Menuju konten utama

Dampak Negatif Kecerdasan Emosional yang Terlalu Tinggi

EQ adalah bagian dari kecerdasan sosial yang melibatkan kemampuan untuk memantau perasaan, emosi diri sendiri dan orang lain.

Dampak Negatif Kecerdasan Emosional yang Terlalu Tinggi
Ilustrasi Kecerdasan Emosional. foto/istockphoto

tirto.id - Pada 1990, psikolog Peter Salovey dan John Mayer menulis artikel tentang pentingnya kecerdasan emosional atau emotional intelligence (EQ).

Mereka mendefinisikannya sebagai "bagian dari kecerdasan sosial yang melibatkan kemampuan untuk memantau perasaan dan emosi diri sendiri dan orang lain, untuk membedakan mereka. Serta menggunakan informasi ini untuk memandu pemikiran dan tindakan seseorang."

Konsep ini akhirnya dipopulerkan Daniel Goleman dalam bukunya yang sangat sukses tentang topik tersebut.

Tidak ada keraguan bahwa EQ sangat penting untuk meraih sukses dalam hidup. Dalam satu wawancara, yang dilansir dari Psychology Today, Goleman mengisahkan sebuah cerita tentang reuni sekolah menengah.

Dalam kisahnya, ia menceritakan bahwa orang yang paling sukses dalam kelompok itu bukanlah anak laki-laki terpintar atau pekerja paling keras di sekolah.

Namun, anak laki-laki yang paling tahu dengan baik bagaimana membuat semua orang merasa santai dan nyaman bersamanya.

Akhirnya, ia sampai pada kesimpulan, bahwa di tempat kerja, ada kemungkinan, “pekerja yang menerima kenaikan gaji atau promosi bukanlah yang paling cerdas, tetapi pekerja dengan keterampilan sosial dan politik terbaik.”

Sejumlah penelitian mendukung observasi sederhana tersebut. Salah satunya studi berjudul "How lower- and working-class youth become middle-class adults: the association between ego defense mechanisms and upward social mobility", sebuah penyelidikan longitudinal selama 40 tahun terhadap 450 anak laki-laki, yang menemukan bahwa kecerdasan intelektual (IQ) memiliki sedikit hubungan dengan kesuksesan hidup.

Prediktor paling signifikan adalah mampu menangani frustrasi, mengendalikan emosi, bergaul dengan orang lain.

Studi lain yang dilansir dari Science Direct, mengikuti 80 ilmuwan selama 40 tahun dan menemukan bahwa kemampuan sosial dan emosional empat kali lebih penting daripada IQ dalam menentukan kesuksesan dan prestise profesional.

Yang lebih mengejutkan, sebuah penelitian terhadap pensiunan pemain Liga Sepak Bola Nasional dalam laman Six Second, menemukan bahwa kecerdasan emosional meramalkan 62 persen variasi dalam kesuksesan hidup.

Dan akhirnya, survei 2011 terhadap 2.600 manajer perekrutan menemukan bahwa 71 persen dari mereka menilai EQ daripada IQ.

Masalahnya adalah EQ tidak sesempurna yang dipaparkan sebelumnya, mengingat sifatnya yang "netral secara moral".

Peneliti psikologi Denise Cummings menyebut, EQ dapat digunakan untuk membantu, melindungi, dan mempromosikan diri sendiri dan orang lain, atau dapat digunakan untuk mempromosikan diri sendiri dengan mengorbankan orang lain.

Dalam bentuknya yang lebih ekstrim, menurut penulis buku Good Thinking: Seven Powerful Ideas That Influence the Way We Think itu, “EQ adalah Machiavellianisme” belaka, yakni seni memanipulasi orang lain secara sosial untuk mencapai tujuan egoisnya sendiri.

Selain itu, berikut ini dampak negatif lain dari EQ yang terlalu tinggi.

Sukar memberi dan menerima kritik negatif

Tomas Chamorro-Premuzic dan Adam Yearsley dalam laman Harvard Business Review menuliskan, orang-orang dengan kecerdasan emosional yang tinggi memiliki empati besar kepada orang lain dan biasanya lebih perasa.

Sayangnya, ini pula yang membuat mereka cenderung lebih sulit memberikan komentar negatif kepada orang lain.

Saat menghadapi kritik, mereka yang mempunyai kecerdasan emosional tinggi mungkin tidak akan mengenalinya sebagai komentar negatif.

Mereka kadang terlalu tenang dan positif, tanpa menyadari bahwa orang lain mengharapkan perubahan dari dirinya.

Kreativitas dan kemampuan berinovasi rendah

Selain itu, Tomas Chamorro-Premuzic dan Adam Yearsley juga menulis, bahwa banyak orang dengan kecerdasan emosional yang tinggi justru mempunyai sifat-sifat yang menandakan kreativitas rendah.

Mereka memang pandai bekerja sama dengan orang lain, tapi mereka jadi kesulitan untuk menonjolkan keunikannya.

Sebaliknya, orang-orang yang mempunyai kecerdasan emosional rendah cenderung lebih kreatif, artistik, dan beda dari yang lain.

Mood yang sering naik-turun dan sikap yang menggebu-gebu juga membantu mereka dalam menciptakan sesuatu.

Cenderung bermain aman, menghindari risiko

Mereka yang mempunyai kecerdasan emosional terlalu tinggi biasanya lebih suka bermain aman tanpa banyak mengambil risiko.

Hal ini disebabkan karena mereka memiliki kendali diri yang besar, dan memastikan segalanya teratur dan tidak ingin terburu-buru.

Semakin tinggi kecerdasan emosional seseorang, maka semakin besar pula keinginan untuk mengontrol diri.

Sikap seperti ini dapat menguntungkan dalam beberapa situasi, namun, kendali diri yang berlebihan terkadang bisa membuat mereka takut mengambil risiko yang penting.

Padahal, ini merupakan perilaku yang membuat Anda sulit berkembang dalam pekerjaan, hubungan sosial, dan aspek kehidupan lainnya.

Memanipulasi orang lain

Dampak ini yang oleh Denise Cummings sebut “Machiavellianisme”, karena dengan dasar kemampuan berempati yang dimiliki orang-orang dengan kecerdasan emosional tinggi, terkadang berkembang menjadi kemampuan manipulasi.

Sadar maupun tidak, mereka mungkin menggunakan kemampuan ini untuk memengaruhi perilaku orang lain.

Manipulasi tidak selalu berarti buruk. Malah, seseorang dapat memanfaatkan kemampuan ini ketika menghadapi karakter orang tertentu.

Akan tetapi, tidak menutup kemungkinan di luar sana ada pula orang yang menggunakan manipulasi demi kepentingannya sendiri.

Baca juga artikel terkait PSIKOLOG atau tulisan lainnya dari Ahmad Efendi

tirto.id - Sosial budaya
Kontributor: Ahmad Efendi
Penulis: Ahmad Efendi
Editor: Nur Hidayah Perwitasari