Menuju konten utama

Demi Lingkungan, Tak Perlu Gengsi Beli Sisa Stok Makanan

Sisa makanan atau stok toko selama ini sering berujung jadi sampah di pembuangan. Perlu aksi kolektif untuk cegah penghamburan dan selamatkan lingkungan.

Demi Lingkungan, Tak Perlu Gengsi Beli Sisa Stok Makanan
Petugas Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian Kota Bandung melakukan aksi kampanye "Food Waste" di Jalan Arjuna, Bandung, Jawa Barat, Senin (31/10/2022). ANTARA FOTO/Raisan Al Farisi/tom.

tirto.id - Jumlah populasi manusia di dunia telah genap mencapai 8 milyar. Krisis pangan menjadi salah satu isu yang mengekor di belakang meledaknya jumlah penduduk. Meski demikian, hal itu kontradiktif dengan isu lain, yakni menggunungnya sisa-sisa makanan.

Di tengah 828 juta orang yang kelaparan di dunia, sebanyak 1,1 milyar ton makanan terbuang dan jumlahnya masih terus bertambah (2022). Berdasarkan data The Economics Intelligence Unit (2021), Indonesia menjadi negara terbesar kedua di dunia yang membuang sampah makanan.

Jika mengacu pada data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), total timbulan sampah di Indonesia bisa mencapai 30,9 juta ton per tahun (2021). Dari jumlah tersebut, komposisi sampah paling besar disumbang oleh sisa makanan, sebanyak 39,81 persen.

Sampah sisa makanan itu kebanyakan berasal dari rumah tangga (40,91 persen), aktivitas perniagaan (18,05 persen), dan pasar (17,35 persen). Masalah ini seharusnya bisa ditekan ketika kita tak malu membungkus sisa makanan dari restoran atau produsen tak membuang sisa stok produk makanan mereka.

“Populasi manusia terus bertambah dan ketersediaan pangan juga terganggu, tapi di sisi lain ada kemubaziran makanan,” ujar penggagas Surplus Indonesia M. Agung Saputra kepada Tirto.

Surplus Indonesia merupakan aplikasi yang menjembatani produsen makanan untuk menjual stok makanan berlebih kepada konsumen. Penjualan itu tentunya dengan harga yang sudah dikorting dan dilakukan pada jam-jam tertentu sebelum toko tutup.

Baru dua tahun meluncur, Surplus Indonesia telah mencegah ribuan kilo makanan masuk ke pembuangan dan berakhir menjadi sampah. Jumlah tepatnya mencapai lebih dari 9.000 makanan atau setara dengan 20 ton.

Overstock (stok berlebih) dari hotel, restoran, catering, supermarket jadi salah satu penyumbang sampah makanan. Biasanya produsen akan membuang sisa stok mereka atau dikasih ke karyawan secara cuma-cuma,” kata Agung.

Surplus Hero, begitu mereka menyebut konsumen pengguna Surplus, berkontribusi mencegah 200 ton emisi karbon dioksida (CO2) dari sampah makanan yang dibuang. Sebanyak 10 persen pengguna juga tidak memakai plastik karena membawa wadah sendiri saat mengambil pesanan akan dapat diskon ekstra.

“Sementara dari sisi pelaku usaha, konversi kerugian finansial yang bisa dicegah (karena menjual sisa stok makanan) mencapai Rp800 juta-1 milyar,” kata Agung.

Namun, aplikasi ini baru bisa dinikmati di beberapa daerah saja, seperti Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Bandung, Yogyakarta, Surabaya, Malang, dan Bali. Total pelaku usaha yang bekerja sama ada lebih dari 2.000 yang terdiri dari hotel, rumah makan, kafe, pemasok, dan UMKM.

“Memang tantangannya masih ada penolakan dari pelaku usaha. Mereka masih berpikir ‘walaupun nggak dibeli, ya buang saja’. Di awal, dari 100 merchant yang didekati hanya kurang 5-10 persen yang mau (kerja sama).”

Stok Sisa Bukanlah Makanan Basi

Selama tiga dekade pasca Perang Dunia II makanan menjadi langka. Ketika itu, buku-buku resep banyak mengajarkan cara-cara menyimpan atau memasak kembali sisa makanan menjadi makanan “baru”. Orang tak segan berkreasi dengan sisa makanan, asal masih layak makan.

Namun, kemudian kulkas ditemukan dan perlahan bahan-bahan pangan mulai terjangkau, menyusul keadaan ekonomi yang membaik. Persepsi positif tentang sisa makanan pun perlahan mulai menghilang. Ia tak lagi dianggap perlu secara kebutuhan dan ekonomi.

Akhirnya, sisa makanan justru dipersepsikan dekat dengan sampah ketimbang makanan layak.

Itulah alasan mengapa banyak orang memilih membuang sisa makanan mereka, baik di rumah maupun rumah makan, dibanding membungkus dan memakannya kembali di lain waktu.

“Di awal Surplus berdiri, makanan sisa stok ini juga stigmanya sangat negatif. Kami dicemooh, dianggap menjual makanan basi dan tidak layak,” kisah Agung.

Infografik Sampah Pangan

Infografik Sampah Pangan. tirto.id/Fuad

Bahkan pernah ada salah satu pelaku usaha yang memengaruhi pelaku usaha lain untuk tidak ikut dalam kampanye Surplus. Ia bilang, konsep bisnis menjual sisa stok tak akan pernah berhasil, jadi makanan lebih baik dibuang saja.

Etalase yang masih penuh dengan sisa stok makanan adalah pemandangan lumrah di toko rekanan sebelum Surplus datang. Para pelaku usaha ini memilih membuang makanannya ketimbang menyimpan dalam mesin pendingin dan memanaskannya kembali. Pasalnya, proses itu akan membuat tekstur makanan jadi rusak, tak enak, dan tak bagus untuk dijual.

Namun, Agung dan tim Surplus memutar otak. Mereka memberi label pada Surplus Hero sebagai penyelamat lingkungan. Saat konsumen menjajal makanan dari rekanan Surplus, mereka memberi testimoni karena hanya perlu membayar setengah harga untuk mendapat makanan enak.

“Menyelamatkan makanan itu keren, peduli terhadap sesama dan lingkungan. Orang jadi nggak gengsi lagi.”

Sekarang para rekanan Surplus baru memetik manfaat dari kerja sama ini. Dengan menjual sisa stok, setidaknya harga pokok penjualan (HPP) bisa tertutupi sehingga bisa digunakan lagi sebagai modal dasar berjualan dan laba menjadi maksimal.

Namun untuk mencapai angka nol kelaparan dan nol sisa makanan, aksi dari sebagian orang saja tidak cukup. Perlu kesadaran kolektif dan komitmen politik untuk mengakhiri penyebab utama kelaparan dan terbuangnya makanan secara sia-sia.

Baca juga artikel terkait SAMPAH atau tulisan lainnya dari Aditya Widya Putri

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Aditya Widya Putri
Editor: Fadrik Aziz Firdausi