tirto.id - Berita kematian Denis Ramadhan alias Denis Kancil menambah daftar kecelakaan berkendara pada anak di bawah umur. Remaja berumur 14 tahun ini meninggal dunia saat menjajal Yamaha Mio modifikasi kawannya.
Denis adalah joki asal Bogor yang tengah naik daun. Ia pertama kali terjun ke dunia balapan dengan bergabung di tim JEMES 007. Beberapa prestasi yang pernah ia sabet, di antaranya juara kedua Kelas Matic Tune Up 200 cc Lokal Grand Final King of Battle 2017, juara pertama Kelas Matic Tune Up 155 cc Grand Final King of Battle 2017, serta jawara pada Kelas Mini GP Open Grand Final King of Battle 2017.
Baca juga:Denis Kancil
Remaja berbakat ini mengalami kecelakaan, Minggu dini hari (1/10/2017). Motor yang ia tunggangi tidak dapat dikendalikan dan menabrak kendaraan lain di depannya. Ia meninggal saat perjalanan menuju rumah sakit.
Menurut data Korlantas kuartal terakhir, lebih dari sepertiga jumlah kecelakaan di Indonesia melibatkan pengendara berumur 15-24 tahun. Kelompok umur 15-19 tahun merupakan kelompok yang paling banyak mengalami kecelakaan. Jumlahnya mencapai 3712 orang luka ringan, 447 orang luka berat, dan 570 orang meninggal dunia.
Undang-undang pun telah menentukan syarat usia pemegang SIM C: usia 17 tahun. Namun ada juga pertanyaan, mengapa angka 17 tahun menjadi patokan?
Baca juga:Meraup Untung dari Asuransi SIM
AKBP Aldo Siahaan, S.IK., Kasi Kemitraan Subdit Dikmas Ditkamsel Korlantas Polri mengatakan di umur tersebut seseorang telah dianggap matang secara psikologis dan kognitif. Karenanya, ia diasumsikan bisa bertanggung jawab atas tindakan dan keputusan yang diambil. Tentu ini terkait dengan syarat berkendara, yakni sikap sigap dan sadar aturan lalu lintas untuk menghindari kecelakaan.
“Terkadang, kita sudah aman dan taat. Tapi ada kelompok yang membikin faktor kecelakaan,” katanya dalam sosialisasi berkendara di Jakarta, Rabu, (4/10/2017).
Faktor-faktor tersebut diantaranya adalah pengendara yang sering melawan arus, berbelok tanpa menyalakan lampu sein, atau memakai kendaraan modifikasi. Pengendara perlu sikap sigap guna menghindari faktor kecelakaan yang datang tiba-tiba, sedangkan remaja dianggap masih labil dalam mengambil keputusan secara cepat.
“Suka ikut-ikutan ngegas atau emosi kalau sampingnya ngebut. Memakai kendaraan modifikasi, padahal kendaraan keluar dari pabrik sudah didesain supaya aman, ini malah diutak-atik.”
Baca juga:Modifikasi Motor untuk Kaum Disabilitas
Beragam penelitian memang membuktikan bahwa remaja lebih berisiko mengalami kecelakaan saat berkendara. Faktor kerawanan inilah yang menjadi salah satu alasan bahwa berkendara baru boleh dilakukan pada umur 17 tahun.
Faktanya para remaja lebih meremehkan dan tidak dapat mengenali situasi berbahaya. Mereka bahkan mudah membuat kesalahan dalam situasi kritis sehingga menyebabkan kecelakaan serius. Para remaja dalam berkendara juga seringkali hanya memberikan sedikit jarak antar-kendaraan. Padahal, mereka bisa saja tiba-tiba mengerem atau mundur. Jarak antar-kendaraan yang sempit membuat waktu menghindari tabrakan juga semakin terbatas.
Baca juga:Tak Perlu jadi Superman Unttuk Menolong Korban Henti jantung
Dibandingkan kelompok usia lainnya, tingkat penggunaan sabuk pengaman pada remaja juga persentasenya terendah. Pada 2015, hanya 61 persen siswa SMA yang selalu mengenakan sabuk pengaman saat berkendaraan.
Pada 2014, 64 persen korban yang meninggal dunia dalam kecelakaan dan berusia 15-20 tahun, sedang menyetir di bawah pengaruh alkohol dan tidak mengenakan sabuk pengaman. Pada 2014, diketahui 34 persen penyebab kecelakaan remaja laki-laki berusia 15-20 tahun adalah kecepatan kendaraan yang tinggi. Sementara itu, 24 persennya terjadi di bawah pengaruh alkohol.
“Pengendara pemula rentan terlibat pelanggaran dan kecelakaan lalu lintas, apalagi jika tidak dikenalkan etika berkendara yang baik dan benar, ataupun tidak paham peraturan lalu lintas,” ujar AKBP Aldo.
Struktur Otak Remaja Belum Sempurna
Mengapa remaja di bawah usia 17 tahun dianggap belum memiliki emosi yang stabil dan berbahaya ketika berkendara?
Ternyata, secara fisik, struktur otak mereka belum berkembang sempurna. Bagian lobus frontal yang tepat berada di belakang dahi tidak sepenuhnya terhubung. Bagian inilah yang berperan saat seseorang harus memutuskan sesuatu. Ia bertanggung jawab atas penalaran, perencanaan, organisasi pikiran, perilaku, dorongan seksual, emosi, pemecahan masalah, menilai, bagian pengorganisasian berbicara, dan keterampilan motorik (gerakan).
Seorang neurolog, Francis Jensen, mengatakan lobus frontal baru mencapai kematangan saat manusia berusia 25. Saat remaja, lobus frontal diakses secara lambat karena tak memiliki “penghantar” berupa lapisan lemak yang disebut myelin, seperti pada otak orang dewasa. Saraf membutuhkan myelin agar sinyal saraf mengalir bebas. Myelin tipis menyebabkan komunikasi antara satu bagian otak dan otak lainnya menjadi tidak efisien.
“[Otak] Mereka belum berada di tingkat memikirkan efek perilaku terhadap orang lain,” kata Jensen. Akankah Anda memberi akses mengendarai mobil atau motor bagi anak-anak remaja ini?
Penulis: Aditya Widya Putri
Editor: Maulida Sri Handayani