tirto.id - Hari-hari Melanie Parker, seorang arsitek sekaligus orang tua tunggal dari anak laki-lakinya Sammy, dimulai dengan berbagai kepelikan. Pada satu hari, ia tergesa-gesa untuk mengantar anaknya berangkat studi tur, tapi sial, mereka kadung terlambat mengejar kapal yang membawa para siswa.
Di tengah cuaca buruk pagi itu, Melanie berlarian menggandeng Sammy beranjak ke tempat kerjanya lantaran sang putra sedang tak bisa dititipkan ke tempat mantan suami. Bukan pilihan sengaja atau disukai Melanie membawa Sammy ke lingkungan profesionalnya. Namun, tanggung jawab sebagai ibu membuat Melanie terpaksa membiarkan anaknya turut serta ke kantor.
Aneka rintangan pun dihadapi Melanie saat membuat pilihan yang sulit. Dimulai dari ucapan sinis dari resepsionis kantor tempatnya bekerja. Kegaduhan terjadi saat Melanie membawa maket ke ruang rapat dan tersandung tasnya sendiri karena menghindari mainan Sammy yang berserakan di lantai kantornya. Sang atasan Melanie pun tampak ‘alergi’ dengan kehadiran anak kecil di lingkungan kantor sehingga perempuan itu harus berpura-pura tak mengenal Sammy.
Cuplikan cerita film One Fine Day ini bisa jadi familier bagi sebagian orang. Kepelikan dan kewalahan yang dihadapi orang tua yang bekerja saat membawa anak ke kantor bukanlah rekaan semata pembuat drama yang dibintangi Michelle Pfeiffer dan George Clooney ini, melainkan sepetik cerminan dari realitas sosial yang ada.
Sukarmi misalnya, seorang komisioner Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) sempat jadi sorotan beberapa waktu lalu. Wanita yang pernah jadi wakil ketua KPPU periode 2010-2011 ini sempat mengajak anaknya dalam persidangan hingga menuai kritik anggota DPR. Alibinya karena asisten rumah tangganya sedang tidak masuk kerja sehingga ia terpaksa membawa sang anak ke ruang majelis. Mirip-mirip dengan Sukarmi yang mendapat sentimen dari parlemen. Seperti dikutip dariBBC, pada Januari 2016, anggota parlemen Spanyol, Carolina Cescansa, dikritik karena membawa, bahkan menyusui anaknya yang masih bayi di tempat kerja.
Cap negatif memang tak jarang dilekatkan kepada mereka yang membawa urusan personal ke tempat kerja. Terlepas dari apa pun alibi yang digunakan, mengajak serta anak ke kantor dianggap sebagai sebentuk ketidakprofesionalan seseorang yang dapat berpengaruh terhadap penilaian kinerja. Padahal, setiap orang memiliki lebih dari satu peran dalam kehidupannya. Antara satu peran dan yang lainnya bukan tidak mungkin bertabrakan dan melahirkan konflik internal, seperti kasus para orang tua yang membawa anak.
Sejumlah upaya pun dilakukan untuk mereformasi budaya kerja di pelbagai kantor. Alih-alih harus mengorbankan salah satu perannya, karyawan menginginkan kantor untuk lebih akomodatif terhadap kebutuhan pekerja, termasuk kebutuhan terkait keluarga yang juga membutuhkan atensi dan presensi mereka. Seperti apa saja implementasinya?
Tempat Kerja yang Sensitif Gender
Dewasa ini, beberapa kantor atau tempat kerja berinisiatif untuk menciptakan peluang dan ruang khusus perempuan yang telah memiliki anak untuk menjalankan perannya sebagai ibu. Sehubungan dengan peluang, para orang tua bekerja tak dibatasi membawa anak ke tempat kerja. Sebuah perusahaan penerbitan buku di Jakarta Selatan adalah salah satu contoh instansi swasta yang menerapkan kebijakan tak tertulis ini. Pun demikian dengan lembaga pemerintah tempat Amanda, ibu dari seorang anak laki-laki usia 1,5 tahun yang bekerja di tempat kerja yang atmosfernya cukup mendukung karyawan untuk membawa serta anak mereka.
Amanda mengaku kantornya memperbolehkan karyawan untuk membawa anak saat bekerja, utamanya menjelang atau setelah hari libur besar seperti Lebaran, Idul Adha, atau Natal ketika mayoritas asisten rumah tangga mengambil cuti pulang kampung. Opsi penitipan anak yang satu per satu bermunculan di Ibu Kota sebenarnya bisa diambil oleh para pekerja, tetapi kendalanya menurut alumni Universitas Indonesia jurusan Ilmu Komunikasi ini, jarang ada penitipan anak yang bisa dititipi dadakan lantaran diberlakukannya kuota untuk menjaga kualitas pekerjaan para pengasuh.
“Mungkin karena di kantor saya banyak yang punya anak kecil dan bayi, jadi yang ada malah pada heboh seneng gitu ada anak kecil,” ujarnya kepada Tirto.
Ketika ditanyai mengenai fasilitas lain yang disediakan kantor terkait dengan kebutuhan ibu bekerja, Amanda mengaku belum ada penitipan anak di sana, tetapi usulan ini sudah diajukan ke tempatnya bekerja.
“Sejauh ini baru ada ruang laktasi khusus ibu menyusui, sudah jalan hampir setahun. Lumayan sih, kadang kita bawa anak ngungsi ke situ kalau lagi dibawa ke kantor,” ungkap Amanda.
Ketersediaan ruang untuk menyusui sudah lama menjadi wacana yang ingin diangkat para ibu bekerja. Baru segelintir yang memberikan fasilitas ini bagi karyawan perempuan. Karena keterbatasan tersebut, pilihan menstok ASI pun diambil banyak perempuan agar bayi tak kesulitan mendapat makanan saat ibunya bekerja. Padahal, ada hal lain yang tak terpenuhi saat bayi tidak langsung mengonsumsi ASI dari ibunya: ikatan secara psikologis yang dapat timbul dari kontak langsung saat menyusui.
Beberapa perempuan pun mengambil langkah berani dengan tetap membawa dan menyusui anak di tempat-tempat kerja yang tak menyediakan ruang menyusui. Di Islandia, Unnur Brá Konráðsdóttir diwartakan situs Independent terlihat menyusui anaknya yang berusia 6 minggu di podium parlemen sembari menjelaskan pilihannya terkait undang-undang imigrasi kepada para kolega. Ini adalah kali pertama anggota parlemen disorot sedang menyusui di sana sekalipun budaya kerja di negara-negara Eropa Utara lebih longgar terhadap para ibu bekerja.
Anggota parlemen Eropa asal Italia, Licia Ronzulli juga menjadi buah bibir di media massa saat didapati membawa putrinya yang berusia 6 minggu dalam sebuah pemilihan di Strasbourg pada 2010. Situs Mirror menuliskan, sejak saat itu, putri Ronzulli menjadi ‘wajah reguler’ yang menemani ibunya saat bekerja.
Sebuah langkah besar yang sensitif kebutuhan perempuan pun dilakukan oleh parlemen Australia. Februari 2016, situs The Telegraph melaporkan, anggota parlemen diperbolehkan menyusui di tempat kerja. Hal ini menjadi bagian dari kebijakan ‘ramah keluarga’ yang juga mencakup pengizinan membawa anak, baik oleh ayah maupun ibu yang bekerja di parlemen.
“Tidak ada anggota, laki-laki maupun perempuan, yang dilarang untuk berpartisipasi penuh di parlemen karena mengurus bayinya. Tidak ada alasan untuk mempertahankan peraturan yang membuat perempuan sulit masuk ke dunia politik dan parlemen,” demikian disampaikan oleh Christopher Pyne, ketua parlemen Australia.
Beberapa mungkin tak sepakat bila orang tua, terutama perempuan, diberi keistimewaan-keistimewaan tertentu di tempat kerja. Mereka beranggapan bahwa bentuk-bentuk langkah afirmatif yang pro perempuan ini malah memungkinkan seseorang bertindak tidak profesional. Distraksi yang potensial ditimbulkan dari kehadiran anak-anak senantiasa menjadi alasan mengapa orang tua bekerja tidak diperkenankan membawa anak-anaknya.
Namun, penting untuk diingat bahwa memilih berperan tunggal saja adalah hal yang mustahil bagi orang tua bekerja dan mengorbankan salah satu bagian dari kehidupannya juga bukan pilihan menyenangkan. Dalam konteks karier, negosiasi menjadi jalan terbaik bagi pihak pekerja dan pemberi kerja termasuk untuk urusan membawa seorang anak ke tempat kerja.
Penulis: Patresia Kirnandita
Editor: Suhendra