Menuju konten utama

Dalih-Dalih Jurgen Kloop Usai Liverpool Gagal Menang dari Leicester

Liverpool menguasai jalannya pertandingan dan unggul serangan. Tapi Kloop malah menyalahkan wasit dan salju atas score imbang pada akhir pertandingan.

Dalih-Dalih Jurgen Kloop Usai Liverpool Gagal Menang dari Leicester
Pelatih Liverpool Jurgen Klopp (tengah), merayakan dengan para pemain Liverpool setelah memenangkan pertandingan sepak bola Liga Inggris antara Tottenham Hotspur melawan Liverpool di Stadion Wembley di London, Sabtu 15 September 2018. AP Photo / Tim Ireland

tirto.id - Salju turun lebat di Stadion Anfield saat Liverpool menjamu seterunya Leicester City pada Kamis (31/1/19). Namun dinginnya salju tak membuat Kopites (pendukung Liverpool) kehilangan kehangatannya.

Di salah satu tribun Stadion Anfield Kopites membentangkan spanduk ucapan belangsungkawa untuk Vichai Srivaddhanapabha, mantan bos Leicester City. Srivaddhanapabha meninggal karena kecelakaan helikopter pada Oktober 2018 silam. Ia adalah orang yang mengubah dongeng menjadi nyata bagi Leicester. Dan penggemar Liverpool ikut merasakannya.

Masih dari tribun Stadion Anfield, para penggemar Liverpool juga bernyanyi keras-keras untuk memberikan pujian kepada Rafael Benitez. Ia adalah mantan pelatih Liverpool, ada di Newcastle, tapi karena berhasil membawa Newcastle mengalahkan Manchester City 2-1 sehari sebelumnya, ia tentu layak untuk dinyanyikan. Bagi Liverpool, kemenangan Newcastle itu berarti sebuah kesempatan untuk memperlebar jarak dari City; dari empat angka berpotensi menjadi tujuh angka.

Tapi suasana hangat itu hanya bertahan sementara. Sejak laga dimulai mesin The Kop langsung panas memanfaatkan momentum kegagalan The Citizens di Newcastle. Hasilnya, saat pertandingan baru berjalan selama tiga menit ujung tombak Liverpool Sadio Mane sudah membuat penggemar Liverpool bersorak. Di sisi kiri pertahanan Leicester Mane meliuk-liuk, lalu melakukan tendangan datar melengkung yang gagal dijangkau kiper Leicester, Kasper Schmeichel.

Gol pertama itu bikin Liverpool kian garang. Serangan terus dilancarkan ke lini pertahanan Leicester. Namun karena asyik menyerang, Liverpool justru kecolongan. Menjelang turun minum, Harry Maguire, bek Leicester, berhasil mengubah kedudukan melalui sebuah sontekan, persis di depan gawang Liverpool. Karena golnya ini foto Maguire nampang di halaman depan koran Guardian dan The Times.

Skor 1-1 tersebut ternyata awet hingga pertandingan bubar. Liverpool pun gagal memaksimalkan peluang untuk semakin menjauh dari City.

Yang menarik, Jurgen Klopp, pelatih Liverpool, ternyata masih “panas” setelah pertandingan bubar. Ia tak terima dengan kepimpinan wasit Martin Atkinson karena dinilai tidak adil dalam mengambil keputusan. Menurut Klopp, Liverpool seharusnya mendapatkan penalti pada menit ke-58.

“Aku pikir semua orang setuju kalau itu seharusnya diganjar dengan penalti dan mungkin itu memang seharusnya menjadi penalti,” kata Klopp kepada BBC, soal Naby Keita yang dilanggar Ricardo Perreira pada menit ke-58 itu. “Aku tidak tahu mengapa itu tidak bisa menjadi sebuah penalti.”

Selain itu Klopp ternyata juga menyalahkan salju yang terus menghujani Anfield di sepanjang pertandingan itu. Menurutnya salju adalah salah satu alasan mengapa pertandingan itu berakhir dengan skor 1-1, membuat Liverpool, yang saat ini masih berada di puncak klasemen Premier League, hanya unggul 5 angka dari Manchester City, pesaing terdekatnya.

Klopp Membicarakan Counter-Attack

Menurut catatan Whoscored, Liverpool benar-benar mendominasi jalannya pertandingan di Anfield. Mereka berhasil melakukan 10 kali percobaan tembakan ke arah gawang, sementara Leicester hanya melakukan 5 kali, dan mereka juga unggul jauh menyoal tingkat penguasaan bola: 72,1% berbanding 28,9%. Namun, setelah Liverpool gagal menang dengan catatan statistik seperti itu, Jurgen Klopp mempunyai pernyataan yang sangat menarik mengenai kegagalan timnya dalam meraih angka penuh itu.

“Serangan balik yang kami lakukan lebih sering gagal karena kondisi lapangan [salju], bukan karena pertahanan yang lawan,” kata Klopp.

Pernyataan Klopp tersebut memang terdengar aneh, tapi ia sebetulnya tidak sedang berjualan kecap.

Senjata Liverpool di bawah asuhan Klopp adalah kemampuan Liverpool dalam mengubah tempo permainan secepat mungkin, dari lambat menjadi sangat cepat. Hal ini dapat dilakukan dengan mengandalkan serangan balik, ledakan kecepatan pemain depannya, maupun dengan umpan-umpan cepat yang mengarah ke depan. Namun, ketika salju membuat bola bergulir secara aneh, Liverpool tentu kesulitan untuk memaksimalkan kemampuannya itu.

“Kamu dapat melihat bahwa bola tidak benar-benar dapat menggelinding,” kata Klopp. “Jika Anda mampu menguasai mencapai 70% hingga 80% [dengan keadaan seperti itu], hidupmu tentu tidak akan nyaman.”

Dari sana, catatan statistik lantas dapat menjadi bukti dari ketidaknyamanan permainan Liverpool malam itu. Liverpool memang berhasil melakukan 10 kali percobaan tembakan ke arah gawang Leicester [5 di antaranya mengarah tepat sasaran], tapi itu adalah salah satu catatan terburuk mereka di Premier League sejauh ini. Sebelumnya, catatan percobaan tembakan ke arah gawang Liverpool bisa sejelek itu hanya saat mereka dua kali bertanding menghadapi Manchester City pada musim ini.

Namun, sulitnya Liverpool menyerang cepat karena salju tentu bukan menjadi satu-satunya penyebab Liverpool gagal menang dari Leicester. Malam itu, Leicester sebetulnya juga menerapkan taktik cukup ampuh dalam meladeni permainan Liverpool.

Mengeksploitasi Jordan Henderson

Bersama Bournemouth, Leicester adalah tim yang paling sering mencetak gol melalui serangan balik di Premier League. Sejauh ini kedua tim tersebut sudah mencetak 6 gol melalui serangan balik. Maka, saat menghadapi Liverpool, dengan mengincar serangan balik, Leicester memilih memulai laga dengan memainkan formasi 4-4-1-1.

Pendekatan taktik yang diterapakan oleh Claude Puel tersebut memang langsung berantakan saat Sadio Mane berhasil membuat Liverpool unggul ketika pertandingan baru berlangsung selama tiga menit. Tapi, pada menit ke-24 Puel langsung mengubah taktiknya. ia mengganti formasinya menjadi 4-2-3-1, dan mengubah posisi Demarai Gray, sayap Leicester. Semula, Gray bermain di kanan, lalu berbarengan dengan perubahan formasi itu, ia dimainkan di sisi kiri. Tujuan perubahan itu jelas: mengincar serangan dari sisi kanan pertahanan Liverpool yang saat itu dikawal oleh Jordan Henderson.

Dalam laga itu, Klopp memang tidak mempunyai banyak pilihan di posisi full-back kanan. Trent Alexander-Arnold dan Nathaniel Clyne absen. Maka, ia pun memutuskan untuk memainkan Jordan Henderson di posisi tersebut.

Semula Henderson tampak baik-baik saja, bagus dalam bertahan dan tak kekurangan tenaga untuk ikut maju ke depan. Tapi ketika Gray mulai bermain di kiri, Henderson mulai menemui mimpi buruk. Ia gesit dan tak ragu menyerang Henderson dengan mengandalkan kecepatannya.

Karena Gray, Henderson lalu lebih fokus untuk bertahan. Alhasil, sisi kanan Liverpool tidak lagi hidup dalam melakukan serangan. Leicester secara perlahan berhasil bangkit, sampai akhirnya mampu menyamakan kedudukan.

“Ketika pelatih Leicester memperbaiki kesalahannya dengan memainkan Gray di kiri, mendekatkannya dengan Henderson, aliran bola dan kualitas Liverpool langsung berubah. Dalam sekejap, Henderson harus mengakhiri tugas menyerangnya dan berkonsentrasi terhadap pertahanan yang sebelumnya tidak pernah diuji. Ketidakhadarinnya dalam menyerang langsung terasa saat Naby Keita dan Xerdan Shaqiri tampak kesulitan,” tulis Andy Hunter, jurnalis Guardian yang dalam pertandingan itu berada di Anfield.

Baca juga artikel terkait LIGA INGGRIS atau tulisan lainnya

tirto.id - Olahraga
Editor: Jay Akbar