Menuju konten utama
Kebijakan Pertambangan

Di Balik Sikap Lunak Pemerintah Berikan Relaksasi Ekspor Tembaga

Kebijakan hilirisasi yang sudah digaungkan oleh pemerintah akhirnya tidak konsisten dengan adanya relaksasi.

Di Balik Sikap Lunak Pemerintah Berikan Relaksasi Ekspor Tembaga
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartanto (kedua kiri) bersama Presiden Direktur PT Freeport Indonesia Tony Wenas (kedua kanan) meninjau pembangunan proyek Smelter Freeport di kawasan Java Integrated and Industrial Port Estate (JIIPE), Gresik, Jawa Timur, Kamis (2/2/2023).ANTARA FOTO/Rizal Hanafi/Zk/aww.

tirto.id - Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) memutuskan memberikan izin perpanjangan atau relaksasi ekspor konsentrat tembaga kepada PT Freeport Indonesia (PTFI) dan PT Amman Mineral Nusa Tenggara (AMNT). Izin ekspor konsentrat itu mestinya berakhir pada Juni 2023, tapi diperpanjang sampai Mei 2024.

Pemberian relaksasi ekspor ini jelas bertolak belakang dengan sikap Presiden Joko Widodo yang menginginkan adanya hilirisasi di sektor pertambangan. Jokowi pada awal Februari 2023, sempat mengumumkan penghentian ekspor tembaga mentah yang efektif berlaku pada Juni 2023.

Pelarangan ekspor konsentrat itu juga temuat dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Mineral dan Batubara (Minerba). Di mana UU tersebut melarang ekspor tambang dan mineral mentah, tanpa hilirisasi di dalam negeri.

Menteri ESDM, Arifin Tasrif berasalan, pengecualian pemberian relaksasi izin ekspor tembaga mentah tersebut karena kedua perusahaan itu tengah komitmen menyelesaikan pembangunan smelter-nya.

"[Keputusannya] boleh [ekspor konsentrat tembaga] sampai progresnya komitmen dia untuk menyelesaikan [smelter] dan tidak boleh lebih dari pertengahan tahun depan," tegas Arifin di kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat beberapa waktu lalu.

Freeport Indonesia dan Amman Mineral sedang membangun pabrik pengolahan konsentrat tembaga baru di Batu Hijau, Kabupaten Sumbawa Barat, Nusa Tenggara Barat yang diperkirakan menelan biaya investasi 982 juta dolar AS atau setara Rp14,7 triliun. Namun pembangunannya sempat mundur dari jadwal karena pandemi COVID-19.

“Kalau konstruksi tidak jalan dampaknya bisa ke ribuan pekerja, kan, di tambang ribuan juga. Kita harapkan kalau sudah ada komitmen harus ada keseriusan untuk selesaikan, karena ini nilai tambah semuanya buat kita. Baru sekarang ini usaha kita gol kan hilirisasi ini secara masif, memanfaatkan sumber daya alam semaksimal mungkin," jelas Arifin.

Ancaman dari Freeport?

Namun, pengamat energi dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Fahmy Radhi menyebut, tidak hanya kali ini saja relaksasi ekspor konsentrat diberikan kepada Freeport. Dalam catatannya, sejak 2014 sudah lebih dari delapan kali izin relaksasi ekspor konsentrat diberikan dengan janji pembangunan smelter. Namun, Freeport selalu ingkar janji untuk menyelesaikan pembangunan smelter hingga kini.

Fahmy menduga keputusan pemerintah memberikan relaksasi ekspor konsentrat tersebut tidak lepas dari adanya ancaman dari Freeport, di mana akan menghentikan produksi dan melakukan PHK besar-besaran. Penghentian produksi itu dikatakan berdampak signifikan terhadap ekonomi Indonesia dan Papua.

“Ancaman tersebut sesungguhnya hanya gertak sambal yang tidak akan pernah dilaksanakan,” kata Fahmy kepada Tirto, Rabu (10/5/2023).

Padahal jika Freeport benar-benar menghentikan produksinya, sudah pasti akan memperburuk harga saham Freeport McMoran, pemegang saham 41 persen PTFI yang listed di Pasar Modal Wall Street.

“Pemerintahan Presiden Jokowi seharusnya tidak perlu takut dengan ancaman yang dilontarkan oleh Freeport dan harus konsisten dengan kebijakan pelarangan ekspor konsentrat, serta tetap konsisten menjalankan program hilirisasi," kata dia.

Fahmy khawatir pemberian relaksasi ekspor konsentrat itu justru akan menimbulkan diskriminasi terhadap pengusaha nikel dan bauksit yang selama ini sudah diwajibkan hilirisasi di smelter dalam negeri. Sehingga mereka akan menuntut relaksasi ekspor serupa.

Kalau pemerintah memenuhi tuntutan tersebut, lanjut Fahmy, maka program hilirisasi akan porak poranda. Padahal tujuan mulia program Jokowi dalam hilirisasi adalah menaikkan nilai tambah dan mengembangkan ekosistem industri.

Selain itu, pemberian relaksasi ekspor konsentrat kepada Freeport akan memicu ketidakpastian hukum yang menyebabkan investor smelter hengkang dari Bumi Nusantara.

Sementara itu, Direktur Eksekutif ReforMiner Institute, Komaidi Notonegoro menilai, posisi pemerintah saat ini memang serba sulit. Hal ini karena program hilirisasi dilakukan belum disertai dengan kemampuan serapan dalam negeri.

“Sehingga stok akan terus meningkat jika produksi terus berlanjut. Saya kira keran ekspor dibuka juga ada kaitan dengan hal tersebut," ujarnya kepada Tirto.

Seharusnya, kata Komaidi, ketika membuat kebijakan pemerintah harus memperhitungkan biaya manfaat dan hal teknis apa yang perlu dilakukan terkait dengan kebijakan tersebut. Agar kemudian tidak terjadi blunder ke depannya.

"Ini menjadi kritik bagi kita semua," jelasnya.

Direktur Eksekutif Energy Watch, Daymas Arangga Radiandra menambahkan, kebijakan relaksasi ekspor ini memang menjadi kondisi yang dilematis bagi pemerintah. Karena kebijakan hilirisasi yang sudah digaungkan oleh pemerintah akhirnya tidak konsisten dengan adanya relaksasi.

“Namun kami melihat kebijakan ini dapat terjustifikasi juga karena pertama terkait potensi kerugian negara yang timbul akibat pelarangan ekspor karena saham mayoritas PTFI saat ini dimiliki oleh pemerintah," jelasnya kepada Tirto.

"Kedua, adalah ini merupakan collateral impact akibat mundurnya target pembangunan smelter akibat COVID-19," sambung dia.

Namun, yang perlu dipastikan ke depannya adalah tidak ada lagi toleransi atau relaksasi akibat mundurnya pembangunan smelter. Pemerinrah harus tegas serta mengawal pembangunan smelter kedua perusahaan tambang tersebut.

“Ini yang sama-sama harus kita kawal," imbuh dia.

Pengawasan Ketat

Wakil Ketua Komisi VII DPR RI, Eddy Soeparno meminta kepada Freeport Indonesia dan Amman Mineral untuk tidak ada lagi keterlambatan pembangunan proyek smelter. Sehingga, perlu mendapatkan pengawasan ketat dari pemerintah untuk melanjutkan proyek smelter tersebut.

Eddy mengungkapkan, dalam Undang-Undang Mineral dan Batubara Nomor 3 Tahun 2020 memang memuat ketentuan soal adanya kemungkinan evaluasi kebijakan. Evaluasi yang dilakukan salah satunya mempertimbangkan kelanjutan proyek smelter.

“Salah satu pertimbangan terpenting adalah adanya keterlambatan pembangunan smelter akibat COVID-19," kata Eddy dalam pernyataanya.

Diketahui, dalam Pasal 170A ayat 3 berbunyi, ketentuan lebih lanjut mengenai penjualan produk mineral logam tertentu yang belum dimurnikan dalam jumlah tertentu ke luar negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Menteri.

Meskipun telah mendapatkan relaksasi ekspor, Eddy menegaskan, proyek smelter oleh kedua perusahaan harus diawasi secara ketat. Menurutnya, tidak boleh ada keterlambatan proyek ke depannya.

"Kalau masih ada keterlambatan harus ada sanksi tegas dan tidak boleh ada lagi dispensasi yang diberikan," tegas Politisi Fraksi PAN ini.

Progres Pembangunan Smelter

Freeport Indonesia menyampaikan bahwa smelter mereka di Gresik akan mulai beroperasi pada Mei 2024. Progres pembangunan smelter tembaga dan Precious Metal Refinery (PMR) terletak di Jawa Timur itu sudah mencapai 56,5 persen per Februari 2023.

"Smelter rencananya Mei 2024 mulai start dan akan ramp up sampai akhir 2024," ujar Direktur Utama PT Freeport Indonesia, Tony Wenas usai bertemu Presiden Jokowi bersama jajaran PT Freeport Indonesia di Istana Negara, Jakarta, Rabu (12/4/2023).

Wenas menuturkan, dirinya menemui Jokowi untuk melaporkan soal produksi serta progress pembangunan smelter di Gresik. Ia pun mendapat arahan agar smelter segera beroperasi.

"Pak Presiden berharap smelter-nya bisa selesai tepat waktu atau paling gak lebih cepat," kata Wenas.

Untuk pekerjaan tiang pancang smelter telah selesai 100 persen, pekerjaan concrete beton smelter mencapai 53 persen dan instalasi baja smelter progresnya 25 persen. Berikutnya, baja di area tangki smelter mencapai 15 persen dan pelabuhan 95 persen

Sementara PT Amman Mineral Industri, anak perusahaan dari PT Amman Mineral Internasional (AMMAN) yang membangun proyek smelter tembaga di Kabupaten Sumbawa Barat, telah menerima hasil verifikasi kemajuan 6 bulanan periode Agustus 2022 hingga Januari 2023 dari verifikator independen.

Total pencapaian kemajuan pembangunan hingga Januari 2023 adalah sebesar 51,63 persen. Sementara serapan biaya secara teoritis untuk proyek ini telah mencapai lebih dari 507,53 juta dolar AS dari total investasi 982,99 juta dolar AS.

Presiden Direktur Amman, Rachmat Makkasau menjelaskan, capaian pada periode Januari membuktikan komitmen perusahaan untuk terus melanjutkan konstruksi mega proyek yang termasuk dalam Proyek Strategis Nasional (PSN). Perhitungan tersebut sesuai dengan realisasi serapan anggaran untuk konstruksi smelter, yang meliputi pembangunan fisik dan juga pembelian peralatan dan mesin untuk operasional.

Dia mengakui bahwa kendala pandemi dan krisis energi di Eropa yang menjadi faktor eksternal, menyebabkan kendala logistik dan mobilisasi sumber daya manusia (SDM). Sehingga, target semula penyelesaian smelter di 2023 tidak dapat terlaksana.

“Perusahaan terus bekerja dengan mitra bisnis kami untuk menyelesaikan proyek smelter sesegera mungkin. Peralatan fabrikasi sudah mulai tiba di awal Maret ini dan pemasangan peralatan mulai dilakukan,” jelas Rachmat dalam siaran pers.

Baca juga artikel terkait EKSPOR TEMBAGA atau tulisan lainnya dari Dwi Aditya Putra

tirto.id - Bisnis
Reporter: Dwi Aditya Putra
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Abdul Aziz