tirto.id - Saat mengunjungi warga Ciracas, Jakarta Timur akhir Oktober lalu, calon gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan berjanji jika dirinya terpilih sebagai gubernur pada pemilihan kepala daerah (Pilkada) DKI tahun depan, maka warga dipastikan akan mendapatkan layanan dua kartu sakti pendidikan sekaligus, yaitu Kartu Indonesia Pintar (KIP) dan Kartu Jakarta Pintar (KJP).
Selama ini, warga Jakarta tidak dapat menikmati fasilitas KIP karena Gubernur DKI (non aktif) Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok melarang beredarnya KIP di ibukota. Pernyataan mantan menteri pendidikan dan kebudayaan (mendikbud) ini memancing polemik, bahkan Djarot Saiful Hidayat dan Ahok langsung angkat bicara, memberikan klarifikasi.
Ahok dan Djarot kompak mengatakan, pihaknya tidak melarang warga menerima KIP. Pemerintah DKI hanya memberikan pilihan kalau sudah dapat KJP tidak boleh menerima KIP, begitu juga sebaliknya. Secara kebetulan warga yang ber-KTP Jakarta, ternyata lebih memilih KJP yang notabene adalah program pemerintah daerah, daripada KIP sebagai program pusat melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Sementara warga yang menerima KIP mayoritas adalah warga penyangga ibukota, seperti Bekasi, Depok, dan Tangerang yang kebetulan sekolah di Jakarta. Artinya, Dinas Pendidikan DKI tetap menyalurkan program pemerintah pusat berupa KIP pada siswa yang berhak menerimanya.
Anies Baswedan pun mengklarifikasi ucapannya. Ia mengatakan, program KIP sudah masuk di Jakarta saat dirinya menjabat sebagai mendikbud. Namun, mantan rektor Universitas Paramadina itu tetap mempersoalkan Peraturan Gubernur (Pergub) DKI Nomor 174 tahun 2015 yang melarang penerima KJP mendapatkan KJP.
Karena itu, Anies tetap bersikukuh jika terpilih sebagai gubernur DKI, maka ia akan mengubah Pergub tersebut sehingga warga boleh mendapatkan kartu sakti pendidikan secara bersamaan alias dobel.
Dua Kartu Sakti Produk Jokowi
Sejatinya antara KJP dan KIP memiliki fungsi dan akar yang sama. Keduanya merupakan program pemerintah di bidang pendidikan yang bertujuan membantu keluarga miskin agar bisa menyenyam pendidikan mulai tingkat dasar hingga SMA/SMK atau sederajat.
Di sisi lain, KJP dan KIP juga merupakan produk kebijakan yang dicanangkan Joko Widodo (Jokowi). KJP diperkenalkan Jokowi pada saat mencalonkan diri sebagai gubernur DKI Jakarta tahun 2012, sedangkan KIP adalah program pemerintah yang diluncurkan Jokowi setelah terpilih sebagai Presiden ke-7 pada tahun 2014.
Dalam konteks ini, secara spirit antara KJP dan KIP sebenarnya sama. Tak heran, jika saat kampanye pemilihan presiden 2014 lalu, banyak pihak menilai program KIP yang diperkenalkan Jokowi adalah copy paste dari program KJP yang telah berhasil ia jalankan di Jakarta.
Apa yang membedakan? Terdapat perbedaan metode dalam penyeleksian penerima dari kedua kartu sakti ini. Jika KJP menggunakan seleksi berdasarkan data kemiskinan faktual, yaitu apa yang nyata di masyarakat yang dipresentasikan melalui tampilan siswa di mata para wali kelas, maka KIP menggunakan data berdasarkan sensus dari Badan Pusat Statistik (BPS). Hal ini, dapat dilihat dari beberapa persyaratan untuk memperoleh kartu tersebut.
Selain persyaratan penerima, besaran dana antara kedua kartu tersebut juga berbeda. Misalnya, bagi peserta didik SD/MI/Paket A mendapatkan Rp 450.000 tiap tahunnya. Kemudian peserta didik SMP/MTs/Paket B mendapatkan Rp 750.000 tiap tahunnya, dan peserta didik SMA/SMK/MA/Paket C mendapatkan Rp 1.000.000 tiap tahunnya.
Pencairan dana KIP ini diberikan tiap enam bulan sekali atau per semester. Penggunaan dana KIP ini salah satunya untuk membantu biaya pribadi peserta didik, seperti membeli perlengkapan sekolah atau kursus, uang saku dan biaya transportasi, biaya praktik tambahan serta biaya uji kompetensi.
Sementara, besaran dana KJP dibagi menjadi empat kategori, yaitu alokasi dana per bulan, pencairan dana rutin tiap tanggal 10 per bulan, pencairan dana berkala I, dan tambahan SPP untuk swasta perbulan. Masing-masing siswa pemegang KJP tersebut menerima dana dari empat kategori ini.
Misalnya, untuk tingkat SMA/MA/SMALB alokasi dana per bulan sebesar Rp375.00, pencairan dana rutin tiap tanggal 10 per bulan sebesar Rp200.000, pencairan dana berkala Rp500.000, serta tambahan SPP untuk swasta per bulan sebesar Rp290.000.
Berdasarkan data di atas, maka dapat dilihat bahwa jumlah dana bantuan pendidikan antara KIP dan KJP lebih besar KJP. Maka tak heran jika warga Jakarta lebih memilih KJP daripada KIP.
Realisasi KJP Vs KIP
Secara resmi, KJP diluncurkan pada 1 Desember 2012 oleh Jokowi saat menjabat sebagai gubernur DKI. Pada tahap pertama, Jokowi membagikan sebanyak 3.013 KJP. Awalnya, KJP berisikan dana sebesar Rp240.000 yang ditransfer oleh pemerintah DKI setiap bulan kepada peserta didik yang berhak menerimanya.
Saat itu, peserta dapat menarik tunai dana KJP melalui rekening Bank DKI untuk membayar sekolah dan membeli peralatan sekolah. Namun, pembayaran tunai tersebut pada praktiknya kerap disalahgunakan. Dana KJP yang seharusnya untuk pendidikan justru kerap dibuat untuk menutupi kebutuhan lain.
Karena itu, pada saat Ahok naik menjadi gubernur menggantikan Jokowi yang resmi menjadi Presiden, ia membuat kebijakan baru soal KJP ini. Salah satu kebijakannya adalah dana bantuan KJP tidak bisa ditarik tunai, sehingga pemerintah dapat mengawasi penggunaannya.
Dalam konteks ini, dana KJP hanya dapat digunakan untuk belanja di toko perlengkapan pendidikan bermesin EDC Bank DKI atau jaringan Prima (BCA) dengan menggunakan Kartu ATM KJP. Dana KJP juga tidak dapat ditarik tunai baik di teller maupun ATM. Selain itu, dana yang belum digunakan tidak akan hangus dan akan menjadi tabungan siswa.
Kepala Dinas Pendidikan DKI Jakarta, Sopan Adrianto mengatakan, selama dua tahun terakhir ini pihaknya terus melakukan pengecekan terhadap data siswa penerima KJP. Saat ini, seluruh data siswa yang diterima telah diperiksa dan diteliti kembali, sehingga tidak ada data ganda maupun data palsu.
Berdasarkan data Dinas Pendidikan DKI, jumlah peserta didik penerima KJP pada 2014 mulai dari tingkat SD hingga SMA mencapai 573.089 siswa. Sementara jumlah penerima KJP pada 2015 mengalami penurunan menjadi 561.408 siswa. Kemudian, jumlah penerima KJP tahap pertama tahun 2016 mencapai 531.007 siswa.
“Bila dibandingkan dengan 2014 dan 2015, data jumlah siswa penerima KJP tahun 2016 sudah mulai stabil. Berarti, tidak ada lagi pemalsuan maupun penggelembungan data. Dengan kata lain, data sudah akurat,” ujarnya seperti dikutip Antara.
Sementara itu, menurut data Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menyebutkan, realisasi penerima KIP pada tahun 2015 berjumlah 20.371.842 siswa, dengan rincian 17.920.270 siswa mulai dari tingkat SD hingga SMA/SMK di bawah naungan Kemendikbud, dan 2.451.572 siswa di bawah naungan Kemenag.
Sejatinya KJP dan KIP memiliki tujuan yang sama, sebagai bentuk hadirnya pemerintah agar masyarakat yang tidak mampu bisa mengenyam pendidikan minimal sampai tamat SMA/SMK dengan dibiayai pemerintah. Apapun yang dipilih entah KIP ataupun KJP, yang terpenting adalah bagaimana pemerintah mampu mewujudkan mimpi anak-anak Indonesia untuk terus bersekolah. Syukur-sukur jika masyarakat bisa mendapatkan dua pilihan.
Penulis: Abdul Aziz
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti