tirto.id - Kabar kedatangan David Bond alias David Campbell menyebar luas di media digital baru-baru ini. Bond diberitakan sering menggoda dan mengajak tidur perempuan-perempuan Asia di beberapa negara seperti Hong Kong, Korea Selatan, Jepang, Vietnam, dan Thailand. Laki-laki ini memang beberapa kali memublikasikan video panduan menggaet perempuan-perempuan Asia. Di dalamnya terlihat pula bagaimana ia dan partner berkontak fisik dan berinteraksi.
Pada Juli 2017, Bond dan seorang kawannya memilih Jakarta sebagai tujuan wisata selanjutnya. Dalam video berdurasi sekitar 14 menit, terlihat Bond dan kawannya berswafoto dengan sejumlah perempuan Indonesia yang baru mereka temui. Bagi orang yang saling asing secara umum, berswafoto bareng adalah hal yang tidak lazim. Tentu saja ada pertimbangan atau strategi tertentu oleh pihak-pihak terlibat sehingga mereka mau berfoto bersama.
Dalam wawancara di Nextshark, Bond mengungkapkan, identitasnya sebagai laki-laki kulit putih menjadi keunggulan tersendiri yang gampang membuat perempuan Asia terpikat.
Perilaku Bond ini memicu beragam reaksi. Sebagian orang menyorotinya sebagai bentuk eksploitasi seksual terhadap perempuan-perempuan Asia. Sejak dua tahun silam, keresahan terhadap aksi-aksi Bond ini sudah menyeruak.
Adalah Evelyn Kim dari New York yang berinisiatif membuat sebuah petisi di Change.org untuk menuntut Bond menghentikan publikasi “penaklukan” perempuan-perempuan Asia di blognya. Petisi itu ditujukan kepada Wordpress, tempat Bond membagikan pengalaman dan panduan membuat para perempuan Asia jatuh hati dan mau ditiduri.
“Campbell (Bond) menggunakan manipulasi emosi dan agresi fisik untuk melecehkan dan memaksa perempuan Asia untuk berhubungan seks dengannya. Campbell memasarkan dirinya dengan cara membuat film dan mengunggah dokumentasi eksploitasi seksual di Asia ke internet.
Ini dilakukan untuk mengajari laki-laki lain untuk melakukan hal serupa. Video-video ini sering direkam dan diunggah secara online demi keuntungan tanpa ada kesepakatan dari perempuan yang diambil gambarnya,” demikian cuplikan pesan dalam petisi yang dibuat Kim.
Baca juga: Para Milenial yang Malas Bercinta
Pick-Up Artist, sang Seniman Penggaet Hati
David Bond bukanlah laki-laki pertama yang menjadi sorotan lantaran aksi-aksinya menggaet perempuan Asia. Sebelumnya, ada Julien Blanc, laki-laki kelahiran Swiss yang terlibat dalam kelompok Real Social Dynamics yang menyediakan jasa konsultasi kencan. Kelompok ini sering menggelar seminar dan boot camp di pelbagai negara dengan sasaran para laki-laki yang mencari tips dan trik untuk mendekati perempuan. Serupa Bond, Blanc tercatat melakukan perjalanan seminar ke pelbagai kota di dunia untuk mengajarkan cara menggoda perempuan.
Dilansir Time, sebelum Blanc mengadakan seminar di Melbourne tiga tahun silam, pemerintah Australia mencabut visa laki-laki tersebut karena ada desakan dari petisi di Change.org. Dalam petisi itu, Blanc mempromosikan kekerasan fisik dan emosi terhadap perempuan ketika berhubungan dengan mereka. Dalam artikel di Time tersebut, Blanc bahkan disebut sebagai laki-laki paling dibenci di dunia akibat perilaku misoginisnya.
Orang-orang seperti Bond dan Blanc dikenal sebagai pick-up artist. Berbekal keterampilan yang diasah melalui pengalaman-pengalaman mereka, pick-up artist akan lebih mudah membuat korbannya luluh dan melakukan tindakan yang mereka mau, satu di antaranya berhubungan badan.
Dari kacamata psikologi, aktivitas pick-up artist sebenarnya tak jauh beda dengan strategi pendekatan romantis orang-orang kebanyakan. Yang memisahkan keduanya adalah intensi pick-up artist yang mencari keuntungan dan bahkan mengobjektivikasi sasaran-sasarannya.
Dalam Psychology Today, Dr. Jeremy Nicholson, dengan mengutipOesch dan Miklousic (2012) dalam “The dating mind: Evolutionary psychology and the emerging science of human courtship”, menjelaskan proses-proses yang dilalui pick-up artist untuk mencapai tujuannya.
Pertama, pick-up artist harus terlihat semenarik mungkin di hadapan sasarannya. Daya tarik awal bisa berasal dari fisik atau cara berkomunikasi: menunjukkan dominasi, keberanian, humor, atau popularitas.
Setelah sasaran tertarik, pick-up artist membangun rasa nyaman dan kepercayaan dalam diri mereka, sehingga melahirkan intimasi. Begitu kepercayaan sasaran berhasil dikantongi, pick-up artist pun semakin mudah menjalin relasi dan melancarkan godaan-godaannya.
Terakhir, godaan atau rayuan yang menjurus ke aktivitas seksual. Menurut riset psikologi, orang akan memiliki ketertarikan seksual lebih tinggi setelah intimasi dan aktivasi sejumlah senyawa kimia di otak seperti oksitosin. Senyawa kimia ini dikenal pula hormon cinta.
Baca juga: Seks Bebas dalam Praktik Hook Up
Ada anggapan pick-up artist adalah orang-orang misoginis dan didominasi oleh laki-laki. Nyatanya, ada juga perempuan yang mengklaim diri seorang pick-up artist. Dalam XOJane, Arden Leigh, penulis The New Rules of Attraction: How To Get Him, Keep Him, and Make Him Beg For More, mengisahkan pengalamannya sebagai pick-up artist perempuan.
Leigh mengatakan, ia sempat menjajal terlibat dalam komunitas pick-up artist laki-laki. Ia belajar teknik-teknik yang dapat diterapkan untuk membuat perempuan tidur dengan si pick-up artist. Alih-alih merasa risi, Leigh justru tertarik mendalami “seni” tersebut.
Salah satu pelajaran itu, Leigh bisa mengendalikan ketertarikan romantis. Ia lantas menerapkan teknik itu kepada seorang pujaan hati yang sebenarnya jauh dari jangkauannya. Seiring waktu, Leigh terus menambah pengetahuannya dengan bacaan panduan dari beberapa penulis. Beberapa laki-laki yang pernah ia pacari mungkin menyangka pesan-pesan yang Leigh kirimkan kepada mereka itu tulus. Padahal, Leigh hanya mengopi apa yang ia baca dari buku-buku panduan pick-up.
Hal lain yang Leigh petik adalah banyak panduan menaklukkan hati laki-laki bersifat simplistis. Terlebih lagi, tulisan-tulisan itu tidak bikin perempuan terkungkung dalam anggapan yang salah.
Sebagai pick-up artist perempuan, Leigh mencoba mendobrak asumsi bahwa hanya laki-laki yang layak membuat pendekatan pertama kali. Ada yang mengamini bahwa laki-laki yang dekat dengan banyak perempuan itu hebat, sementara bila perempuan yang melakukannya akan disebut jalang.
Ia menegaskan, apa yang dilakukannya adalah sebenar-benarnya hal yang ia inginkan. Kendati demikian, terlepas dari argumen tiap pick-up artist, mereka harus siap terkena pandangan negatif yang masih berlaku saat ini, seperti sebutan sebagai si predator.
Yellow Fever
Kisah tentang Bond dan Blanc sebenarnya hanya bagian dari fenomena ketertarikan laki-laki Kaukasian terhadap perempuan Asia yang kerap disebut yellow fever. Hasil survei oleh aplikasi kencan OKCupid terhadap sekitar 25 juta pengguna pada 2009-2014 menunjukkan laki-laki dari aneka ras di luar Asia menganggap perempuan Asia 1-11 persen lebih menarik dari perempuan rata-rata.
Baca juga: Prasangka terhadap Lelaki Cina dalam Urusan Cinta
Dalam The Telegraph, Yuan Ren menulis sejumlah mitos di kalangan teman-teman laki-laki Kaukasian di Inggris. “Perempuan keturunan Cina lebih terbuka dalam hal seks dibanding perempuan Kaukasian” atau “Perempuan keturunan Cina lebih hebat di ranjang” adalah contoh generalisasi berlebihan yang Ren temukan saat berbincang dengan mereka.
Kegandrungan akan perempuan Asia juga dilanggengkan oleh penggambaran-penggambaran di film Barat maupun porno-porno Jepang. Submisif dan pasif adalah stereotip yang kerap dilekatkan kepada perempuan Asia, dan bagi sebagian laki-laki, hal ini justru menjadi daya tarik.
Para pelakon yang tergabung dalam The British East Asian Artist (BEA) pun sempat mengkritik BBC dan sejumlah industri penyiaran lain yang menyuburkan stereotip macam itu. Jika hal ini terus-menerus dibiarkan, perilaku merendahkan perempuan Asia akan semakin mungkin ditemui di berbagai tempat.
Tidak hanya BEA yang menyuarakan protes terkait rasisme dan stereotip terhadap perempuan Asia. Jenn Li, seorang perempuan Asia, pernah menulis di The Independent terhadap kasus Blanc: “Saya seorang keturunan Cina, tetapi Blanc dan orang-orang sejenisnya tidak peduli perempuan Asia macam apakah saya. Dengan melanggengkan ide bahwa perempuan Asia adalah sosok yang "selalu tersedia" bagi laki-laki predator, ia mendorong laki-laki menyedihkan lain untuk berlaku kasar terhadap perempuan Asia."
"Setelah belajar dari Blanc, pengikutnya berpikir bahwa sah-sah saja memiliki yellow fever atau mewujudkan fantasi mereka tentang perempuan Asia,” tulis Li.
Dari sini teranglah perkara David Bond atau Blanc bukan sekadar wacana kesusilaan, tidak cukup berhenti dengan membuat petisi atau mengutuki perbuatan mereka. Perkara mereka memiliki spektrum luas secara sosial-budaya—rasialisme, kekerasan, dan ketimpangan peran gender—yang membutuhkan refleksi dan analisis mendalam untuk mengatasinya.
Di luar isu konten eksplisit seksual, jika pick-up bukan dilakukan oleh orang kulit putih terhadap perempuan Asia, atau katakanlah dilakukan orang lokal kepada sesamanya, apakah perempuan Asia juga akan kepincut dan pemberitaan tentang ini akan sama viral?
Penulis: Patresia Kirnandita
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti