Menuju konten utama

Ekspedisi Balmis: Kampanye Vaksinasi Global Pertama Tundukkan Cacar

Pada 1803, raja Spanyol menginisiasi ekspedisi vaksinasi cacar ke penjuru koloni. Dikenang sebagai kampanye vaksinasi global pertama dalam sejarah.

Ekspedisi Balmis: Kampanye Vaksinasi Global Pertama Tundukkan Cacar
Lukisan Francisco Pérez yang menggambarkan Korvet María Pita membawa tim Ekspedisi Balmis berangkat dari pelabuhan La Coruña pada 1803. (sumber: amusingplanet.com)

tirto.id - Sejak 1824, sebuah patung gagah Raja Spanyol Carlos IV didirikan di bilangan Intramuros, Manila. Filipina memang pernah menjadi koloni Kerajaan Spanyol selama periode 1571-1898. Selain sebagai tengara kolonialisme, patung Raja Carlos IV juga menjadi simbol pengingat sebuah ekspedisi kesehatan penting di awal abad ke-19.

Ceritanya, pada 1803, dia menunjuk dan memerintahkan Francisco Xavier de Balmis untuk menyebarkan vaksinasi cacar ke seluruh koloni Kerajaan Spanyol. Ekspedisi yang kemudian lazim disebut Ekspedisi Balmis itu menyeberang Samudera Atlantik, singgah di Kepulauan Canary, menyusuri pulau-pulau di Laut Karibia, menjelajahi Amerika Tengah, hingga kemudian menyeberangi Pasifik.

Pada April 1805, Ekspedisi Balmis mencapai Filipina dan memvaksinasi sekira 20 ribu orang. Ekspedisi Balmis lalu disebut-sebut sebagai kampanye vaksinasi global pertama.

Inisiatif Raja Carlos IV

Vaksinasi sebetulnya adalah teknik medis kuno yang sudah dipraktikkan masyarakat Cina sejak seribuan tahun lampau. Mereka melakukannya dengan cara menghirup bubuk yang terbuat dari keropeng bekas cacar. Bisa juga dengan menorehkan nanah dari seorang penderita cacar ke orang sehat melalui sayatan kecil.

Teknik kuno ini lalu disaintifikasi oleh Dokter Edward Jenner dari Inggris. Pada 1796, mulai melakukan eksperimen vaksinasinya. Hasil eksperimen itu lantas dituangkannya dalam makalah yang dikirim kepada Royal Society dan diterbitkan pada 1798.

Pada mulanya, beberapa orang skeptis terhadap temuan Jenner itu. Tapi, pada 1802, 'vaksin'-nya didanai dan pengujiannya dalam ragam kondisi lain menunjukkan keberhasilan,” tulis Rene F. Najera, editor laman The History of Vaccines.

Salah satu pihak yang skeptis terhadap metode vaksinasi Dokter Jenner adalah Gereja Katolik Roma. Menurut otoritas Gereja Katolik, metode vaksinasi menyalahi etika moral manusia. Meski begitu, hasil kerja Dokter Jenner itu tetap dianggap sebagai terobosan medis penting.

Risalah penelitian Dokter Jenner terkait vaksinasi pun mendapat apresiasi positif di luar Inggris. Sekira setahun setelah risalah penelitian Dokter Edward terbit, Raja Carlos IV (1788-1828) mendapat salinannya. Kala itu, dia sedang dirundung malang gara-gara banyak anggota keluarganya yang terjangkit cacar.

Pada 1794, putri Raja Carlos yang bernama Maria Teresa meninggal gara-gara cacar saat umurnya baru tiga tahun. Carlos Franco-Paredes dkk. dalam studinya yang terbit di jurnal Clinical Infectious Diseases (2005) juga menyebut, Gabriel, saudara laki-laki Raja Carlos, dan saudara iparnya, Ratu Portugis Maria Ana Victoria, meninggal karena cacar.

“Semua peristiwa ini memicu Raja Carlos IV mengeluarkan Dekrit Kerajaan untuk penyediaan besar-besaran vaksin cacar di Spanyol pada 1800,” tulis Franco-Paredes.

Langkah ini jadi makin urgen karena tak lama kemudian wabah cacar merebak di koloni-koloni Spanyol di Amerika Latin. Raja Carlos IV pun membawa persoalan ini ke sidang Consejo de Indias alias Dewan Koloni. Seorang dokter istana pun merekomendasikan untuk mengirim tim khusus ke koloni untuk melakukan vaksinasi.

Pada 22 Maret 1803, rekomendasi itu diterima dan Dewan Koloni pun mengumumkan akan ada pengiriman ekspedisi vaksinasi ke Dunia Baru. Demi kelancaran misi ini, Raja Carlos IV pun bersedia menjadi sponsor utamanya.

Lalu, ditunjuklah Dokter Francisco Xavier de Balmis untuk memimpin ekspedisi vaksinasi ke Dunia Baru. Sejak lama, Dokter Balmis dikenal sebagai dokter yang berdediskasi. Dia juga pernah menjelajah Mexico untuk mengumpulkan tanaman dan teknik pengobatan herbal. Dia juga dianggap kompeten karena dialah yang menerjemahkan risalah penelitian vaksinasi yang disusun oleh sarjana medis Jaques-Louis Moreau de la Sarthe dari Perancis.

Ekspedisi Berangkat

Selaku direktur ekspedisi, Dokter Balmis dibantu oleh Joseph Salvany sebagai wakilnya. Bersama mereka ikut pula 3 asisten ahli bedah, 2 praktisi pertolongan pertama, dan 4 perawat.

Pada masa itu, mengangkut vaksin dalam botol memiliki resiko tinggi kerusakan karena belum ada teknologi penyimpanan dalam lemari pendingin. Jarak tempuh yang sangat jauh dan adanya perbedaan iklim juga dikhawatirkan akan mempersulit kerja tim ekspedisi.

Jadi, cara terbaik untuk membawa vaksin cacar dalam ekspedisi ini adalah dengan mengangkutnya dalam tubuh seseorang. Maka sebelum ekspedisi berangkat, disiapkanlah sebuah rencana pengembangan vaksin di geladak kapal.

Tekniknya cukup sederhana. Satu kelompok anak akan divaksinasi dan dibiarkan mengembangkan pustula cacar. Setelah itu, cairan dari pustula itu akan dikumpulkan untuk memvaksinasi kelompok berikutnya selama ekspedisi berjalan.

Para pembawa vaksin pertama dalam ekspedisi ini adalah 22 anak berusia 8 hingga 10 tahun yang belum divaksin dan tidak pernah mengalami gejala cacar. Mereka semua adalah anak yatim yang direkrut dari sebuah rumah sakit amal dan panti asuhan di Kota La Coruna.

Isabel de Zendala y Gomez, direktur panti asuhan itu, juga diajak serta dalam ekspedisi ini. Dialah yang bertanggung jawab merawat anak-anak pembawa vaksin itu selama perjalanan. Dia bahkan membawa serta putranya.

“Hal ini—seturut WHO—membuat Isabel kemudian dikenal sebagai perawat pertama yang ikut serta dalam misi kesehatan internasional. Tim Ekspedisi Balmis meninggalkan pelabuhan La Coruna pada 30 November 1803 dengan menggunakan korvet Maria Pita. Tujuan pertamanya adalah Kepulauan Canary,” tulis Najera.

Dari Kepulauan Canary hingga Filipina

Franco-Paredes dkk. menyebut, Dokter Balmis membawa pula 500 eksemplar terjemahan risalah Historical and Practical Treatise on the Vaccine susunan Moreau de la Sarthe. Risalah itu akan ditinggalkan di setiap koloni yang mereka kunjungi nantinya.

Kerja vaksinasi ini tentu saja bukan kerja mudah bagi tim pimpinan Dokter Balmis yang kuantitasnya tak seberapa. Maka selain menyebarkan vaksin, tugas Dokter Balmis adalah membentuk komisi vaksinasi lokal di setiap koloni. Lalu, buku itulah yang akan jadi pedoman bagi petugas-petugas di komisi lokal.

“Sesuai keputusan perencana ekspedisi, komis vaksinasi lokal ini punya beberapa tugas: pertama, mendidik masyarakat tentang manfaat vaksin. Kedua, memproduksi vaksin lokal dari bahan virus cacar sapi. Ketiga, mengelola vaksin. Keempat, mendokumentasikan proses imunisasi. Dan, terakhir, mengembangkan sistem surveilans untuk mencegah wabah memburuk,” tulis Franco-Paredes dkk.

Infografik Ekspedisi Vaksinasi Balmis

Infografik Ekspedisi Vaksinasi Balmis. tirto.id/Fuad

Ekspedisi Balmis tiba di tujuan pertamanya, Kepulauan Canary, pada Desember 1803. Dari sana, tim lalu menyeberangi Samudra Atlantik menuju ke Benua Amerika. Pada Februari 1804, tim Balmis mendarat di Puertoriko.

Dari Puertoriko yang ternyata telah mendapatkan vaksin lebih dulu itu, Ekspedisi Balmis lantas menuju Venezuela. Pada Maret 1804, mereka tiba di Venezuela dan mendapat sambutan hangat dari masyarakat di sana. Di titik inilah kemudian tim ekspedisi dipecah menjadi dua kelompok.

Dokter Balmis menempuh rute utama menuju Kuba, Meksiko, dan kemudian Filipina. Sementara itu tim kedua yang dipimpin Salvany melanjutkan perjalanan ke Kolombia, Ekuador, Peru, dan Chile.

Di Meksiko, Balmis berhasil memberikan vaksin kepada 100.000 anak-anak dan mendirikan pusat vaksinasi sebelum berangkat ke Filipina. Di Meksiko ini pula tugas 22 anak pembawa vaksin cacar pertama berakhir.

“Para yatim piatu Spanyol diadopsi oleh keluarga Meksiko, dan 26 anak laki-laki Meksiko menggantikan mereka untuk penyeberangan Pasifik,” tulis National Geographic (Agustus 2020).

Di Filipina, mengalami kerepotan gara-gara penolakan vaksin oleh Gereja setempat. Uskup Agung Manila terang-terangan menolak vaksin. Kebuntuan akhirnya terselesaikan setelah Gubernur Jenderal Rafael Aguilar memutuskan untuk memvaksinasi kelima anaknya.

Langkah Gubernur Jenderal Aguilar itu berhasil membuat masyarakat percaya pada vaksinasi. Uskup Agung pun akhirnya ikut menyetujui vaksinasi. Setelah itu, sekira 20.000 anak di Manila di vaksinasi.

Nasib Dokter Balmis kurang mujur di Filipina. Dia mengalami masalah pencernaan dan memutuskan untuk pulang lebih awal pada Juli 1806. Sebelum itu, Dokter Balmis sempat singgah untuk beberapa waktu di Macau dan Canton untuk mendistribusikan vaksi cacar.

Di tengah perjalan pulang ke Spanyol, Dokter Balmis singgah pula di Saint Helena di Atlantik bagian selatan. Di daerah yang dikuasai Inggris itu, sekali lagi, Dokter Balmis mendistribusikan vaksin kepada masyarakat lokal.

Aksinya itu kemudian dikenang sebagai salah satu tengara kesuksesan ekspedisi filantropi kerajaan ini. Pasalnya, hubungan politik antara Spanyol dan Inggris sedang tidak baik-baik saja. Aksi Dokter Balmis menunjukkan bahwa misi kemanusiaan ini berhasil menembus batasan konflik politik dan ideologi antarnegara.

Dokter Balmis diterima kembali di Spanyol oleh Raja Carlos IV pada September 1807. Di hari tuanya, dokter Balmis menetap di Madrid sampai meninggal pada 1819.

Baca juga artikel terkait VAKSIN atau tulisan lainnya dari Tyson Tirta

tirto.id - Kesehatan
Penulis: Tyson Tirta
Editor: Fadrik Aziz Firdausi