tirto.id - Sebuah unggahan terkait waktu kedaluwarsa vaksin COVID-19 produksi Sinovac Biotech, CoronaVac, yang jatuh pada Maret 2021, beredar di Facebook. Informasi ini dibagikan oleh akun Facebook 'Merah Putih Arya' (arsip) dan akun 'Tifauzia Tyassuma', masing-masing pada 15 Maret dan 17 Maret 2021.
Akun 'Merah Putih Arya' menulis vaksin Sinovac diproduksi sejak dua tahun lalu dan menyimpulkan masa kedaluwarsanya dua tahun. Teori lain disampaikan oleh akun 'Tifauzia': ada kemungkinan negara penghasil vaksin telah mengetahui soal COVID-19 jauh sebelum pandemi; masa kedaluwarsanyanya jatuh pada Maret 2021 dan vaksin ini tidak menjalani uji klinis tahap 1, 2, dan 3. Akun ini juga menulis vaksin AstraZeneca kemungkinan diproduksi pada 2019 karena masa kedaluwarsanya Mei 2021.
Penelusuran Fakta
Juru bicara vaksinasi COVID-19 Siti Nadia Tarmizi dari Kementerian Kesehatan, dalam konferensi pers virtual pada 16 Maret 2021, menerangkan apa yang disebut sebagai kedaluwarsa vaksin yang dipahami publik sebenarnya batas masa simpan (shelf life) vaksin COVID-19.
"Kita ketahui semua vaksin COVID-19 itu vaksin jenis baru sehingga masa simpan yang akan diterbitkan sesuai data-data yang ada," ujar Siti Nadia.
Vaksin tahap 1 ini diproduksi pada September-November 2020 dengan masa simpan dari produsen selama tiga tahun atau hingga 2023. Kemudian, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), yang mengeluarkan izin penggunaan darurat (Emergency Use Authorization/EUA), menerima data stabilitas produk selama 6 bulan. EUA pun dibatasi dengan masa simpan 6 bulan saja.
Masa kedaluwarsa ini bukannya dipercepat begitu saja, tapi didasarkan pada prinsip kehati-hatian. BPOM tidak begitu saja menerima klaim produsen, tapi harus mendasarkan data stabilitas produk.
Dari prinsip kehatian-hatian ini, demi memastikan keamanan dan khasiat vaksin, BPOM menentukan masa simpan vaksin Sinovac sebanyak 1,2 juta yang datang pada Desember 2020 jatuh pada 25 Maret 2021, ujar Siti Nadia. Sementara 1,8 juta dosis vaksin yang dikirim pada Januari 2021 ditentukan masa simpannya sampai Mei 2021.
Menurut dokumen World Health Organization (WHO) yang diterbitkan pada 2006 berjudul "Guidelines on Stability Evaluation of Vaccines" atau panduan untuk evaluasi stabilitas vaksin, masa kedaluwarsa diartikan sebagai estimasi waktu akhir sebuah produk vaksin untuk tetap sesuai spesifikasinya, dengan catatan vaksin tersebut disimpan dengan cara yang direkomendasikan. Penentuannya menambahkan periode masa simpan pada tanggal pembuatan.
Shelf-life atau masa simpan, menurut dokumen yang sama, ditentukan oleh studi stabilitas dari jumlah kiriman tertentu dari produk vaksin tersebut.
Stabilitas vaksin dan shelf-life, tanggal kedaluwarsa, dan kondisi penyimpanan, harus ditentukan berdasarkan hasil dari studi stabilitas secara real time atau langsung, menurut dokumen tersebut.
Beberapa waktu lalu, juru bicara vaksinasi COVID-19 dari Bio Farma, Bambang Heryanto, menyatakan masa kedaluwarsa vaksin COVID-19 Sinovac pada kemasannya tertulis sampai 2023. Sementara, percepatan masa simpan selama 6 bulan adalah hasil evaluasi BPOM.
Dengan masa simpan yang pendek, Kementerian Kesehatan mencatat 1,2 juta dan 1,8 juta dosis vaksin telah habis digunakan untuk vaksinasi tenaga kesehatan dan petugas pelayanan publik.
Lalu vaksin mana yang saat ini digunakan Indonesia?
Siti Nadia menjelaskan Indonesia menggunakan vaksin Sinovac yang dikirimkan dalam bentuk setengah jadi, yang kemudian diproses oleh Bio Farma menjadi vaksin COVID-19. Vaksin ini digunakan untuk vaksinasi tahap kedua bagi lansia dan petugas pelayanan publik.
Pernyataan Siti Nadia dikonfirmasi pula dalam siaran pers di Setkab.go.id, menerangkan bahan baku vaksin COVID-19 produksi Sinovac sejumlah 15 juta dosis telah tiba di Indonesia pada 12 Januari, yang telah diproses dan selesai produksinya pada 11 Februari 2021. Sementara untuk kedatangan tahap kedua sebanyak 10 juta dosis pada 2 Februari, produksinya dimulai pada 13 Februari dan diharapkan selesai pada 20 Maret 2021.
Sebagai tambahan, bahan baku yang diterima pada Februari merupakan bagian dari 140 juta dosis vaksin untuk tahun 2021, yang dikirim secara bertahap hingga Juli 2021.
Sementara mengenai waktu pembuatan vaksin Sinovac, dalam keterangan kinerja perusahaan kuartal ketiga tahun lalu, pengembangan vaksin COVID-19 baru dilaksanakan pada 28 Januari 2020. Selanjutnya, Sinovac mengadakan tiga fase uji klinis di China dan negara-negara lain seperti Indonesia dan Brazil. Hasil dari uji klinis pertama dan kedua telah dipublikasikan di jurnal The Lancet Infectious Diseases pada November 2020.
Sementara mengenai AstraZeneca, Siti Nadia menjelaskan Kementerian Kesehatan masih menunggu BPOM terkait beberapa laporan kasus di luar negeri di mana beberapa orang yang menerima vaksin ini mengalami pembekuan darah.
“Kita menunggu dari BPOM, apakah ada perubahan kriteria penggunaan, jadi kita paralel menyelesaikan quality control sebelum didistribusikan," ujar Siti Nadia.
Sebagai informasi, BPOM telah menerbitkan EUA vaksin AstraZeneca pada 9 Maret 2021. Namun, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menyatakan penggunaan vaksin AstraZeneca ditunda untuk sementara waktu menunggu rekomendasi dari WHO dan BPOM terkait dugaan efek samping penggunaannya.
(Kamis kemarin, 18 Maret, badan regulator kesehatan Eropa, European Medicines Agency (EMA), menyatakan vaksin AstraZeneca tidak berhubungan dengan naiknya risiko penggumpalan darah. Negara-negara seperti Jerman, Perancis, Italia, dan Spanyol memutuskan melanjutkan vaksinasi AstraZeneca, seperti dilansir oleh BBC.)
Kesimpulan
Berdasarkan penelusuran fakta di atas, kesimpulannya tidak benar vaksin CoronaVac yang diproduksi Sinovac dan vaksin COVID-19 yang diolah Bio Farma dari Sinovac telah diproduksi jauh sebelum pandemi. BPOM menetapkan masa kedaluwarsa vaksin berdasarkan masa simpan (shelf life) saat uji klinis. Informasi yang beredar di media sosial Facebook bersifat salah sebagian (partly false).
==============
Tirto mengundang pembaca untuk mengirimkan informasi-informasi yang berpotensi hoaks ke alamat email factcheck@tirto.id. Apabila terdapat sanggahan ataupun masukan terhadap artikel-artikel periksa fakta maupun periksa data, pembaca dapat mengirimkannya ke alamat email tersebut.
Editor: Farida Susanty