan kepada pemerintah menguat, sementara sikap politik kiri Morales kian menarik perhatian warga yang kecewa dengan naiknya harga kebutuhan pokok. Merujuk pada hasil pemilihan daerah tahun 2004, MAS menjadi salah satu partai terbesar di Bolivia. Suara mereka dijaring dari wilayah pedesaan, sementara kaum kota terutama kalangan kelas menengah belum terlalu bersimpati.

Aksi protes yang menjalar melahirkan krisis di tubuh pemerintahan. Takut akan lahirnya perang sipil, Presiden Carlos Messa mengundurkan diri pada bulan Maret 2005. Ia digantikan Eduardo Rodriguez, presiden sementara yang bertugas untuk menyelenggarakan pemilihan umum.

MAS mengikuti pemilu pada bulan Desember di tahun yang sama dengan menggandeng Alvaro Garcia Linera sebagai calon wakil presiden. Linera adalah intelektual Marxist yang menjalin hubungan erat dengan Morales dan dianggap sebagai orang yang turut merumuskan ideologi politik Morales. Lawan utamanya adalah Jorge Quiroga dari partai sayap tengah-kanan Kekuatan Sosial dan Demokratik (PODEMOS).

Barangkali tak mengherankan jika selama kampanye Morales menjado korban kampanye hitam. Morales menjanjikan apa yang ia yakini dari dulu, yakni kebijakan berbasis sosialisme pro-penduduk asli. Baginya visi ini penting sebab 62 persen dari total populasi Bolivia adalah penduduk asli yang masih rajin dimarjinalisasi dan didiskriminasi. Di sisi lain, Quiroga menuduh Morales mempromosikan legalisasi kokain dan boneka Presiden Venezuela Hugo Chavez.

Masyarakat Bolivia kala itu sudah dewasa untuk menilai, bahwa kebijakan reformasi liberal yang dibawa Quiroga akan memperparah ekonomi Bolivia, terutama untuk kalangan ekonomi kelas bawah. Konsolidasi akar rumput MAS juga sukses menjaring lebih banyak pemilih. Dari 84,% pemilih, Morales memenangi 53,7 persen suara sementara Quiroga menempati posisi kedua dengan 28, persen, demikian menurut arsip Election Guide.

Kemenangan Morales menjadi kemenangan absolut pertama dalam 40 tahun terakhir. Pelantikannnya dihadiri oleh para politisi kiri Amerika Selatan: Chavez, Presiden Brazil Lula da Silva, dan Presiden Chile Ricardo Lagos, dan dimeriahkan ribuan rakyat Bolivia.

Dalam pidato pertamanya, Morales meminta para hadirin untuk mengheningkan cipta sejenak, selama satu menit, untuk mengenang pada “cocaleros” dan penduduk asli asal kaki Pegunungan Andes lain yang terbunuh dalam perjuangan menegakkan cita-cita bersama.

Baca juga artikel terkait BOLIVIA atau tulisan lainnya dari Akhmad Muawal Hasan

tirto.id - Politik
Reporter: Akhmad Muawal Hasan
Penulis: Akhmad Muawal Hasan
Editor: Ivan Aulia Ahsan