tirto.id - Berbanding terbalik dengan sikap Barrack Obama, Donald Trump adalah presiden Amerika Serikat yang dikenal gigih menolak isu pemanasan global. Politisi yang pernah menyebut pemanasan global sebagai berita bohong itu mendapat tekanan dari para pemimpin lainnya untuk menghormati Kesepakatan Paris 2015 tentang pengendalian emisi karbon.
Di bawah tekanan dari Kelompok Tujuh (Group of Seven/G7), Trump mendukung janji untuk melawan proteksionisme pada Sabtu (27/5/2017), namun menolak menyokong kesepakatan iklim global. Ia mengatakan bahwa dia butuh lebih banyak waktu untuk memutuskan.
Trump mengatakan bahwa dia akan mencuit lewat akun Twitternya tentang keputusan ini pekan depan. Namun keengganannya terlibat dalam kesepakatan global pertama yang secara hukum mengikat yang ditandatangani 195 negara itu tampak jelas mengganggu Kanselir Jerman Angela Merkel.
"Keseluruhan diskusi mengenai iklim sangat sulit, kalau bukan sangat tidak memuaskan. Tidak ada indikasi apakah Amerika Serikat akan tetap ikut dalam Kesepakatan Paris atau tidak," katanya kepada para pewarta dan sebagaimana dikutip Reuters.
Sementara Presiden Prancis Emmanuel Macron tetap berprasangka positif. Ia mengatakan dirinya yakin bahwa Trump, yang dia sebut sebagai pemimpin yang "pragmatis" , akan mendukung kesepakatan itu setelah mendengarkan pandangannya di forum G7.
"Hanya beberapa pekan lalu, orang berpikir Amerika Serikat akan menarik diri dan bahwa perundingan tidak memungkinkan," kata Macron, yang seperti Trump, baru pertama kali ini menghadiri forum G7.
Di sisi lain Merkel sudah 12 kali menghadiri pertemuan yang sama. Ia pernah dilanda skeptisisme soal perubahan iklim dalam pertemuan tahun 2007 ketika ia bertemu George W. Bush, mantan presiden AS yang seperti Trump juga dari Partai Republik. Kala itu Merkel dan G7 mengupayakan pemangkasan substansial emisi gas rumah kacanya, dan ia sukses meyakinkan Bush.
Pertemuan negara-negara kaya G7 menghadapkan Trump dengan Jerman, Prancis, Inggris, Italia, Kanada dan Jepang mengenai beberapa isu dan para diplomat Eropa frustasi kembali harus menghadapi pertanyaan yang mereka harap sudah selesai.
Para diplomat menekankan bahwa ada kesepakatan luas mengenai berbagai masalah kebijakan luar negeri, termasuk perbaruan ancaman untuk menjatuhkan sanksi ekonomi lebih lanjut pada Rusia jika campur tangan negara itu di negara tetangganya, Ukraina, tetap dilanjutkan.
"Kami puas dengan bagaimana semua berjalan," kata Perdana Menteri Italia Paolo Gentiloni, meski ia mengakui adanya perpecahan dengan Washington dalam beberapa hal.
"Kami tidak menyembunyikan keterbelahan ini. Itu sangat jelas muncul dalam pembicaraan kami," imbuhnya.
Sementara itu Trump menyebut pertemuan itu sebagai "pertemuan yang sangat produktif". Dia menyatakan sudah memperkuat ikatan dengan mitra-mitra lama AS itu, demikian dilaporkan ulang oleh Antara.
Penulis: Akhmad Muawal Hasan
Editor: Akhmad Muawal Hasan