tirto.id - Takdir selalu menemukan jalannya untuk terwujud dan saya adalah buktinya.
Untuk semua yang kini saya miliki, saya harus bercerita dulu tentang apa yang terjadi pada hidup saya pada 1995 silam. Saya masih bocah ketika itu. Kendati keluarga saya menggandrungi olahraga, tak satu pun menyukai sepak bola. Bulu tangkis dan tinju adalah primadona di rumah kami waktu itu. Maklum, bulu tangkis Indonesia sedang jaya-jayanya kala itu dan tinju pun sedang sangat populernya.
Sepak bola, bagi saya, berawal dari sebuah kebetulan. Pada suatu hari Minggu, saya dan almarhum ayah tengah menantikan acara wayang golek Asep Sunandar Sunarya di TVRI. Namun, entah mengapa, mereka tak menayangkan acara kegemaran kami itu. Yang hadir di layar kaca kami kala itu justru pertandingan Liga Italia Serie A antara AC Milan dan Fiorentina.
Saya, yang sebelumnya sama sekali tidak mengenal sepak bola, tiba-tiba jatuh cinta. Sejak itu, tak ada satu Minggu pun saya lewatkan untuk mencatat apa yang terjadi di pertandingan sepak bola Liga Italia. Untuk apa? Ya, tentu saja untuk pamer di depan teman-teman.
Apa yang saya catat itu lantas saya ceritakan ulang kepada teman-teman di kelas. Lambat laun, teman-teman di tongkrongan menyebut saya pandit sepak bola.
Sekali jatuh cinta, saya rupanya benar-benar tak bisa lepas dari sepak bola. Kegemaran saya mencatat apa yang terjadi dalam pertandingan itu kemudian berubah menjadi semacam obsesi untuk tahu lebih, lebih, dan lebih lagi soal sepak bola.
Sampai akhirnya, pada 2012 silam, saya mulai berpikir, "Hmm... Kenapa saya tidak jadi pelatih sepak bola saja, ya?"
Saya lahir dan besar di Bandung, Jawa Barat. Maka upaya saya untuk menjadi pelatih sepak bola pun bermula dari sini. Waktu itu, saya mendatangi kantor Sekretariat Asosiasi Provinsi Jawa Barat (Asprov Jabar) di Jalan Lodaya untuk mencari informasi lebih lanjut soal langkah-langkah menjadi pelatih. Namun, saya pulang dengan kekecewaan.
Di kantor Asprov Jabar, saya disambut dengan berbagai pertanyaan yang menurut saya agak aneh. "Kamu dari mana? Kamu kenal siapa?" begitu kata mereka. Meskipun mereka meminta nomor ponsel dan alamat surel, saya tak pernah menerima jawaban apapun sampai detik ini. Itu mungkin hanya untuk formalitas belaka.
Kecewa boleh, tapi putus asa jangan sampai. Keinginan menjadi pelatih tetap saya pupuk. Saya pun mencoba mencari jalan lain yang kemudian menuntun saya pada rekan-rekan Pandit Football yang bermarkas di Bandung. Di sanalah, saya ikut kelas menulis yang diampu Zen Rahmat Sugito dan Pangeran Siahaan.
Kesibukan bersama Pandit Football itu membuat saya jadi rajin membaca untuk mencari referensi. Nah, di tengah-tengah proses belajar menulis itulah, saya menemukan sebuah jalan untuk mewujudkan mimpi saya menjadi pelatih.
Suatu kali, saya iseng-iseng mampir ke situs milik Football Association (FA) alias PSSI-nya Inggris. Di situs itu, saya melihat sebuah tulisan besar yang menggugah sanubari. Bunyinya: FREE TUITION FOR ASIAN AND AFRICAN IN LEVEL 1.
Intinya, ada pendidikan kepelatihan gratis bagi orang-orang Asia dan Afrika di level pertama. Cara mendaftarnya pun sederhana, tapi tidak lantas bisa dikatakan mudah. Saya harus menulis (kebetulan sekali, bukan?) sebuah esai motivasional untuk meyakinkan para penyelenggara kenapa mereka harus menerima saya belajar di sana.
Dan jalan itu pun terbuka semakin lebar bagi saya.
Belajar ke Inggris
Pada 2015, saya akhirnya berangkat ke Inggris untuk mempelajari ilmu kepelatihan. Kalau boleh jujur, saya sebetulnya takut setengah mati waktu itu. Tabungan cuma seadanya dan saya tidak tahu harus melakukan apa untuk menyambung hidup.
Namun, tekad saya sudah bulat. Saya harus berangkat. Apa pun bakal saya lakukan untuk mewujudkan mimpi.
Sesampainya di Inggris, saya melakukan segala yang bisa saya lakukan. Kerja serabutan mencuci piring? Jangan tanya. Menjadi pelayan rumah makan secara ilegal? Tentu saja pernah. Melatih anak-anak kecil di akhir pekan demi tip 5-10 paun? Saya lakukan juga. Asalkan masih halal, saya lakukan semua.
Setelah tiga pekan, pendidikan kepelatihan level pertama pun selesai. Namun, saya tidak langsung pulang ke Indonesia. Sebab, mentor saya kala itu menyarankan agar saya langsung melanjutkan ke level kedua. Kebetulan, ada satu slot kosong untuk wilayah Leicestershire and Rutland. Saya ikuti saran darinya dan langsung bertolak ke sana.
Jika pendidikan level pertama berdurasi kurang dari sebulan, tidak demikian halnya dengan level kedua. Materi pendidikan level kedua ini jauh lebih padat. Saya butuh waktu sekitar enam bulan untuk bisa lulus. Sesudah itu, saya pun langsung mengikuti program magang di GNG Football Club-Leicester U-17.
Saat itu, lisensi level 2 atau sekelas UEFA C sudah ada di kantong saya. Tentu saja, saya sangat bersyukur dengan lisensi itu. Artinya, saya benar-benar sudah bisa mulai melatih.
Namun, pada akhirnya, bukan perkara sepak bola yang membuat saya berutang besar pada Inggris, melainkan cara berpikir. Saya berani berkata bahwa hal pertama yang saya pelajari di pendidikan kepelatihan FA itu bukan tentang sepak bola, melainkan soal psikologi, sosial, dan safeguarding.
Satu hal yang selalu ditekankan kepada saya dan para calon pelatih lainnya adalah: Remember, they're not players. After all, they're human. Mereka, para pesepak bola itu, bukan cuma pemain. Namun, yang terutama dan paling utama, mereka semua manusia. Maka perlakukanlah mereka sebagai manusia. Pesan itu sampai sekarang masih terekam kuat di benak saya.
Jadi, sebelum membahas soal-soal teknik, taktik, statistik, dan semacamnya, para instruktur meminta kami untuk belajar memahami latar belakang para pemain. Dari mana mereka berasal, seperti apa kehidupan mereka, apa saja yang harus dilakukan untuk memastikan keamanan pemain, dan hal-hal semacam itu. Pendek kata, belajar kepelatihan di Inggris membuat saya semakin sadar bahwa saya tidak tahu apa-apa.
Kesadaran bahwa saya tidak tahu apa-apa itulah yang akhirnya terus terbawa sampai sekarang. Ini sangat membantu saya untuk terus belajar, terus mencari tahu, tak malu bertanya, tak segan bereksperimen. Bagi saya, inilah bekal terbaik yang saya petik dari pendidikan kepelatihan di Inggris.
Kembali ke Indonesia
Setelah menyelesaikan pendidikan kepelatihan, saya memutuskan kembali ke Indonesia. Namun, celakanya, lisensi kepelatihan dari Inggris itu justru tidak bisa dipakai di Indonesia.
Meski demikian, saya tak patah arang. Mulanya, saya mengabdikan diri dengan menjadi sukarelawan di Diklat Persib Bandung. Setelahnya, barulah saya mencari lisensi AFC A yang bisa dipakai di Indonesia.
Ketika sedang menyelesaikan pelatihan untuk lisensi AFC A itu, saya bertemu dengan sosok yang akhirnya mengantarkan saya pada pekerjaan yang cukup bergengsi di Indonesia. Beliau adalah Coach Salahudin.
Pada 2019, beliau membawa saya ke Persis Solo untuk menjadi analis statistik. Sebelum itu, saya juga sempat terlibat di Jakarta United. Saat itu, kedua klub tersebut sama-sama dimiliki oleh Vijaya Fitriyasa.
Di Persis, pada dasarnya saya melakukan apa yang dulu saya lakukan saat masih SD. Saya menonton pertandingan, lalu mencatat apa yang menjadi kekurangan tim. Bedanya, kalau dulu saya melakukan itu agar semakin sahih menjadi pandit tongkrongan, di Persis Solo saya melakukan itu untuk memberikan insight kepada pelatih.
Meski begitu, keputusan final tetap ada di tangan pelatih. Saya hanya membantu.
Selama di Solo, saya melihat antusiasme yang luar biasa dari kawan-kawan Solo. Banyak dari mereka yang benar-benar ingin mempelajari ilmu analisis sepak bola. Beberapa kali, saya sempat membuat kelas analis.
Itulah mengapa, menurut saya, persepakbolaan di Indonesia sebenarnya sudah cukup modern karena setiap klub setidaknya sudah memiliki analis. Hanya saja, keberadaan analis belum terlalu terasa di tim kelompok umur. Padahal, kehadiran analis juga penting untuk perkembangan para pemain muda.
Berakhirnya kepemilikan Vijaya Fitriyasa di Persis pada akhirnya juga berujung pada berakhirnya kiprah saya bersama Laskar Sambernyawa. Selain itu, pada 2020, segala aktivitas sepak bola Indonesia terpaksa berhenti lantaran Pandemi COVID-19.
Pada masa-masa pandemi ini, saya kembali menulis. Saya menulis banyak sekali analisis pertandingan ketika itu. Namun, saya tak menerbitkannya. Yah, sekadar untuk menjaga ketajaman pikiran di tengah tiadanya kompetisi saja.
Lagi-lagi, di tengah kesibukan menulis itu, rezeki menghampiri saya lagi. Ada seorang kawan yang tiba-tiba membisiki saya tentang Italian Job. Bukan, ini bukan tentang film yang ada Mini Cooper-nya itu. Ini adalah sebuah program dari sebuah klub Italia yang dimiliki sepasang pengusaha Indonesia. Klub itu baru saja promosi dari Serie C ke Serie B. Itulah Como 1907.
Sebulan lamanya saya mengabaikan informasi itu. Saya ragu. Saya belum yakin dengan kemampuan saya sendiri. Pengalaman saya belum seberapa waktu itu. Akan tetapi, ada semacam panggilan dari hati kecil saya beberapa hari jelang penutupan pendaftaran.
"Dani, apa salahnya mencoba?" kira-kira begitu kata hati kecil saya waktu itu.
Akhirnya, dengan modal internet, CV, karya tulis, serta log book analisis, saya memberanikan diri untuk mendaftar. Sejujurnya, saya tak berharap apa-apa waktu itu. Kalau dapat, ya, syukur, kalau tidak, ya, sudah. Namanya juga mencoba.
Namun, kurang lebih sebulan setelah saya mengirimkan berkas-berkas yang diperlukan, datanglah telepon yang tak diduga-duga.
Como 1907
Panggilan itu datang dari perwakilan Mola TV selaku sponsor utama Como. Ia mengabarkan bahwa saya diterima untuk mengikuti program The Italian Job itu. Selain panggilan telepon, ada pula email berisi lampiran surat dari Dennis Wise, CEO Como yang juga mantan kapten Chelsea era 1990-an.
Como memanggil, Dani Suryadi pun berangkat!
Setibanya di Italia, saya langsung melihat sebuah klub yang sudah dijalankan dengan sangat baik. Situasinya, menurut saya, bahkan jauh lebih baik daripada yang dibicarakan orang-orang di sana kala itu.
Secara struktur keorganisasian, semuanya sangat jelas. Setiap orang paham tanggung jawabnya, siapa pun tahu harus ke mana dan menghubungi siapa ketika membutuhkan sesuatu. Lingkungan sudah sangat profesional sejak dalam pikiran dan semuanya menjadi sehat secara bersamaan.
Tugas pertama saya di Como adalah menjadi asisten pelatih utama tim U-17 sekaligus analis. Boleh dibilang, sayalah analis pertama yang pernah dimiliki tim U-17 Como sepanjang sejarah.
Tugas saya adalah menganalisis lawan, membuat klip kekurangan dan kelebihan lawan, serta memberikan opini “dos and don’ts”. Pelatih kepala bakal mengonversi insight dari saya menjadi program latihan selama sepekan. Di sela-sela itu, ada 2-3 sesi kelas untuk membahas kelemahan tim.
Setelah tiga bulan, tugas saya pun ditambah. Tak cuma U-17, saya juga dipercaya melakukan hal serupa untuk tim U-19 alias tim Primavera.
Di Primavera, saya bertugas bersama sosok asal Indonesia lainnya. Kalian pasti tahu siapa dia. Dia adalah striker legendaris Timnas Indonesia yang dulu pernah berkiprah di Italia bersama Sampdoria. Ya, dia adalah Kurniawan Dwi Yulianto. Tugas kami saat itu adalah membantu mempersiapkan sesi latihan dengan lancar dan mengerjakan apa pun yang dibutuhkan pelatih kepala.
Bisa dibilang, saya cukup beruntung. Saya beruntung bisa berada di Como. Saya beruntung bisa bekerja di sebuah klub dengan manajemen yang sangat baik. Saya beruntung bisa bekerja dengan Kurniawan. Saya pun beruntung karena saya tak kesulitan beradaptasi selama di sini.
Ya, bagi saya hidup di luar negeri ternyata tidak membutuhkan adaptasi yang terlampau sulit. Lahir dan besar di Bandung sedikit banyak membantu saya terbiasa dengan udara dingin. Soal makan pun, saya tidak pilah-pilih. Apa pun saya bisa makan. Ya, walaupun kadang-kadang saya juga rindu pada sambal. Namun, saya belum sampai seperti kawan saya yang sampai membawa cobek seberat 5 kg langsung dari Indonesia, hahaha.
Ah, begitu menyenangkan menjadi seorang Dani Suryadi sekarang. Musim depan, klub tempat saya bekerja ini akan berlaga di Serie A, liga yang dulu membuat saya jatuh cinta pada sepak bola. Secara resmi, pos pelatih kepala di klub ini memang dipegang oleh Osian Roberts. Akan tetapi, percayalah, ini semua takkan terwujud tanpa peran pelatih kepala yang sesungguhnya, Cesc Fabregas.
Saya berani bertaruh bahwa Fabregas tak lama lagi akan menjadi pelatih besar. Setiap hari, saya melihatnya memimpin latihan. Semua yang dia inginkan dari para pemain berhasil diejawantahkan di tiap pertandingan. Kami bermain indah, penuh determinasi, dan selalu mengejar kemenangan.
Cara Fabregas memotivasi pemain juga luar biasa. Usia yang masih cukup muda juga membuatnya bisa membangun kedekatan dengan para pemain.
Selain sebagai pelatih, Fabregas juga salah satu investor di Como bersama Thierry Henry dan, tentu saja, Hartono bersaudara. Ditambah dengan kepiawaian Dennis Wise dalam menjalankan operasional klub sehari-hari, saya pikir triumvirat itu adalah alasan utama di balik kesuksesan Como.
Masih Ada yang Mesti Dikejar
Saya yakin, Como akan tampil lebih baik dibanding tim promosi lainnya musim depan. Rekam jejak Djarum dalam berpikir secara jangka panjang tidak bisa diragukan lagi. Sejarah Djarum di bidang olahraga sudah menjawabnya. Lingkungan seperti inilah yang pada akhirnya jadi tempat belajar terbaik bagi saya.
Namun, mimpi saya tidak berhenti sampai di sini. Jauh di lubuk hati, saya masih memendam keinginan untuk berkontribusi secara lebih konkret terhadap persepakbolaan Indonesia. Saya ingin jadi bagian dari Timnas Indonesia. Saya ingin jadi bagian dari tim yang pertama kali bisa masuk Piala Dunia entah sebagai pelatih, analis, atau mungkin direktur teknik.
Dan lebih dari itu, saya juga ingin sepak bola Indonesia terus berbenah. Saya ingin semua klub yang terafiliasi dengan PSSI mempunyai departemen analisis, dari level senior hingga kelompok umur. Saya ingin sepak bola Indonesia punya bank data, dokumentasi data terkait pengembangan sepak bolanya. Pasalnya, hanya dari data kita akan tahu jalan mana yang harus ditempuh. Fondasinya adalah sports science.
Yah, begitulah mimpi saya untuk masa depan nanti. Jalan saya masih panjang dan masih banyak yang bisa saya raih. Namun, sampai di titik ini pun, saya sudah sangat bersyukur. Saya tahu banyak sekali tantangan yang harus saya lewati.
Pencapaian saya ini lahir dari dendam kepada ketidakbecusan orang-orang yang memangku tanggung jawab, rasa kecewa karena hak kita disepelekan dan kemudian dihilangkan. Pada akhirnya, kita hanya bisa berharap pada nyali dalam diri kita sendiri.
Namun, saya pun menyadari bahwa semua ini tidak akan pernah saya raih tanpa doa dan restu dari ibu saya. Maka dari itu, kalau boleh saya berpesan, selalu mintalah doa dan restu dari orang tua, terutama dari ibu. Selain itu, jangan pernah merasa inferior dan selalu jagalah rasa ingin tahu. Dari sana, saya yakin bahwa di kemudian hari orang seperti Dani Suryadi, seorang Indonesia yang berkiprah di liga sepak bola top Eropa, akan semakin banyak.
Percayalah, kita bisa!
Penulis: Yoga Cholandha
Editor: Fadrik Aziz Firdausi