tirto.id - Cornelis Lay resmi menyandang gelar Guru Besar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol) Universitas Gadjah Mada (UGM). Pengukuhannya dilakukan setelah ia menyampaikan pidato dengan tema 'Jalan Ketiga Peran Intelektual: Konvergensi Kekuasaan dan Kemanusiaan.'
Pengukuhan politisi senior PDIP itu dilakukan di Balai Senat UGM, pada Rabu (6/2/2019). Hadir dalam pengukuhan itu sejumlah kader PDIP yang menduduki jabatan-jabatan penting di pemerintahan.
"Jabatan Guru Besar ini telah melalui jalan panjang yang melibatkan begitu banyak individu dan kerja kolektif," katanya.
Dalam naskah pidato Cornelis yang diterima Tirto, akademisi yang menyusun pidato pengukuhan Presiden Joko Widodo 2014 silam itu menyebut peran yang seharusnya juga diambil oleh para intelektual.
"Bagi saya, ujian terbesar seorang intelektual bukanlah pada kemampuan dan kesiapannya untuk dengan lantang memaki kekuasaan dan para pelakunya, tetapi justru ketika ia bisa bersahabat dan menjadi bagian dari kekuasaan sembari tetap mampu menjaga kewarasan dan karakter dasar intelektual," kata dia.
Inteletual kata dia harus berpikir bebas dan bertindak bijak bagi kepentingan kemanusiaan. Hal itu menurutnya harus digarisbawahi, pasalnya ia melihat banyak intelektual yang terjangkiti sindrom superioritas. Mereka secara keliru mengira dirinya unggul secara intelektual dan moral di hadapan kekuasaan.
Sindrom itu yang, menurutnya, mengantarkan mereka pada sikap jemawa yang memosisikan pelaku politik sebatas sebagai robot pelaksana atau corong baginya.
"Saya sudah cukup sering menyaksikan betapa intelektual berubah menjadi musuh paling gigih dari kekuasaan yang pernah didukungnya hanya karena alasan sangat sederhana: pemikiran atau usulannya tidak diakomodasi," ujarnya.
Oleh karena itu, dengan serangkaian alasan yang telah dibuat oleh sebagian intelektual, Cornelis merasa perlu menggarisbawahi soal jalan ketiga bagi para intelektual.
"Jalan ketiga yang ditawarkan—masuk dan keluar kekuasaan secara fleksibel dengan menempatkan kemanusiaan sebagai motif pokoknya—menuntut kematangan,kepekaan dan kapasitas dalam menilai politik. Sesuatu yang tidak bisa dihasilkan secara instan," katanya.
Di akhir pidatonya, Cornelis menggarisbawahi soal keyakinannya bahwa tujuan-tujuan mulia yang melekat dalam kelahiran dan menjadi fondasi dari ilmu pengetahuan dan tujuan yang melekat dalam filsafat kekuasaan bertumpu pada kehendak yang sama.
kehendak sama yang dimaksud adalah cita-cita pembebasan manusia dan pemuliaan kemanusiaan. Kesamaan kehendak inilah yang menurutnya menjadi titik konvergensi di antara keduanya yakni kekuasaan dan intelektual.
"Sekalipun tampak hidup dalam dunia yang terpisah, pada dasarnya keduanya saling menghidupi: intelektual pasti hidup dalam kekuasaan, dan kekuasaan membutuhkan ilmu pengetahuan," ungkapnya.
Editor: Maya Saputri