Menuju konten utama

DLH Bersihkan Tahi Kawanan Burung di Dekat Malioboro dengan Hujan

"Kita sudah dua kali bersihkan, sulit kalau hanya pakai alat, harus alam artinya harus dengan bantuan hujan."

DLH Bersihkan Tahi Kawanan Burung di Dekat Malioboro dengan Hujan
Aspal dan trotoar di sepanjang Jalan Mayor Suryotomo, Ngupasan, Yogyakarta yang dipenuhi bercak-bercak putih tahi burung Sriti dan Kuntul pada Jumat (23/11/2018). tirto.id/ Dipna Videlia Putsanra.

tirto.id - Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Yogyakarta memanfaatkan hujan untuk membersihkan tahi burung yang menempel di aspal sepanjang Jalan Mayor Suryotomo, Ngupasan, Yogyakarta. Menurut Kepala Seksi Penanganan Sampah, Haryoko, jika tak menggunakan bantuan hujan, tahi akan sulit dibersihkan.

"Kita sudah dua kali bersihkan, sulit kalau hanya pakai alat, harus alam artinya harus dengan bantuan hujan. Kalau hanya manual dan pakai alat saja agak sulit, apalagi kondisi jalan padat dan sebagainya," ujar Haryoko pada reporter Tirto, Jumat (23/11/2018).

Menurut Haryoko, burung yang bertengger di kabel, pohon, serta bangunan tua di sepanjang Jalan Mayor Suryotomo itu didominasi jenis burung Sriti dan Kuntul. Sriti lebih banyak berada di bangunan tua dan kabel, sementara Kuntul ada di pohon-pohon besar di sekitar perempatan Gondomanan.

Haryoko melanjutkan, daerah sekitar situ dulunya banyak terdapat bangunan tua yang jadi tempat peternakan burung Walet. Namun, perkembangan Walet agak terhambat jika ada Sriti, oleh karena itu Sriti kemudian diusir dan pindah ke Titik Nol Kilometer atau di sekitar Gedung Bank Indonesia.

"Kalau ada burung Walet pasti ada burung Sriti, tapi perkembangan Walet akan terhambat kalau banyak Sriti, kemudian karena Sriti juga enggak laku, yang laku Walet, lalu pada banyak yang mengungsi ke Titik Nol [Km] di dekat kantor pos, mencok-nya [hinggapnya] di situ dulu," tutur Haryoko.

Namun, karena tahi burung Sriti juga mengganggu aktivitas dan mengotori daerah sekitar BI, BNI, dan Kantor Pos Indonesia yang berada di Titik Nol, burung-burung itu kemudian diusir lagi dan kini kembali menempati kabel-kabel di sepanjang Jalan Mayor Suryotomo, atau lebih tepatnya di Perempatan Gondomanan ke utara.

Sementara, burung Kuntul datang dari daerah sawah-sawah di pinggiran ring road. Kuntul tinggal di pohon-pohon besar di dekat Taman Budaya dan sekitar Toko Progo. Menurut Haryoko, tahi burung Kuntul baunya lebih menyengat dan lebih sulit untuk dibersihkan karena ukurannya yang cukup besar.

Haryoko mengaku tak tahu pasti mengapa Sriti dan Kuntul betah hinggap di Jalan Mayor Suryotomo. Namun Haryoko memprediksi, hal itu mungkin disebabkan karena Kali Code yang sedang tenang dan bersih, sehingga mereka bisa cari makan di sana.

Selain itu, di sebelah barat Hotel Melia Purosani, atau sekitar 400 meter utara Perempatan Gondomanan, ada habitat burung Gelatik yang memang sengaja dikembangkan.

"Sebelah barat Melia dikembangkan Gelatik, sengaja dan itu terbuka dan itu berkembang di sana, ada kemungkinan mereka merasa ada temannya di situ dibiarkan dan tidak diganggu, jadi ya mereka ke situ," ujar Haryoko.

Ia menambahkan, bukan sekali ini saja lembaganya berurusan dengan tahi burung Sriti dan Kuntul. Sekitar 3 tahun lalu, pihaknya juga membersihkan tahi burung yang banyak ditemukan di sekitar di Titik Nol. Selang kemudian, sekitar Juli 2018 atau sesaat setelah Lebaran, burung-burung itu muncul lagi tapi kali ini mereka memilih untuk berada di sekitar Perempatan Gondomanan.

"Di Perempatan Gondomanan itu yang banyak, karena memang mereka nyamannya di situ, sejak zaman dulu sih, sejak saya kecil. Tapi karena di situ sudah tidak banyak bangunan tua, jadi mereka hinggapnya di kabel-kabel," kata Haryoko.

Namun, Haryoko tidak bisa memastikan siklus burung Sriti dan Kuntul ini, berapa kali mereka akan kembali dan kapan bermigrasi. Ia hanya fokus pada pembersihan tahinya saja.

Meski begitu, Haryoko menyebut lembaganya hanya bisa mengurus tahinya tapi tidak hewannya, padahal banyak komplain dari masyarakat yang menyayangkan keberadaan Sriti di sepanjang jalan yang membuat pengendara was-was akan kejatuhan tahi.

Haryoko pun menyebut belum ada koordinasi lebih lanjut dari Pemerintah Kota Yogyakarta mengenai burung-burung ini. Ia hanya menangani karena sebatas memiliki alat-alat kebersihannya saja.

"Sering ada komplain, tapi kategorinya hewan jadi enggak masuk kategori sampah, jadi mungkin larinya ke Dinas Pertanian, bukan sampah. Tapi karena yang punya peralatan sini jadi ya kita yang bersihin," tutur Haryoko.

Lebih lanjut, ia merasa tak berhak untuk mengusir burung-burung itu sebab habitat mereka di sana. Untuk itu, ia berharap ada koordinasi dengan pemkot dan masyarakat sekitar Gondomanan untuk menangani efek negatif dari keberadaan burung, yaitu tahi yang mengotori jalan.

"Bisa jadi itu siklus yang berulang tapi enggak pasti berapa tahun sekali, kalau mereka di situ, diganggu mereka pergi lagi, kalau di situ diganggu lagi, mereka pindah lagi, makanya biarin aja di situ, nanti kalau ada yang terganggu nah bagaimana supaya diusahakan," ujar Haryoko.

Ia memprediksi burung-burung itu akan pergi saat puncak musim hujan, sekitar Desember atau Januari, meski tak menutup kemungkinan Sriti dan Kuntul akan kembali hinggap di habitatnya lagi.

Puluhan ribu burung yang didominasi Sriti dan Kuntul hinggap di sekitar kabel, pohon, dan bangunan tua di sepanjang Jalan Mayor Suryotomo. Berdasarkan pengamatan reporter Tirto, tahi burung paling banyak ditemukan di Perempatan Gondomanan, menuju ke utara Jalan Mayor Suryotomo hingga 400 meter sampai ke Hotel Melia Purosani.

DLH Kota Yogyakarta membersihkan tahi burung itu dengan bantuan air hujan dan mobil road sweeper. Salah satu pengendara motor yang kerap lewat Perempatan Gondomanan, Yogi (23) mengatakan pada reporter Tirto, ia kini lebih berhati-hati jika melewati Perempatan Gondomanan.

"Kalau ada jalan lain, pilih jalan lain sih. Jadi agak berhati-hati kalau lewat situ," ujarnya pada Tirto, Jumat (23/11/2018).

Baca juga artikel terkait YOGYAKARTA atau tulisan lainnya dari Dipna Videlia Putsanra

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Dipna Videlia Putsanra
Penulis: Dipna Videlia Putsanra
Editor: Maya Saputri