Menuju konten utama

Ekonomi RI Minus 5,32%, Program Perlindungan Sosial Harus Dibenahi

Penurunan konsumsi rumah tangga merupakan sinyal bagi pemerintah untuk segera mengevaluasi program perlindungan sosial dalam upaya penanganan COVID-19.

Ekonomi RI Minus 5,32%, Program Perlindungan Sosial Harus Dibenahi
Pedagang menimbang dagangannya di Pasar Senen, Jakarta, Senin (4/5/2020). ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay/pras.

tirto.id - Ekonomi Indonesia pada kuartal II 2020 mengalami kontraksi sebesar 5,32 persen. Konsumsi rumah tangga sebagai komponen terbesar sumber pertumbuhan ekonomi Indonesia menjadi penyumbang penurunan terbesar yaitu -2,96 persen yang diikuti oleh investasi sebesar -2,73 persen.

Adapun secara kumulatif, ekonomi Indonesia terkontraksi sebesar 1,26 persen jika dibandingkan dengan semester I 2019, demikian data yang disampaikan Badan Pusat Statistik (BPS) pada Rabu, 5 Agustus 2020.

Direktur Eksekutif The PRAKARSA Ah Maftuchan menilai penurunan konsumsi rumah tangga merupakan sinyal bagi pemerintah untuk segera mengevaluasi program perlindungan sosial dalam upaya penanganan COVID-19.

Ia berkata, jaminan penghasilan semesta (universal basic income) yakni bantuan tunai tanpa syarat bagi semua warga dapat menjadi alternatif dalam menggenjot konsumsi rumah tangga.

“Jaminan penghasilan semesta bisa diberikan kepada seluruh warga usia produktif dan lansia selama minimal 3 bulan dengan nilai Rp 500-600 ribu tiap bulannya,” kata Maftuchan dalam katerangan tertulis yang diterima Tirto, Kamis (6/8/2020).

Di samping itu, kontraksi pada pertumbuhan pengeluaran pemerintah juga cukup mengejutkan. Rahmanda Muhammad Thaariq, Peneliti Ekonomi, The PRAKARSA mengatakan, anjloknya pengeluaran pemerintah di angka 6,9 persen pada kuartal kedua tahun ini adalah yang terburuk selama satu dekade terakhir.

“Kondisi ini mengindikasikan bahwa saat ini isu kebijakan fiskal belum cukup ekspansif. Kementerian/Lembaga dan pemerintah daerah dan pemerintah desa harus eksekusi belanja pemerintah.” ujar Rahmanda,

Pemerintah perlu lebih serius dalam mereformasi tata cara percepatan eksekusi belanja baik di tingkat pusat maupun daerah dan desa agar pertumbuhan ekonomi tidak kembali negatif pada kuartal ketiga dan keempat.

Oleh karena itu, kata dia, pemerintah perlu berkonsentrasi pada bagaimana membuat kebijakan fiskal ekspansif efektif dalam mengungkit pertumbuhan ekonomi Indonesia. Pertama, membuat belanja pemerintah tereksekusi sedini mungkin dan berkualitas. Kedua, arahkan bantuan sosial dalam bentuk tunai dan menyasar kepada semua warga.

Jika pemerintah masih mengedepankan pendekatan targeting, maka kepada kelompok rumah tangga dengan pendapatan ekonomi menengah juga harus dimasukkan sebagai sasaran. Terlebih, berdasarkan laporan World Bank, terdapat 115 juta Aspiring Middle Class (calon kelas menengah) yang rentan jatuh miskin lagi (Jamila).

Rahmanda berkata, sebagian besar dari kelompok ini hanya memiliki tingkat konsumsi rata-rata per bulan antara Rp2-4,8 juta rupiah. Selain itu, sebagian besar dari mereka merupakan pekerja informal sehingga tidak memiliki jaminan sosial dan sering kali tidak tercakup oleh bantuan sosial dari pemerintah.

Ia berkata, rencana pemerintah memberikan bantuan tunai kepada kelompok pekerja formal dengan gaji di bawah Rp 5 juta perlu diapresiasi, meski hal ini berpotensi “mengekslusi” kelompok pekerja informal. “Maka pendekatan semesta menjadi solusi yang paling tepat,” kata dia.

Selain itu, kata dia, besaran dan durasi belanja pemerintah atau bantuan sosial harus bersifat fleksibel di mana dapat disesuaikan kembali apabila aktivitas perekonomian masih belum bergairah.

Baca juga artikel terkait PERTUMBUHAN EKONOMI atau tulisan lainnya dari Abdul Aziz

tirto.id - Ekonomi
Penulis: Abdul Aziz
Editor: Maya Saputri