tirto.id -
Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (Dirjen EBTKE) Rida Mulyana mengaku pernah menerima proposal pembangunan pembangkit listrik yang diajukan anggota Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia, Dewie Yasin Limpo.
“Bu Dewie hanya menyampaikan 'ini perkenalan Pak Rida', lalu ke saya 'ini Kepala Dinas ESDM (Kabupaten) Deiyai' yang membutuhkan listrik. Lalu proposal diserahkan secara formal ke Pak Menteri (Sudirman Said), itu rapat kerja 30 Maret,” kata Rida dalam sidang pemeriksaan saksi di pengadilan tindak pidana korupsi (Tipikor) Jakarta, Senin (21/3/2016).
Rida bersaksi untuk terdakwa dalam kasus ini yaitu Dewie Yasin Limpo dan stafnya Bambang Wahyuhadi yang didakwa menerima suap sebesar 177.700 dolar Singapura (sekitar Rp1,7 miliar) dari Kepala Dinas ESDM Kabupaten Deiyai Irenius Adii dan pemilik PT Abdi Bumi Cendrawasih Setiady Jusuf.
“Pemberian itu sah Pak, memang tidak diberikan langsung ke saya, tapi lewat surat ke kantor,” Rida menambahkan.
Menurut Rida, dirinya kadang suka menerima sejumlah proposal pengajuan pembangunan pembangkit listrik dari berbagai daerah di Indonesia.
“Sering sih tidak, tapi kan beliau-beliau (anggota DPR) harus memperjuangkan aspirasi daerah, dan sistem harus tetap bekerja,” ujarnya.
Namun, lanjut Rida, proposal tersebut ditolak. Pasalnya, lanjut Rida, menurut bawahannya, yaitu Direktur Energi Baru Terbarukan Marice Hutapea tidak memenuhi syarat karena tidak mengikutsertakan studi kelayakan dan Detailed Engineering Design (DED).
"Menurut Bu Marice, proposal kurang memenuhi syarat jadi proposal dikembalikan. Proposal itu untuk pembangkit listrik tenaga mikro hidro. Ada beberapa persyaratan seperti studi kelayakan, studi teknis, pernyataan ketersediaan lahan, kesanggupan pengelolaan, tapi yang paling prinsipal 'visibilities studies' itu tidak ada," kata dia.
Anggaran 2016 untuk Ditjen PJTKE sendiri adalah Rp2,15 triliun.
“Tapi BU Dewie tidak pernah menjanjikan sesuatu ke saya, kalau pun ada tidak pernah saya terima,” tegas Rida.
Kepala Subdit EBTKE Ida Mulyatin Finahari mengaku bahwa Irenius juga mengajukan proposal yang diajukan pertama kali pada 12 Mei 2015 dan yang kedua diajukan pada sekitar September 2015.
“Pertama diajukan 12 Mei, Juni dievaluasi, Agustus lalu kami buat jawaban bahwa proposal tidak bisa diterima karena kurang penetapan sesuai Peraturan Menteri ESDM No 20 tahun 2012 (tentang Pelaksanaan Kegiatan Fisik Pemanfaatan Energi Baru dan Terbarukan), kemudian Deiyai kirim lagi sekitar September dan kami memberikan jawaban kami baru memberikan jawaban lagi 19 Oktober dengan jawaban yang sama yaitu belum bisa dianggarkan karena persyaratan belum dipenuhi karena proposal hanya berupa hasil survei saja," kata Ida yang menjadi saksi dalam sidang yang sama.
Menurut Ida, proposal yang diajukan oleh Irenius itu bercampur-campur.
"Proposal yang diajukan seperti gado-gato, ada PLTS (pembangkit listrik tenaga surya), campur aduk dengan PLTD (pembangkit listrik tenaga diesel), ada PLTMH (pembangkit listrik tenaga mikro hidro). Angkanya beda-beda untuk anggaran yang berbeda-beda, ada yang minta APBN, APBN Perubahan dan DAK (Dana Alokasi Khusus) 2016," ungkap Ida.
Sedangkan Sekretaris Direktur EBTK Erick Ta'dung mengungkapkan bahwa tidak ada anggaran untuk membangun pembangkit listrik di Deiyai.
"Pak Dirjen Rida Mulyana dalam rapat kerja pernah menanyakan apakah ada anggaran pengadaan pembangkit listrik tenaga mikro hidro di Deiyai tahun 2015. Saya cek di laptop tidak ada, lalu saya sampaikan ke atasan saya, Erik Hendrawan (Sekretariat Direktorat Jenderal EBT dan Konservasi) lalu atasan saya sampaikan ke Dirjen," ungkap Erick.
Atas perbuatan tersebut, Dewie, Bambang dan Rinelda didakwa pasal 12 huruf a pasal 11 UU No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo pasal 64 ayat 1 KUHP dengan hukuman maksimal 20 tahun penjara dan denda paling banyak Rp1 miliar.(ANT)