tirto.id - Situasi di Zimbabwe kian memanas setelah presiden Robert Mugabe menyatakan tak akan mundur dari jabatannya sebagai presiden Zimbabwe. Hal itu ia sampaikan dalam sebuah pidato yang disiarkan stasiun televisi lokal. Pria berusia 93 tahun itu pun dikabarkan akan menghadapi pemakzulan.
Menurut laporan Guardian yang mengutip salah satu sumber terdekat militer setempat, Mugabe menolak mundur dari jabatannya karena ingin diizinkan untuk tetap memimpin hingga pemilihan musim panas mendatang.
Di saat Zimbabwe jadi headline di berbagai media internasional, Cina pun belakangan ikut terseret kisruh di negara Afrika tersebut. Menurut berbagai laporan media, sebelum kudeta terjadi Panglima Militer Zimbabwe Jenderal Constantino Chiwenga berkunjung ke Cina. Pertemuan antara sang pemimpin kudeta dengan Menteri Pertahanan Cina Chang Wanquang di markas Tentara Pembebasan Rakyat mengundang dugaan bahwa Cina sudah mengetahui rencana kudeta di Zimbabwe.
Baca juga:Game of Thrones ala Mugabe, Soeharto-nya Zimbabwe
Spekulasi lain yang juga muncul adalah diam-diam Chiwengan meminta persetujuan Beijing untuk melawan Mugabe. Namun, hal itu dibantah Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Cina Geng Shuang.
"Saya hanya bisa mengatakan bahwa kunjungannya [Chiwenga] ke Cina kali ini merupakan pertemuan biasa yang disepakati bersama oleh Cina dan Zimbabwe," kata Geng Shuang.
Sebelum merdeka, Zimbabwe telah berkawan dengan Cina. Kunjungan kenegaraan sering dilakukan oleh kedua negara. Situasi yang terjadi di Zimbabwe pun terus dipantau dengan seksama oleh Beijing.
Jejak Kedekatan Cina-Zimbabwe
Kehadiran Cina di Zimbabwe sudah berlangsung sejak 1970an. Saat itu Zimbabwe juga sedang bergejolak karena didera perang. Secara diam-diam Beijing memasok amunisi dan membiayai pasukan gerilya Front Patriotik yang dipimpin Mugabe selama perang kemerdekaan berlangsung.
Hubungan kedua negara kian erat saat kemerdekaan Zimbabwe dan kekuasaan tertinggi berada di tangan Mugabe. Menurut laporan Wikileaks, pemerintah Zimbabwe kerap membeli perlengkapan militer seperti pesawat, persenjataan, radar pertahanan udara dan peralatan medis dari Beijing.
Guna mempererat kerja sama di sektor pertahanan, Cina rutin mengirim penasehat militer ke angkatan bersenjata Zimbabwe. Pemerintah Zimbabwe pun mengirim perwira untuk melakukan pelatihan di Cina setiap tahunnya.
Cina menghabiskan $100 juta untuk membangun sebuah akademi militer profesional di Zimbabwe, Harare's National Defence College. Dalam laporan media Afrika Mail and Guardian, perguruan tinggi tersebut dirancang untuk memperbaiki sistem intelijen, keamanan dan pertahanan.
Tak hanya pada sektor militer, setelah Mugabe mengambil alih kekuasaan, Cina mendorong perekonomian negara tersebut mulai dari menyalurkan berbagai bantuan hingga investasi. Cina diketahui lebih banyak melakukan impor dari negara Mugabe dibandingkan ekspor.
Baca juga:Presiden Mugabe Menolak Tekanan Militer Zimbabwe untuk Lengser
Pada 2002, sekitar 30 persen ekspor tembakau Zimbabwe mengalir ke Cina. Cina juga kerap menyumbang makanan dan bantuan tunai untuk membeli makanan akibat melemahnya kondisi perekonomian Zimbabwe.
"Sejak Mugabe mengambil alih kekuasaan, dia telah didukung secara konsisten oleh pemerintah Cina. Cina telah menjadi mitra dagang terbesar kedua di Zimbabwe dan telah berinvestasi di negara ini," kata Wang Xinsong, profesor di Beijing Normal University School of Social Development and Public Policy.
Pada 2015, badan pembangkit listrik Zimbabwe Power Company (ZPC) menandatangani sebuah perjanjian dengan Intratrek Zimbabwe yang akan bekerja sama dengan mitra konstruksi China CHINT Electric untuk membangun pabrik senilai $202 juta di Matabeleland.
Perusahaan tersebut juga menandatangani kesepakatan dengan perusahaan Cina untuk membangun dua pembangkit tenaga surya lainnya di Zimbabwe. Di tahun yang sama, investasi Cina mencapai $450 juta, mencakup lebih dari separuh investasi asing ke Zimbabwe.
Mendukung Zimbabwe Melawan Sanksi Barat
Kepemimpinan Mugabe tidak berjalan mulus. Ia mendapat kecaman dari negara-negara Barat yang mengkritik kekuasaannya sebagai tirani.
Baca juga:Turki di Tengah Upaya Kudeta Militer
Selain itu, Mugabe juga dituding melakukan pelanggaran HAM. Pada 2003, ia menggencarkan kampanye rasis terhadao warga kulit putih. “Biarkan saya jadi Hitler sepuluh kali lipat," ucapnya.
Setelah kampanye rasis itu dilancarkan, partai oposisi memimpin pemogokan secara nasional. Langkah partai oposisi ternyata berdampak buruk terutama pada Patricia Mukonda
Sebagaimana dilaporkan The Diplomat, sekretaris partai Mukonda menyatakan telah diserang oleh “anak buah” Mugabe di rumahnya, dipukul dan diperkosa di depan anaknya yang berusia enam tahun. Serangan ini dikutuk keras oleh Amerika Serikat. Walhasil, 77 pejabat Zimbabwe harus menerima konsekuensi pembekuan aset personal mereka di AS.
Uni Eropa juga bereaksi keras dengan mengetatkan embargo senjata yang sudah diberlakukan sejak 2002 terkait pelanggaran HAM serta pemberangusan kebebasan berpendapat. Sanksi itu diperpanjang hingga Februari 2018. Selain itu, sanksi larangan bepergian dan transaksi keuangan juga dijatuhkan.
Sanksi dari Uni Eropa dan juga Amerika tak berubah terhadap Zimbabwe. Akibat diblokade negara-negara Barat, Mugabe pun kian meningkatkan hubungan dengan Cina dan memperkuat kebijakan luar negerinya yang dikenal sebagai "Look East."
Baca juga:Kudeta Para Sersan Membuat Batista Berkuasa
Artikel Jeremy Youde berjudul "Why Look East? Zimbabwean Foreign Policy and China" mengungkapkan, embargo dan sanksi negara Barat telah menghancurkan ekonomi Zimbabwe. Dengan kebijakan luar negeri “Look East” Mugabe mulai melancarkan pendekatan dengan Cina, Iran, Malaysia, Korea Utara, dan Indonesia.
Ada lima tujuan Zimbabwe di balik kebijakan Look East Zimbabwe sejak merdeka, yakni dekolonisasi dan pembebasan Afrika; kedaulatan dan kesetaraan antar negara-negara di dunia; pembangunan ekonomi di negara dunia ketiga; memerangi apartheid dan memanfaatkan sosialisme sekaligus kapitalisme. Namun yang paling ditekankan adalah kedaulatan negara; prinsipnya, suatu negara tak boleh mencampuri urusan negara lain.
Dalam hubungannya dengan Cina pasca embargo Barat, keduanya malah kian mempererat hubungan bilateral yang diumumkan Cina pada 2004. Salah satu alasan kuat mengapa Zimbabwe lebih tertarik dengan Cina adalah karena Beijing menganut prinsip "bisnis adalah bisnis". Cina tak suka ikut campur urusan politik negara lain—satu hal yang sangat diharapkan Zimbabwe. Sikap Cina berbeda dengan AS yang meminta syarat-syarat seperti demokrasi dan penegakan HAM sebelum memberikan bantuan.
Hal inilah yang membuat hubungan Cina dan Zimbabwe tetap dipertahankan hingga saat ini. Pada 2015, Cina mulai membangun pusat perbelanjaan Longcheng Plaza di Harare senilai $200 juta. Beberapa waktu lalu Cina juga setuju untuk mendanai pembangunan gedung baru parlemen Zimbabwe.
Menanggapi kondisi Zimbabwe yang kian memanas, pemerintah Cina hanya berpandangan bahwa mereka tetap memantau situasi di negara tersebut. Bagaimanapun keberlangsungan bisnis dan investasi Cina di Zimbabwe dipengaruhi oleh situasi politik. Dalam banyak hal, Cina memang selalu berhati-hati dan tak ingin terlihat ikut campur dalam masalah internal suatu negara. Apalagi Mugabe adalah sobat lama Beijing.
Penulis: Yantina Debora
Editor: Windu Jusuf