Menuju konten utama

Efek Kekerasan Aparat terhadap Demonstran Usia Anak: Fisik & Psikis

KPAI menuding, Polri tak memiliki SOP untuk menghadapi demonstran usia anak.

Petugas gabungan kepolisian dan TNI mengamankan ribuan pelajar yang akan mengikuti aksi unjuk rasa ke Gedung DPR di Mapolres Metropolitan Tangerang, Tangerang, Banten, Senin (30/9/2019). ANTARA FOTO/Muhammad Iqbal/ama.

tirto.id - Bekas luka masih terlihat jelas di tubuh anak-anak yang dikirim polisi ke Panti Sosial Marsudi Putra (PSMP) Handayani, Pasar Rebo, Jakarta Timur. Mereka ditangkap saat ada di lokasi demonstrasi—baik turut serta atau hanya sekadar lewat—beberapa waktu lalu.

Ada yang matanya lebam hingga menyipit, ada pula yang dahinya luka dan masih basah, juga luka sayat yang terlihat masih basah di punggung. Jika tak berkelakar kepada petugas medis, reporter Tirto yang datang pada Jumat (4/10/2019) pekan lalu mungkin terus-terusan ngilu melihat kondisi mereka.

Seorang anak, sebut saja Bejo, mengaku luka-lukanya karena digebuki Brimob. “Waktu itu saya ditangkap sama polisi preman yang nyamar, terus saya dibawa, terus saya dipukulin sama Brimob.”

Dan mereka hanya sebagian kecil korban kekerasan aparat. Beberapa mahasiswa mengaku penganiayaan terus berlanjut bahkan di Polda Metro Jaya, meski Dirkrimum Polda Metro Jaya Kombes Suyudi Ario Seto sebetulnya pernah mengatakan kalau “semua proses pemeriksaan dilakukan secara profesional dan proporsional.

Sementara yang dilarikan ke rumah sakit, kata Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), pada 25 September 2019 di RS Mintoharjo malam jumlahnya mencapai 164 anak.

Kepala Bidang Penanganan Kejahatan terhadap Kekayaan Negara dari Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Kemenko Polhukam) Adhi Satya mengatakan kekerasan polisi memang “mungkin bisa terjadi pada anak-anak yang ikut dalam unjuk rasa tersebut.” Di Gedung KPAI, Jakarta Pusat, Rabu (2/10/2019), ia mengaku belum mendapat informasi apa pun soal ini dari polisi.

Sementara Kapolri Jenderal Tito Karnavian, pada Kamis (26/9/2019) lalu, sempat mengatakan kalau aparat “berhak melindungi diri” saat menghadapi “demo anarkis” yang dilakukan oleh “perusuh.”

Lulusan Akpol 1987 yang paling cepat menyandang pangkat bintang empat ini juga bilang kalau para perusuh tersebut “sengaja memancing emosi aparat untuk bertindak lebih keras lagi. Sehingga korban diskenariokan.”

Namun bagaimanapun, kekerasan terhadap anak tidak diperbolehkan. Salah satu yang mengkritik cara polisi menangani anak-anak ini adalah KPAI. Komisioner KPAI Retno Listyarti mengatakan semestinya polisi tidak menggunakan pendekatan kekerasan saat menangani demonstran anak—mereka yang belum berusia 18 tahun.

Apalagi, katanya melalui keterangan tertulis yang diterima Tirto, Kamis (26/9/2019), “anak-anak ini sebagian besar hanya ikut-ikutan dan diduga kuat korban eksploitasi pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.”

Dia curiga aparat di lapangan menangani anak dengan cara yang sama seperti mereka menangani orang dewasa. Ia juga menduga “SOP untuk menghadapi demonstrasi anak nampaknya belum dimiliki kepolisian.”

Komisioner KPAI yang lain, Sitti Hikmawatty, mengatakan salah satu alasan kenapa anak-anak ini tidak boleh diperlakukan kasar karena “fisik mereka masih dalam fase tumbuh kembang.”

Dia juga mendesak polisi untuk membikin semacam protokol penanganan anak saat aksi. Soalnya, bukan tak mungkin kejadian serupa terulang. “Kita lihat di beberapa negara maju, anak di bawah umur pun bisa melakukan demo,” Sitti menegaskan.

Atas semua alasan ini, KPAI meminta polisi lebih menekankan diversipengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar itu sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

Diversi penting, kata Kepala PSMP Handayani Neneng Heryani, karena mereka “masih sekolah, masa depannya masih panjang.”

Juga Psikis

Ketua Satgas Perlindungan Anak Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Eva Devita Harmoniati menegaskan anak-anak ini tak hanya terluka secara fisik, tapi juga sangat mungkin psikis.

“Dampak terhadap psikis pun sama, bisa berdampak sangat berat apabila tekanan dari aparat berlebihan. Namun bisa juga memicu agresivitas yang lebih lagi pada para pelajar yang mengalami tekanan pada saat aksi,” Eva menjelaskan kepada reporter Tirto saat dihubungi Jumat (4/10/2019) lalu.

Pernyataan ini selaras dengan keterangan Fatimatuzahra, psikolog anak-anak yang dikirim ke PSMP Handayani.

Ima, demikian dia biasa disapa, mengatakan anak-anak ini tidak trauma, tapi, “lebih ke kesal ke aparat.” “Kalau trauma, kan, efeknya lebih ke takut. Ini lebih kesal dipukulin, atau kenapa harus ngaku [berbuat rusuh] padahal dia enggak melakukan.”

Karena itu Eva meminta selain pengobatan fisik, anak-anak ini juga mendapat pendampingan psikis.

“Pendampingan oleh psikolog atau guru BK (Bimbingan Konseling) di sekolah masing-masing untuk mendeteksi apakah ada dampak psikis yang perlu penanganan lebih lanjut di RS atau tidak,” pungkasnya.

Baca juga artikel terkait DEMO PELAJAR atau tulisan lainnya dari Fadiyah Alaidrus

tirto.id - Hukum
Reporter: Fadiyah Alaidrus
Penulis: Fadiyah Alaidrus
Editor: Widia Primastika