Menuju konten utama

DSC: Disrupsi Berbuah Akuisisi

Langkah bisnis Unilever mengakuisisi Dollar Shave Club (DSC), sebuah perusahaan penyedia silet, membuktikan bahwa barang konsumsi ternyata juga bisa terdisrupsi dari sisi rantai distribusinya. Selain itu, produsen barang konsumsi pun memerlukan untuk mendekatkan diri ke pelanggan secara daring. Akuisisi ini diharapkan dapat meningkatkan kompetensi Unilever dalam bidang hubungan dengan pelanggan di dunia digital.

DSC: Disrupsi Berbuah Akuisisi
avatar dwinanda s

tirto.id - Baru-baru ini Unilever melakukan akuisisi terhadap Dollar Shave Club (DSC), sebuah perusahaan penyedia silet (produk yang biasa digunakan untuk mencukur janggut atau kumis), di mana pelanggannya mendapatkan produknya dengan cara berlangganan. Nilai akuisisi tersebut terbilang fantastis apabila dilihat dari sisi DSC, yaitu sekitar USD 1 milyar. Di samping itu, nilai akuisisi yang besar, yaitu hampir 5 kali proyeksi pendapatan DSC di 2016, membuat akuisisi DSC oleh Unilever menjadi menarik. Menurut analis seperti dikutip Harvard Business Review, nilai DSC sebenarnya adalah sekitar USD 630 juta, meskipun sebenarnya dari sisi Unilever, nilai tersebut relatif kecil, yaitu hampir mendekati 1/60 dari pendapatan Unilever di 2015 yang sekitar USD 60.4 milyar atau sekitar EUR 53.3 milyar.

Disrupsi oleh Dollar Shave Club

DSC mendisrupsi pasar alat cukur janggut atau silet dengan mengeluarkan layanan penjualan silet berlangganan dengan harga murah. DSC didirikan pada 2011 oleh Michael Dubin. DSC meluncurkan mereknya dan mulai menjual layanan silet berlangganan pada 2012. Perusahaan tersebut telah mencapai pendapatan lebih dari USD 150 juta atau lebih dari IDR 2 triliun apabila menggunakan kurs IDR 13.500 untuk USD 1, pada 2015, atau pada tahun ke-5 sejak didirikan. Fantastis bukan. Lalu pelajaran apa yang bisa kita petik dari Dollar Shave Club?

Pertama, pasar alat cukur janggut yang notabene merupakan barang konsumsi biasa dan bukan produk yang padat teknologi seperti layaknya telepon seluler ternyata juga bisa terdisrupsi. Barangkali sebagian dari kita termasuk saya menganggap bahwa strategi bersaing sebuah barang konsumsi seperti pisau cukur atau silet adalah dengan mengembangkan produk sehingga fitur yang ditawarkan semakin lengkap atau semakin baik. Strategi lain adalah memperkuat jaringan distribusi sehingga masyarakat pengguna mudah memperolehnya termasuk menjual melalui e-commerce.

Namun ternyata pendatang baru berhasil mendisrupsi pasar dengan menawarkan produk yang relatif mirip dengan produk yang ditawarkan oleh pemain lama tetapi dengan harga sangat murah, yaitu berkisar dari USD 1 per bulan sampai dengan USD 9 per bulan untuk varian tertinggi sudah termasuk ongkos pengiriman. Bandingkan dengan produk Gillette sebagai pemimpin pasar, dengan kategori sama seperti varian tertinggi DSC, yang harganya sekitar $28.99. Jauh lebih murah produk DSC. Produk ini dijual menggunakan sistem berlangganan. DSC mampu menjual produk yang murah karena DSC mengimplementasikan model bisnis yang baru, di mana DSC menghilangkan rantai distribusi yang berlapis-lapis, yaitu dengan langsung mengirim produk ke pelanggan.

Hal ini sebenarnya bukan sesuatu yang baru mengingat Dell, pabrikan komputer juga sudah pernah melakukannya sebelumnya, yaitu dengan menerima pesanan komputer dari pengguna dan langsung mengirimkan dari pabrik. DSC tidak mempunyai pabrik pembuatan silet sendiri tetapi membeli dari perusahaan Korea, Darco. Untuk pengirimannya, DSC juga mempercayakan sebuah perusahaan di Kentucky. Dua hal ini yang membuat operasi DSC menjadi relatif efisien karena tidak perlu membuat inventori sendiri dan tidak perlu mengeluarkan biaya tetap yang tinggi.

Pelajaran kedua adalah bahwasanya keberhasilan DSC mendisrupsi pasar pisau cukur disebabkan inefisiensi pada pasar pisau cukur. Hal ini ditunjukkan oleh fakta bahwasanya pasar didominasi oleh pemain besar seperti Gillette. Pada tahun 2011, Gillette menguasai lebih dari 60% pasar silet di Amerika Serikat dan dunia. Hal ini membuat posisi Gillette relatif aman dalam menetapkan harga produknya. Ini yang ditangkap oleh Michael Dubin sebagai kesempatan, dengan menyasar konsumen yang sensitif terhadap perbedaan harga, yaitu pria yang berusia sekitar dua puluh tahunan.

Pelajaran ketiga adalah bahwasanya Michael Dubin menjual produk yang tidak laku dijual secara dalam jaringan (daring online). Seperti dikutip dari Businessinsider.com, hanya 8% pisau cukur dibeli secara daring melalui internet. Apabila pengguna pisau cukur lebih nyaman membeli melalui e-commerce, barangkali DSC tidak sesukses sekarang.

Pelajaran keempat adalah bahwasanya DSC menerapkan program pemasaran yang tepat dimulai dari peluncuran produk dengan merilis video melalui Youtube sampai dengan menciptakan pengalaman bagi pengguna (customer experience). Video yang digunakan menggunakan tata cara dan penyampaian yang benar-benar disesuaikan dengan target pengguna produk pisau cukur DSC yaitu pria yang berusia sekitar dua puluh tahunan. Tak heran dalam waktu 2 kali 24 jam semenjak peluncurannya, DSC menerima 12.000 order.

Kemudian DSC juga memberikan garansi penggantian barang apabila ada kerusakan tanpa harus mengirim kembali. Meskipun DSC memberikan produknya kepada pengguna dengan pengiriman, namun DSC juga mencoba memberikan pengguna sensasi bahwa mereka diterima di sebuah ‘club’ eksklusif dengan memberikan kartu ucapan “Welcome to The Club” pada saat pelanggan menerima produknya, sehingga pengguna bisa merasa sebagai bagian dari komunitas DSC dengan selera yang unik.

Jadi kesimpulannya adalah mendisrupsi pasar tidak selalu harus dengan produk baru, perubahan model bisnis yang memungkinkan biaya rendah pada proses produksi sehingga harga produk menjadi jauh lebih murah bisa menjadi opsi yang efektif seperti halnya yang dilakukan Dollar Shave Club maupun perusahaan lain seperti maskapai penerbangan berbiaya rendah seperti Air Asia pada industri penerbangan. Menurut survei yang dilakukan oleh The Economist pada 2005, lebih dari 50% eksekutif yang menjadi responden menyatakan bahwa inovasi model bisnis lebih penting daripada inovasi pada produk dan jasa.

Akuisisi DSC oleh Unilever

Seperti disebutkan di atas bahwa pada pertengahan 2016, Unilever mengakusisi DSC. Tindakan Unilever tersebut dinilai tepat mengingat beberapa alasan. Pertama, Unilever ingin melengkapi portofolio produknya di kategori perawatan tubuh seiring meningkatnya permintaan perawatan tubuh di Amerika Serikat. Seperti dikutip dari statista.com, terdapat peningkatan belanja perawatan tubuh dari USD 16.4 per unit pelanggan di 2011 menjadi USD 18,69 per unit pelanggan di 2014. Portfolio produk Unilever bergeser dari makanan ke perawatan tubuh. Pada tahun 2008, proporsi pendapatan Unilever dari perawatan tubuh adalah sebesar 28%, lebih kecil dari makanan yang sebesar 35%. Pada tahun 2015, proporsi pendapatan Unilever dari perawatan tubuh adalah sebesar 38% kemudian makanan sebesar 24%.

Unilever melengkapi portofolio produknya untuk kategori perawatan tubuh untuk memperkuat posisinya dalam persaingan dengan rivalnya yaitu P&G. Dengan mengakuisisi DSC, maka Unilever memperoleh 60% pangsa pasar pisau cukur berlangganan dibandingkan dengan Gillete Shave Club yang dimiliki oleh P&G, yang hanya menguasai 5% pangsa pasar. Pangsa pasar pisau cukur berlangganan sendiri di US adalah sekitar 11% dari pasar pisau cukur secara keseluruhan.

Alasan kedua barangkali adalah mencegah pihak yang berpotensi menjadi lawan atau kompetitor menjadi bertambah besar. Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa pemain baru tidak selalu muncul sebagai produk kompetitor atau rival, tapi tak jarang dari produk pengganti (substitusi) atau produk yang masuk pada segmen tertentu. Seiring berjalannya waktu, produk tersebut dapat menjadi rival terhadap petahana dengan strategi up-selling (menjual produk sejenis dengan kualitas lebih bagus kepada segmen pelanggan atau pengguna yang menghendaki) atau cross selling (menjual produk yang terkait dengan pisau cukur seperti krim untuk mencukur janggut atau produk perawatan tubuh lain). Unilever mengantisipasi DSC yang bertambah besar kemudian melakukan cross selling seperti halnya menjual produk perawatan tubuh yang lain sehingga mengambil pangsa pasar Unilever.

Ketiga adalah bahwasanya Unilever menyadari bahwa terdapat pergesaran pada industri barang konsumsi. Pergeseran pertama adalah terkait dengan layanan berlangganan untuk beberapa barang konsumsi. Selain dari pemain baru seperti Dollar Shave Club, retailer semacam Amazon juga menawarkan layanan berlangganan untuk beberapa produk terutama yang bisa dilakukan isi ulang atau penggantian berkala. Ancaman ini ditambah dengan penggunaan label peritel sendiri yang memungkinkan produk dijual dengan harga yang lebih murah.

Hal ini sekali lagi membuktikan bahwa barang konsumsi ternyata juga bisa terdisrupsi, yaitu dari sisi rantai distribusinya. Pergeseran kedua adalah bahwasanya produsen barang konsumsi pun memerlukan untuk mendekatkan diri ke pelanggan secara daring Akuisisi DSC diharapkan dapat meningkatkan kompetensi Unilever dalam bidang hubungan dengan pelanggan di dunia digital.

*) Isi artikel ini menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya.